Kamis, 16 September 2010

Puisi-puisi Taufik Ismail

BAYI LAHIR BULAN MEI 1998  
  
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga 
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba 
Begitu lahir ditating tangan bidannya 
Belum kering darah dan air ketubannya 
Langsung dia memikul hutang di bahunya 
Rupiah sepuluh juta 
  
Kalau dia jadi petani di desa 
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota 
Kalau dia jadi orang kota 
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya 
Kalau dia bayar pajak 
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing 
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing 
 
Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga 
Mulutmu belum selesai bicara 
Kau pasti dikencinginya. 
1998  

KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS,  
LALU KALIAN PAKSA KAMI  
MASUK MASA PENJAJAHAN BARU,  
Kata Si Toni 
 
   
Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri 
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan 
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami 
Sejak lahir sampai dewasa ini 
Jadi sangat tepergantung pada budaya 
Meminjam uang ke mancanegara 
Sudah satu keturunan jangka waktunya 
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula 
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni 
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi 
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini 
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi 
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia 
Kita gadaikan sikap bersahaja kita 
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta 
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka 
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita 
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia 
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama 
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia 
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi 
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri 
Sambil kepala kita dimakan begini 
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti 
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi 
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni 
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama 
Menggigit dan mengunyah teratur berirama 
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi 
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini 
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam 
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang 
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang 
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya 
Meminjam kepeng ke mancanegara 
Dari membuat peniti dua senti 
Sampai membangun kilang gas bumi 
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi 
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi 
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri 
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis 
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis 
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa 
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa 
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya 
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami 
Kalian lah yang membuat kami jadi begini 
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi 
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini 
1998 
 

KETIKA SEBAGAI KAKEK DI TAHUN 2040,  
KAU MENJAWAB PERTANYAAN CUCUMU  
 
 
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu 
Bersama beberapa ribu kawanmu 
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju 
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu 
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru 
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru 
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru 
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu 
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu 
Sampai kini sejak kau lahir dahulu 
Inilah pengakuan generasi kami, katamu 
Hasil penataan dan penataran yang kaku 
Pandangan berbeda tak pernah diaku 
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu 
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu 
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu 
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu 
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu 
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu 
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu 
Maka kami bergeraklah kini, katamu 
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju 
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu 
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu 
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu 
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu 
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu 
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu. 
 
1998  


MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA  
    
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga 
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa 
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya 
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia 
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda 
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, 
Whitefish Bay kampung asalnya 
Kagum dia pada revolusi Indonesia 
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya 
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama 
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya 
Dadaku busung jadi anak Indonesia 
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy 
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University 
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army 
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri 
Mengapa sering benar aku merunduk kini 
     
II 
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak 
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak 
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, 
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza 
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia 
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata 
Dan kubenamkan topi baret di kepala 
Malu aku jadi orang Indonesia. 
 
III 
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, 
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi  
berterang-terang curang susah dicari tandingan, 
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu  
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek  
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, 
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,  
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan  
peuyeum dipotong birokrasi  
lebih separuh masuk kantung jas safari, 
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,  
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,  
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,  
agar orangtua mereka bersenang hati, 
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum  
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas  
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, 
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan  
sandiwara yang opininya bersilang tak habis  
dan tak utus dilarang-larang, 
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata  
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, 
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,  
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,  
sekarang saja sementara mereka kalah,  
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka  
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia  
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,  
kabarnya dengan sepotong SK  
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, 
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,  
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, 
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,  
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, 
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat  
jadi pertunjukan teror penonton antarkota  
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita  
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan  
yang disetujui bersama, 
 
Di negeriku rupanya sudah diputuskan  
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,  
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil 
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,  
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, 
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan  
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,  
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,  
Nipah, Santa Cruz dan Irian,  
ada pula pembantahan terang-terangan  
yang merupakan dusta terang-terangan  
di bawah cahaya surya terang-terangan,  
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai  
saksi terang-terangan, 
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,  
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang  
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. 
 
 
IV 
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak 
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak 
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, 
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza  
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia 
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata 
Dan kubenamkan topi baret di kepala 
Malu aku jadi orang Indonesia. 


1998  

KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG  
  
Langit akhlak telah roboh di atas negeri 
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri 
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini 
Negeriku sesak adegan tipu-menipu 
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku 
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku 
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku 
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku 
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku 
  
Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan 
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan 
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan 
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan 
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan 
   
Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan 
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan 
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan 
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian 
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan 
  
Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api 
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti 
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri 
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini 
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api 
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi 
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri 
  
Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga 
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi 
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri 
Seluruh korban empat tahun revolusi 
Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri 
Aku termangu mengenang ini 
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri 
  
Ada burung merpati sore melayang 
Adakah desingnya kau dengar sekarang 
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan 
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan 
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah 
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku 
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu? 
 
Ada burung merpati sore melayang 
Adakah desingnya kau dengar sekarang 
  
1998  
SYAIR EMPAT KARTU DI TANGAN  
Ini bicara blak-blakan saja, bang 
Buka kartu tampak tampang 
Sehingga semua jelas membayang 
Monoloyalitas kami 
sebenarnya pada uang  
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara 
Koyak tampak terkubak semua 
Sehingga buat apa basi dan basa 
Sila kami 
Keuangan Yang Maha Esa 
Jangan sungkan buat apa yah-payah 
Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah 
Tak usahlah sah-susah 
Ideologiku begitu jelas 
ideologi rupiah 
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan 
Setiap jeroan berjajar kelihatan 
Sehingga jelas sebagai keseluruhan 
Asas tunggalku 
memang keserakahan. 
1998  
BAYI LAHIR BULAN MEI 1998  
  
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga 
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba 
Begitu lahir ditating tangan bidannya 
Belum kering darah dan air ketubannya 
Langsung dia memikul hutang di bahunya 
Rupiah sepuluh juta 
  
Kalau dia jadi petani di desa 
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota 
Kalau dia jadi orang kota 
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya 
Kalau dia bayar pajak 
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing 
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing 
 
Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga 
Mulutmu belum selesai bicara 
Kau pasti dikencinginya. 
1998  
 
KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS,  
LALU KALIAN PAKSA KAMI  
MASUK MASA PENJAJAHAN BARU,  
Kata Si Toni 
 
   
Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri 
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan 
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami 
Sejak lahir sampai dewasa ini 
Jadi sangat tepergantung pada budaya 
Meminjam uang ke mancanegara 
Sudah satu keturunan jangka waktunya 
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula 
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni 
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi 
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini 
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi 
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia 
Kita gadaikan sikap bersahaja kita 
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta 
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka 
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita 
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia 
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama 
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia 
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi 
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri 
Sambil kepala kita dimakan begini 
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti 
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi 
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni 
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama 
Menggigit dan mengunyah teratur berirama 
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi 
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini 
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam 
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang 
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang 
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya 
Meminjam kepeng ke mancanegara 
Dari membuat peniti dua senti 
Sampai membangun kilang gas bumi 
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi 
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi 
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri 
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis 
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis 
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa 
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa 
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya 
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami 
Kalian lah yang membuat kami jadi begini 
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi 
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini 
  
1998 
 
KETIKA SEBAGAI KAKEK DI TAHUN 2040,  
KAU MENJAWAB PERTANYAAN CUCUMU  
 
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu 
Bersama beberapa ribu kawanmu 
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju 
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu 
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru 
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru 
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru 
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu 
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu 
Sampai kini sejak kau lahir dahulu 
Inilah pengakuan generasi kami, katamu 
Hasil penataan dan penataran yang kaku 
Pandangan berbeda tak pernah diaku 
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu 
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu 
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu 
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu 
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu 
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu 
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu 
Maka kami bergeraklah kini, katamu 
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju 
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu 
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu 
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu 
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu 
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu 
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu. 
 
1998  
  
 
MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA  
    
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga 
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa 
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya 
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia 
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda 
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, 
Whitefish Bay kampung asalnya 
Kagum dia pada revolusi Indonesia 
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya 
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama 
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya 
Dadaku busung jadi anak Indonesia 
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy 
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University 
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army 
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri 
Mengapa sering benar aku merunduk kini 
    
II 
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak 
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak 
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, 
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza 
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia 
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata 
Dan kubenamkan topi baret di kepala 
Malu aku jadi orang Indonesia. 


III 
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, 
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi  
berterang-terang curang susah dicari tandingan, 
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu  
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek  
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, 
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,  
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan  
peuyeum dipotong birokrasi  
lebih separuh masuk kantung jas safari, 
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,  
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,  
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,  
agar orangtua mereka bersenang hati, 
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum  
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas  
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, 
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan  
sandiwara yang opininya bersilang tak habis  
dan tak utus dilarang-larang, 
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata  
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, 
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,  
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,  
sekarang saja sementara mereka kalah,  
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka  
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia  
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,  
kabarnya dengan sepotong SK  
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, 
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,  
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, 
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,  
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, 
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat  
jadi pertunjukan teror penonton antarkota  
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita  
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan  
yang disetujui bersama, 
 
Di negeriku rupanya sudah diputuskan  
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,  
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil 
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,  
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, 
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan  
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,  
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,  
Nipah, Santa Cruz dan Irian,  
ada pula pembantahan terang-terangan  
yang merupakan dusta terang-terangan  
di bawah cahaya surya terang-terangan,  
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai  
saksi terang-terangan, 
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,  
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang  
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. 


IV 
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak 
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak 
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, 
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza  
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia 
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata 
Dan kubenamkan topi baret di kepala 
Malu aku jadi orang Indonesia. 
 
1998  

KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG  

Langit akhlak telah roboh di atas negeri 
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri 
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini 
Negeriku sesak adegan tipu-menipu 
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku 
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku 
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku 
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku 
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku 
  
Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan 
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan 
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan 
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan 
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan 
   
Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan 
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan 
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan 
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian 
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan 
  
Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api 
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti 
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri 
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini 
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api 
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi 
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri 
  
Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga 
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi 
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri 
Seluruh korban empat tahun revolusi 
Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri 
Aku termangu mengenang ini 
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri 
  
Ada burung merpati sore melayang 
Adakah desingnya kau dengar sekarang 
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan 
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan 
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah 
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku 
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu? 
 
Ada burung merpati sore melayang 
Adakah desingnya kau dengar sekarang 
 
1998  
  
   
SYAIR EMPAT KARTU DI TANGAN  
Ini bicara blak-blakan saja, bang 
Buka kartu tampak tampang 
Sehingga semua jelas membayang 
Monoloyalitas kami 
sebenarnya pada uang  
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara 
Koyak tampak terkubak semua 
Sehingga buat apa basi dan basa 
Sila kami 
Keuangan Yang Maha Esa 
Jangan sungkan buat apa yah-payah 
Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah 
Tak usahlah sah-susah 
Ideologiku begitu jelas 
ideologi rupiah 
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan 
Setiap jeroan berjajar kelihatan 
Sehingga jelas sebagai keseluruhan 
Asas tunggalku 
memang keserakahan. 
1998  
  
YANG SELALU TERAPUNG 
DI ATAS GELOMBANG  


Seseorang dianggap tak bersalah, 
sampai dia dibuktikan hukum bersalah. 
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. 
Kini simaklah sebuah kisah, 
  
Seorang pegawai tinggi, 
gajinya sebulan satu setengah juta rupiah, 
Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam, 
BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah. 
Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah. 
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan 
Macam Macam Indah, 
Setiap semester ganjil, 
isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. 
Setiap semester genap, 
isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika, 
 
Anak-anaknya pegang dua pabrik, 
tiga apotik dan empat biro jasa. 
Saudara sepupu dan kemenakannya 
punya lima toko onderdil, 
enam biro iklan dan tujuh pusat belanja, 
Ketika rupiah anjlok terperosok, 
kepleset macet dan hancur jadi bubur, 
dia ketawa terbahak- bahak 
karena depositonya dalam dolar Amerika semua. 
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, 
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat, 
 
Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri, 
maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. 
Isinya masing-masing lima genggam beras, 
empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi. 
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi, 
dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali, 
  
Gelombang mau datang, datanglah gelombang, 
setiap air bah pasang dia senantiasa 
terapung di atas banjir bandang. 
Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, 
lalu dia berkata begini, 
"Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri," 
  
Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah: 
kekayaan misterius mau diperiksa, 
kekayaan tidak jadi diperiksa, 
kekayaan mau diperiksa, 
kekayaan tidak diperiksa, 
kekayaan harus diperiksa, 
kekayaan tidak jadi diperiksa. 
Bandul jam tua Westminster, 
tahun empat puluh satu diproduksi, 
capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri, 
  
Kemudian ide baru datang lagi, 
isi formulir harta benda sendiri, 
harus terus terang tapi, 
dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, 
karena ini soal sangat pribadi, 
Selepas itu suasana hening sepi lagi, 
cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali, 
Seseorang dianggap tak bersalah, 
sampai dia dibuktikan hukum bersalah. 
 
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. 
Bagaimana membuktikan bersalah, 
kalau kulit tak dapat dijamah. 
Menyentuh tak bisa dari jauh, 
memegang tak dapat dari dekat, 
  
Karena ilmu kiat, 
orde datang dan orde berangkat, 
dia akan tetap saja selamat, 
Kini lihat, 
di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania, 
seraya menghirup teh nasgitel 
dia duduk menerima telepon 
dari isterinya yang sedang tur di Venezia, 
sesudah menilai tiga proposal, 
dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja, 
  
Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way, 
senandung lama Frank Sinatra 
yang kemarin baru meninggal dunia, 
ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta 
dari sangkar tergantung di atas sana 
dan tak habis-habisnya 
di layar kaca jinggel bola Piala Dunia, 
 
Go, go, go, ale ale ale... 


1998  

KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU 
kepada Kang Ilen  
 
 
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, 
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, 
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,  
yang menyala bergantian, 
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam  
dengan bola  yang bentuknya seperti telur angsa, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
karena seratus juta penduduknya, 
 
Kembalikan  
Indonesia 
padaku 

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam  
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam  
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, 
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,  
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,  
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang  
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam  
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, 
 
                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 
 
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam  
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
karena seratus juta penduduknya, 
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,  
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 
                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 
 
  
Paris, 1971  
 
BAGAIMANA KALAU 
 
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, 
tapi buah alpukat, 
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, 
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, 
dan kepada Koes Plus kita beri mandat, 
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, 
dan ibukota Indonesia Monaco, 
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, 
salju turun di Gunung Sahari, 
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin 
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop, 
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia 
dibayar dengan pementasan Rendra, 
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, 
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, 
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di 
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki 
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara 
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan 
margasatwa Afrika, 
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil 
mempertimbangkan protes itu, 
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita 
pelihara ternak sebagai pengganti 
Bagaimana kalau sampai waktunya  
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi. 
 
1971 
KITA ADALAH 
PEMILIK SAH REPUBLIK INI 
  
Tidak ada pilihan lain 
Kita harus 
Berjalan terus 
Karena berhenti atau mundur 
Berarti hancur 
Apakah akan kita jual keyakinan kita 
Dalam pengabdian tanpa harga 
Akan maukah kita duduk satu meja 
Dengan para pembunuh tahun yang lalu 
Dalam setiap kalimat yang berakhiran 
"Duli Tuanku ?" 
  
Tidak ada lagi pilihan lain 
Kita harus  
Berjalan terus  
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan  
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh  
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara  
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama  
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka  
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan  
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara  
Tidak ada lagi pilihan lain  
Kita harus  
Berjalan terus.  
1966   
  
diambil dari buku Tirani dan Benteng  
(Yayasan Ananda, Jakarta, 1993, halaman 113)   

DOA  


Tuhan kami 
Telah nista kami dalam dosa bersama 
Bertahun membangun kultus ini 
Dalam pikiran yang ganda 
Dan menutupi hati nurani 
 
Ampunilah kami 
Ampunilah 
Amin  
  
Tuhan kami 
Telah terlalu mudah kami 
Menggunakan asmaMu 
Bertahun di negeri ini 
Semoga 
Kau rela menerima kembali 
Kami dalam barisanMu 
  
  
Ampunilah kami 
Ampunilah 
Amin. 
 
1966  
PRESIDEN BOLEH PERGI  
PRESIDEN BOLEH DATANG  
 
Sebuah orde tenggelam  
sebuah orde timbul  
tapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di atas gelombang itu selamat  
Mereka tidak mengalami guncangan yang berat  
Yang selalu terapung di atas gelombang  
Seseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan hukum bersalah  
Di negeri kami ungkapan ini begitu indah  
Kini simaklah sebuah kisah  
Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah  
Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu,  
Honda metalik, dan Mercedes merah  
Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana  
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah  
Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura  
Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika  
Anak-anaknya ....  
Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa  
Selain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil,  
lima biro iklan, dan empat pusat belanja.  
Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet dan hancur jadi bubur,  
dia, hah!  
dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar Amerika semua  
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat,  
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat  
Krisis makin menjadi-jadi  
Di mana-mana orang antri  
Maka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi  
Isinya masing-masing:  
Lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng,  
dan tiga bungkus mie cepat jadi.  
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi  
dan masuk koran halaman lima pagi sekali  
Gelombang mau datang,  
Datang lagi gelombang setiap bah air pasang  
Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang  
Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi  
lalu ia berkata sambil berdiri:  
Yaaa... masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiri  
Seperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius mau diperiksa  
Kekayaan... tidak jadi diperiksa  
Kakayaan... mau diperiksa  
Kekayaan... tidak jadi diperiksa  
Kekayaan... mau diperiksa  
Kekayaan... tidak jadi diperiksa  
Kekayaan... harus diperiksa  
Kekayaan... tidak jadi diperiksa  
(Dibacakan di beberapa pentas baca puisi di Jakarta)   


Sumber:
Sumber ilustrasi foto: http://stat.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar