Jumat, 17 September 2010

Petani Itu Sahabat Saya
Oleh Hamsad Rangkuti

Saya naik ke atas tunggul besar di tengah kebun singkong. Saya berteriak memanggil nama sahabat saya, Singgih. Saya baru saja sampai. Saya tidak melihat ada orang di gubuk dekat kebun singkong itu. Panas terik menyilaukan mata saya. Saya kira Singgih yang pekak tentu tidak mendengar teriakan saya. Singgih petani miskin di daerah tandus di Pulau Jawa. Tetapi, dia menulis surat kepada saya dan bercerita dia telah menjadi petani kaya di Tulangbawang. Saya mengingat Singgih yang tuli menebas ilalang di tanah kering lima tahun yang lalu ketika saya datang ke­padanya di daerah pertanian kering di Pulau Jawa. Dia berkata lewat tangan yang digerak-gerakkan dengan suara yang melengking, seolah dia kira semua orang pekak seperti dia. Saya juga berkata keras di tengah padang ilalang lima tahun yang lalu itu dan mendengar ocehannya bahwa pembabatan rumput ilalang yang dia lakukan itu adalah semacam upacara perpisahan dengan tanah leluhurnya. Dia hendak mengambil sejemput tanah di bawah rumpun ilalang itu dan menaburkannya di tanah pemukimannya di daerah transmigrasi di Lampung.
Saya datang kepadanya membawakan alat pendengar untuk orang yang pekak. Anak lelakinya mengantar saya ke kebun singkong itu, mengingatkan bahwa saya telah melakukan hal yang sia-sia. Maka saya pun meng­hentikan teriakan-teriakan dan mulai mencari dengan mata. Tetapi, dalam terik matahari seperti itu Singgih tidak tampak karena silau.
Saya lalu pergi ke rumahnya dan bercakap-cakap dengan isteri dan anak-anaknya yang banyak. Saya katakan kepada istri sahabat saya itu bahwa saya sengaja ingin memberi kaget Singgih pada pertemuan kami di kebun singkong. Tetapi, karena saya tidak menemu­kannya, maka saya kira lebih baik menanti di rumahnya. Si isteri berkeyakinan, biar bagaimanapun Singgih pasti kaget pada pertemuan ini.
Singgih pasti tidak mengira akan terjadi pertempuran antara aku dan dia di daerah terpencil ini. Saya katakan kepada istri sahabat saya itu bahwa segalanya akan bisa saja terjadi dan segalanya tidak pernah kita duga-duga. Segalanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Kita hanya akan menjalankannya saja tanpa kita tahu se­belumnya. Misalnya saja, saya tidak pernah menduga sama sekali akan sampai ke daerah pemukiman mereka. Sebab, kata saya, kalau kedatangan saya ini direncana­kan mungkin saja tidak akan terlaksana. Lalu dia bertanya film cerita yang sedang digarap oleh rombongan yang saya ikuti di proyek transmigrasi Tulangbawang. Belum sempat saya bercerita panjang lebar, saya lihat seorang lelaki datang terbongkok-bongkok menguak ­rumpun singkong pada jalan setapak di luar jendela.
Saya yakin itulah Singgih si pekak itu. Dia memikul karung goni di punggungnya sehingga ia tampak bung­kuk seperti orang yang sedang memungut sesuatu di atas tanah. Saya rasa dia mungkin membawa hasil per­taniannya dan mungkin itu singkong. Saya berjalan keluar dari ruang tamu dan menghampirinya di pe­karangan. Dia memandang saya seolah saya bukan sahabatnya. Dia diam memandang saya sambil me­letakkan karung goni yang dipikulnya. Saya tidak me­nyebut nama saya. Saya biarkan dia menerka-nerka. Lama dia berbuat begitu sampai saya sudah tidak tahan untuk menyebut siapa saya. Tetapi, dia berteriak lebih dahulu seperti seseorang yang baru menemukan sesuatu yang hilang dalam ingatannya.
"Munawir?!" teriaknya keras.
Saya rentangkan kedua tangan saya dan sahabat saya itu lari dalam dekapan saya. Saya dekap tubuh sahabat saya yang kurus. Otot-ototnya keras bagaikan tumit sepatu dan mukanya basah oleh keringat. Degup jantung­nya mengetuk dada saya. Dia memeluk saya lebih erat dan mengangkat tubuh saya sampai saya menjingkat di atas tanah. Dia berputar-putar sehingga pandangan saya membentuk sebuah lingkaran. Kemudian dia letakkan saya di atas tanah dan dia mengguncang-guncang pada bahu saya. Dia terbatuk-batuk berkata di sela-selanya.
"Apa yang membawamu ke mari? Bajingan! Ada kau terima suratku?"
"Yang lain tanyakan!"
"Itu dulu jawab! "
"Semua teman-teman kita membacanya. Kami senang mendengar semua petani di daerah Tulangbawang ini menjadi petani yang sukses."
"Apa?"
"Berkata lebih keras," pinta istrinya.
Saya memekik di dekat daun telinganya mengulang apa yang telah saya ucapkan. Dia rupanya dapat menangkap ucapan saya. Dia terdiam sebentar memandang tanah. Dia pandang istrinya yang berdiri dengan anak-anaknya di bawah atap daun ilalang yang merupakan lanjutan atap seng dari bangunan induk.
"Lupakan semua itu. Apa kau makan tebu? Pepaya? Pisang? Semua bisa dipetik dari pohonnya. Semuanya siap dimakan. Kami tidak perlu menebangnya. Kami biarkan masak di pohon-pohonnya sampai kami perlu untuk memakannya."
Si istri memperingatkan suaminya untuk membawa saya masuk ke dalam rumah dan minum air tebu yang baru diperas dengan kayu penggencet. Saya merasa lega meneguk air tebu dari gelas yang dituangkannya sendiri. Ampas tebu tersangkut di kerongkongan saya dan saya terbatuk-batuk. Singgih tertawa melihat itu dan saya menyapu buih tebu dari bibir saya. Kemudian si istri tidak pernah lupa mengingatkan saya supaya berkata keras kepada suaminya. Saya ingat tentang alat pe­nangkap suara yang saya bawa. Saya pun menggerakkan kedua tangan saya dan menuding kedua daun telinga saya. Singgih menggangguk dan saya membuka tas yang saya bawa dan mengeluarkan alat penangkap suara khusus untuk para penderita pekak. Singgih saya lihat merasa heran dan mendekatkan dirinya kepada saya. Saya kenakan alat pendengar itu di kedua telinganya: Singgih tersentak dan mundur menjauh dari saya. Gerak yang ditimbulkannya menyentuh meja dan menjatuhkan tutup gelas. Saya tahu dia tidak melihat tutup gelas itu jatuh, tetapi dia memungutnya dari lantai.
"Aku dengar semua suara! Semua jadi jelas," katanya memandang istri dan anak-anaknya.
"Coba berteriak Bu! O, tidak usah berteriak, coba keluarkan suaramu!"
Si istri berkata memanggil suaminya. Anak-analnya memanggil ayahnya dan Singgih menjawab semua pang­gilan itu. Dia berlari ke luar.
"Banyak burung berkicau di sekitar rumah kita? Suara apa itu?"
"Mimi menimba air di sumur."
"O, semuanya dapat kudengar."
Dia masuk ke dalam rumah.
"Berapa alat ini kau beli untukku? Tentu mahal?"
"Sudah lama aku terniat untuk membelikannya pa­damu. Alat ini model mutakhir yang sangat sempurna. Saya yakin kau akan dapat mendengar jarum jatuh di atas lantai."
"Luar biasa alat ini! Aku bisa mendengar langkahku sendiri! "
Singgih meninggalkan kami. Dia masuk ke dalam kamar. Kemudian dia keluar dengan biola yang berdebu. Dia memberikan biola itu kepadaku.
"Mainkanlah untukku. Kau tentu masih ingat lagu kesenangan kita."
"Masih saja kau simpan biola itu?"
"Dia lambang tali persahabatan kita. Kita mencintai dua wanita yang bernama sama. Mainkan untukku!"
Saya ambil biola itu. Saya keluarkan dari kotaknya. "Masih kau ingat lagi kesenangan kita?"
"Aryati?"
Si istri tersenyum kepadaku. Aku telah menyebut namanya.
"Aryati. Satu nama untuk dua wanita. Dan, kau masih tetap mengingatnya."
"Aku tidakkan lupa. Aku menggesek biolanya dan kau melihat potret kekasihmu."
"Kau juga mengingat Aryati!"
"Tbtapi, tidak wanita di dalam potret itu!"
"Masa lalu. Dua sahabat, mencintai dua wanita yang bernama sama, Aryati!"
"Tapi, kau mendapatkannya dan aku tidak." "Aryatimu, tidak seperti Aryatiku!"
Wanita itu tersipu dan matanya berkaca-kaca.
Saya petik senar biola itu mencari nada-nadanya. Saya gosok tali penggeseknya dengan damar. Lipas melompat dari dalam rongganya. Dan, saya letakkan pangkalnya di antara dagu dan bahu saya. Singgih menarik kursi dan duduk dekat dinding. Si istri mendekat kepada suaminya. Anak-anak mereka yang banyak ber­kerubung di sekitar ayah mereka menanti gesekan biola di tanganku. Saya pun memainkan lagu Aryati. Saya masih bisa memainkannya dengan baik. Saya lihat mata sahabat saya itu berkaca-kaca. Dia mengelakkan mata­nya yang basah dari mata saya. Biola itu saya mainkan dengan nada yang menyayat-nyayat. Saya lihat si istri menarik ujung bajunya dan mengeringkan air pada sudut-sudut matanya. Saya terus memainkan lagu itu sampai selesai dengan baik.
"Kudengar semua. Jernih bagaikan air mengalir pada batu-batu. Kau memainkannya dengan bagus sekali, seperti pada saat kau memainkannya ketika aku memandang potret Aryati. Sekarang pendengaranku pun telah kembali sempurna seperti pada saat itu. Keduanya telah menjelma kembali. Telingaku dan gesekan biolamu. Tidak ada bedanya!
Dekat tengah malam saya kembali ke penginapan. Besok harinya saya datang ke rumah sahabat saya itu. Saya dapati rumah itu kosong. Anak lelaki sahabat saya itu tinggal menjaga rumah. Singgih dan istrinya pergi ke ladang. Anak-anaknya yang lain sedang sekolah. Saya masuk ke dalam rumah. Saya perhatikan rumah sahabat saya itu. Saya pergi ke dapur mencari air minum. Dan, anak laki-laki sahabat saya itu pergi berlari ke tengah ladang memanggil orangtuanya. Saya buka tingkap dekat pintu. Cahaya masuk menerangi dapur. Saya lihat rak piring dari dua jalur bambu untuk menopang tiga piring piring kaca dalam posisi miring. Dua gelas ditelungkup­kan pada kayu yang dipakukan pada kaso-kaso. Dinding dapur itu hitam karena asap. Tungku tanah liat masih mengepulkan asap dari sisa puntung kayu. Bara di bawah periuk yang terjerang itu telah lama menjadi debu. Waktu saya ambil puntung itu untuk membakar api rokok, debu bekas bara api itu tertinggal seperti potongan kayu yang masih utuh. Saya buka tutup periuk tanah yang terjerang. Di dalam periuk itu sedang terjerang sayur nangka yang kering. Di sebelah tungku terjerang air dalam ceret yang hitam karena asap. Saya pergi ke meja rendah di sudut ruangan. Di atas meja itu saya Lihat persediaan makanan yang tertutup tampi. Saya buka tampi penutup itu dan saya lihat persediaan makanan sahabat saya itu di dalam bakul.
Sahabat saya itu muncul pada pintu. Dia memandang saya. Saya lihat istrinya berdiri di belakang suaminya memandang pada saya.
"Itulah sebabnya kami tidak menawarimu makan tadi malam."
"Kau tidak bercerita begitu dalam suratmu, Singgih."
"Apakah aku harus bercerita tentang gaplek ke­padamu?"
"Kau telah membohongiku, Singgih."
"Begitu yang harus kutulis."
(Bibir dalam Pispot, 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar