Jumat, 17 September 2010

Prasarana, Apa Itu, Anakku?


Suatu desa di lereng Gunung Salak, Jawa Barat. Lewat tengah hari. Seorang yang tampangnya menyerupai pengantar pos, mampir ke rumah Lurah. Oleh sebab desa itu cuma satu kali sebulan saja menerima kiriman pos, itu pun bila ada truk perkebunan yang suka rela mau meng­antarkan surat-surat itu dari Kantor Pos Bogor ke sana. Dapat dibayangkan betapa penerimaan pos ini bagi desa merupakan peristiwa yang sangat penting. Begitu pen­tingnya hingga Lurah selalu memukul kentong untuk memberitahukan semua penghuni desa bahwa pos datang.
Kali ini pun. Lurah memukul kentong. Dan penghuni desa bermunculan dari mana-mana menyerbu ke rumah Lurah. Gambarannya tak banyak beda dari penerimaan pos oleh prajurit-prajurit di medan perang.
Rumah Lurah telah sepi kembali. Yang menerima surat atau kiriman paket, sudah membaca suratnya masing-­masing di rumahnya.
Seorang wanita setengah baya, duduk lesu bersandar pada salah satu tiang emper rumah Lurah. Di tangannya secarik telegram yang telah dibuka, Di sampingnya, juru tulis muda, juga lesu. Mata wanita itu berkaca-kaca.
"Sudahlah, Bu. Tak ada gunanya ditangisi lagi. Dia toh telah hampir sebulan yang lalu meninggal. Saya kira, dia tentulah telah dikubur. Bahwa ibu baru hari ini menerima telegram pemberitahuan dia meninggal, ini patut di­sesalkan. Siapa yang harus disalahkan? Mau menyalahkan jawatan pos, wah, syusyaaah!"
"Kenapa susah? Bukankah tugas mereka harus meng­antarkan surat-surat, terlebih telegram-telegram penting seperti ini, tepat pada waktunya?"
Carik muda tersenyum getir. Bagaimana ia akan me­nerangkannya secara jelas dan sederhana pada ibu tua ini? Akankah dia harus berpidato panjang lebar mengenai 1001 kesukaran dan kekurangan yang dihadapi oleh Jawatan Postel kita? Masih untung ada truk perkebunan swasta yang mau secara sukarela mengantarkan pos dari Kantor Pos Bogor kemari, dan juga mengantarkan surat-surat dari desa ini ke Kantor Pos Bogor. Apa ibu tua ini tak pernah dengar tentang surat yang baru tiba setelah lewat satu tahun lebih di Samarinda dan dikirim dari Jakarta?
Sambil melangkah pelan-pelan, carik muda menemani ibu tua itu pulang ke gubuknya. Dia ini masih saja sesenggukan, sesekali menghapuskan air matanya.
"Coba pikirkan, anakku satu-satunya ... sampai hatilah negara ini memperlakukan dia dan aku dengan cara begini. Apa kami ini bukan warga negara yang baik? Apakah aku tidak berhak mengetahui pada waktunya anakku meninggal agar aku masih bisa menghadiri setidaknya penguburan­nya??"
Dan dia sesenggukan terus. Carik muda kita makin bingung. Membujuk dan menghibur seseorang yang ditim­pa kemalangan, sudah susah. Apalagi bila yang ditimpa kemalangan itu memperlihatkan suatu sikap yang sama sekali tidak mau tahu dengan segala persoalan dan kesulitan negara yang masih berkembang, seperti negeri kita sendiri.
Dan dalam briefing Pak Bupati terakhir yang dihadirinya di Kabupaten Bogor tentang pelaksanaan Repelita, soal kemacetan prasarana seperti yang dialami ibu tua ini, tidak ada disinggung-singgung. Mau melengkapinya sendiri de­ngan pandangan-pandangan pribadinya sendiri, eh, takut, kalau nanti malah tidak cocok dengan semangat dan jiwa Repelita sama sekali. Maklumlah dia cuma sampai kelas dua SGB saja, berhenti karena ayahnya meninggal, tidak mam­pu melanjutkan sekolahnya dan terpaksa kerja, kini sebagai carik muda, karena carik tua baru-baru ini meninggal.
"Inilah, Bu, persoalan prasarana...."
Ibu tua itu mendelik, Matanya bundar menoleh pada­nya.
Sesenggukannya terhenti.
"Apa, Nak?"
Carik muda kita kaget. Wah! Keluhan dalamnya rupa­-rupanya terlompat keluar dan terdengar oleh ibu tua itu.
"Anak bilang apa tadi?"
"Prasarana, Bu!"
"Apa itu, Nak?"
Panik betul carik muda kita. Dia sendiri tak tahu apa arti kata itu seluruhnya. Dari briefing Bupati Bogor terakhir, dia cuma duga arti "prasarana" adalah kira-kira sama dengan antar-hubungan. Tetapi, bagaimana menerangkan pada ibu tua ini? Akankah seluruh briefing Pak Bupati itu harus diulanginya kembali bagi dia?
"Prasana, apa itu, Nak?"
Carik muda lesu menggelengkan kepalanya. Biarlah ibu tua ini menganggapnya kurang sopan, tetapi dia tidak akan coba-coba menerangkannya.
Sambil memalingkan dirinya ke matahari senja di balik Gunung Salak, dia menarik napas panjang. Langkahnya panjang-panjang mengantarnya pulang ke pondoknya. Dan dalam hatinya, dia tak putus-putusnya bertanya terus, “Prasarana, apa itu?”

(Tegak Lurus dengan Langit, 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar