Minggu, 19 September 2010

Naskah Drama Putu Wijaya


BILA MALAM BERTAMBAH MALAM
PUTU WIJAYA



BABAK I

MALAM DI TEMPAT KEDIAMAN GUSTI BIANG. SEBUAH BALE YANG DISEMPURNAKAN UNTUK TEMPAT TINGGAL.
Gusti Biang memanggil-manggil Wayan.


Adegan I
Kelihatan Nyoman sedang menyiapkan makan malam untuk Gusti Biang. Sementara Wayan mengampelas patung.
ORIGINAL SOUNTRACK: Wayan .. Wayaaaaaan ....
Nyoman memberi isyarat kepada Wayan.
1. NYOMAN : Benar Ida akan pulang hari ini?
2. WAYAN    : Ya ....


Adegan II
DI RUANG DEPAN ADA KURSI GOYANG DAN KURSI TAMU.
Gusti Biang ngomel terus.
3.
GUSTI BIANG
:
Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti ia sudah berbaring di kandangnya menembang seperti orang kasmaran pura-pura tidak mendengar, padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaan ..... Wayaaaaan tuaaaa.....
4.
WAYAN
:  
Nuna sugere Gusti Biang, kedengarannya seperti ada yang berteriak ................
5.
GUSTI BIANG
:  
Leherku sampai putus memanggilmu, telingamu  masih kamu pakai tidak?
6.
WAYAN
:
Tentu saja Gusti Biang, itu sebabnya tiyang datang .........
7.
GUSTI BIANG
:
Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, malas dan suka berbantah, cuma bisa bergaul dengan si belang. Kau dengar itu kuping tuli?
8.
WAYAN
:
Betul Gusti Biang.
Wayan meninggalkan ruangan dan Gusti Biang tetap duduk dan mengambil jarum. Berulang-ulang menggosok mata sambil menggerutu.


Adegan III
9.
GUSTI BIANG
:
Lubangnya terlalu kecil. Benangnya terlalu besar, sekarang ini serba terlampau. Terlampau tua, terlampau gila, terlampau kasar, terlampau begini, terlampau begitu. Sejak kemarin aku tidak berhasil memasukkan benang ini. Sekarang mataku berkunang-kunang. Oh, barangkali toko itu sudah menipu lagi. Atau aku terbalik memegang ujungnya? Wayaaaaan ...
10.
NYOMAN
:
(Muncul dengan baki di tangannya dan lampu teplok) Bagaimana Gusti Biang? Sudah sehat rasanya.
(Gusti Biang tidak menghiraukan dan tetap memasukkan benang ke jarumnya)
11.
NYOMAN
:
Gusti Biang, ini air daun belimbing, bubur ayam yang sengaja tiyang buatkan untuk Gusti. (Melihat kesulitan Gusti Biang) Mari tiyang tolong.
12.
GUSTI BIANG
:
Waaayaaaaan ... (Kaget karena sentuhan) Ulaaaaar......
13.
NYOMAN
:
Ya ya kenapa Gusti terkejut ini kan Nyoman ....
14.
GUSTI BIANG
:
Kau? Kau (Terbatuk)
15.
NYOMAN
:
Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi, minum sekarang ya?
16.
GUSTI BIANG
:
Kau .. kau setan, kukira ular belang jatuh dari pohon, bikin sakit jantungku kumat lagi.
17.
NYOMAN
:
Gusti Biang takut sekali dengan ular, kenapa?
18.
GUSTI BIANG
:
Binatang itu menggigit dan menjijikkan.
19.
NYOMAN
:
Tapi tidak semua ular berbahaya. (Tersenyum) Tiyang juga takut pada ular.
20.
GUSTI BIANG
:
Aku tak perduli. Apa tugasmu di sini?
21.
NYOMAN
:
Sekarang sudah saatnya Gusti Biang minum obat.
22.
GUSTI BIANG
:
Hari ini aku tak mau minum obat.
23.
NYOMAN
:
Oh ya, baik tiyang tolong dulu Gusti memasukkan benang ke jarumnya.
24.
GUSTI BIANG
:
Juga tidak. Kau tidak diperlukan di sini
25.
NYOMAN
:
(Memungut jarum di lantai) Coba dari tadi memanggil tiyang, tidak jadi kusut begini. Gusti Biang terlalu sayang pada Bape Wayan. Lihat gampang bukan?
26.
GUSTI BIANG
:
Kau jangan menyindir aku, tentu saja semuanya bisa begitu. Aku juga bisa mengerjakannya, tapi lobangnya yang terlampau sempit.
27.
NYOMAN
:
Terlampau sempit? Piih, semua jarum dibuat kecil Gusti, makin halus makin mahal harganya (Tersenyum)
28.
GUSTI BIANG
:
Siapa bilang? Itu tak ada lobangnya sama sekali, toko itu menjual kawat utuh kepadaku. Setan alas.
29.
NYOMAN
:
Tak percaya? Coba sekali lagi.
30.
GUSTI BIANG
:
Jangan berlagak di sini (Mengacungkan tongkat). Ini bukan arje roras! Aku sudah bosan dibohongi dengan sulapan palsumu. Kau pikir aku tak bisa menguasai jarum kecil itu, piih, lakiku sendiri tak pernah menghina aku demikian ...
31.
NYOMAN
:
Ambilah Gusti Biang. Gusti boleh menyulam sekarang (Melihat lampu). Tapi di sini terlalu gelap (Membesarkan). Nah, sekarang sudah cukup terang. Ambil Gusti.
32.
GUSTI BIANG
:
Tidak! Kau mulai menyulap aku lagi, aku tak sudi menyentuh barang sihirmu. Suasana kotor sekarang.
33.
NYOMAN
:
Kalau begitu, tiyang ikatkan saja ujung benang ini ke kainnya, nanti Gusti Biang meneruskannya saja.
34.
GUSTI BIANG
:
Pergi! Pergi! Nanti kupanggilkan Wayan supaya kau diusir ....
(Nyoman tidak perduli, meneruskan sulaman sambil bernyanyi kecil)
35.
GUSTI BIANG
:
Dewa Ratu .. Kau telah merusak sarung bantal anakku .... Waayaaannn.. Waayaaaaaan ....Dimana pula setan itu, Wayaaaan ....
36.
NYOMAN
:
Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh tiyang yang mengerjakannya. Mestinya, ditengahnya bisa disulam dengan warna biru muda. Lalu dengan menulis rapih “Selamat malam kasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis, good night my darling”.
37.
GUSTI BIANG
:
Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini. Berlagak mengatur orang lain yang masih waras. Apa good, good apa? Good bye! Menyebut kekasih, manis, kau pikir apa anakku. Wayan akan menguncimu di dalam gudang tiga hari tiga malam, dan kau akan meraung seperti si belang.
38.
NYOMAN
:
Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak. Seperti lima belas tahun yang lalu ketika tiyang masih kecil dan sering duduk di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti?
39.
GUSTI BIANG
:
Tak kubiarkan lagi kau bermain di pangkuanku, berak, ngompol. Memang aku ini pelayanmu?
40.
NYOMAN
:
Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi. Tidak seperti orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka cermin, seperti tiga puluh tahun saja .. Mau minum obatnya sekarang Gusti?
41.
GUSTI BIANG
:
Tidak!
42.
NYOMAN
:
Tiyang cicipi ya? Cobalah Gusti Biang ... mmm segar.
43.
GUSTI BIANG
:
Sepatahpun aku tak ingin bicara lagi denganmu.
44.
NYOMAN
:
Gusti Biang, pil ini musti ditelan satu persatu. Pakai pisang ambon atau pisang susu, atau air. Pilih mana yang Gusti suka. Tidak pahit rasanya Gusti. Dan dalam tempo seperempat jam, Gusti akan merasa segar. Sesudah itu minum puyer ini, untuk menghilangkan pusing-pusing Gusti.
45.
GUSTI BIANG
:
Tidak!
46.
NYOMAN
:
Obat-obat ini dikirimkan dokter Gusti. Harus dihabiskan.
47.
GUSTI BIANG
:
Tidak, tidak. Aku tahu semuanya itu. Kalau aku menelan semua obat-obatmu itu, aku akan tertidur seumur hidupku, dan tidak akan bangun-bangun lagi, lalu good bye. Lalu kau akan menggelapkan beras ke warung cina. Kau selamanya iri hati dan ingin membencanaiku ... Kalau sampai aku mati karena racunmu, Wayan akan menyeretmu ke pengadilan.
48.
NYOMAN
:
Dan yang terakhir baru menggosok punggung dan seluruh anggota badan Gusti yang terbuka dengan minyak kayu putih.
49.
GUSTI BIANG
:
Tidak, tidak. Tidak akan kubiarkan tubuhku ditelanjangi dan disentuh orang-orang yang kurang ajar. Aku bukan ibumu, aku bukan nenekmu.
50.
NYOMAN
:
Nah sekarang kita mulai dengan tablet-tablet ini Gusti. Menurut resep boleh ditelan atau dihancurkan, mana yang Gusti pilih. Kita mulai dengan pil merah ini Gusti.
51.
GUSTI BIANG
:
Dewa Ratu ....
52.
NYOMAN
:
Sebaiknya ditelan saja Gusti, itu yang paling aman ....
53.
GUSTI BIANG
:
Aku tak mau dibujuk, mana si Wayan kambing tua itu. Setan ini benar-benar mau meracuniku, Waaayaaaan ..
54.
NYOMAN
:
Ayo cepat Gusti. Tidak akan merasa pahit dan sakit.
55.
GUSTI BIANG
:
Wayan tolong Wayan.
56.
NYOMAN
:
Letakkan saja di atas pisang di ujung lidah. Lantas pejamkan mata. Lihat, dan secepat kilat akan meluncur Gusti.
57.
GUSTI BIANG
:
Ah ... racunlah dirimu sendiri, gosok punggungmu sendiri. Buat apa kau meributkan benar penyakit orang lain. Itu tugas dokter di rumah sakit, dan bukan tugas penyeorangan seperti engkau .... Kalau memang aku sakit, aku akan berbaring di kamarku, dan memanggil wayan supaya memijat keningku. Tidak ada yang salah kalau lelaki itu di sini. Wayaaaan ..Wayaaaan, lehermu akan diputar nanti.
58.
NYOMAN
:
Kenapa Gusti Biang jadi seperti ini, Gusti mengecewakan tiyang.
59.
GUSTI BIANG
:
Sakit gede, seumur hidupmu. Kalau akhirnya aku mati karena racunmu, awas-awaslah, rohku akan membalas dendam. Aku akan diam di batang-batang pisang dan di batu-batu besar, dan akan mengganggumu sampai mati. Tiap malam, bila malam bertambah malam. Setan, pergi kau, pergi. Sebelum kulempar dengan tongkat ini, pergi!
60.
NYOMAN
:
Baiklah Gusti. Baiklah Gusti, tak apalah. Tapi tentunya Gusti lebih senang kalau puyer ini yang diminum lebih dahulu, baru kemudian menyusul pil-pil yang lain, atau Gusti ingin bersantap malam dulu. Percayalah Gusti, tidak akan terjadi apa-apa.
61.
GUSTI BIANG
:
Wayaaaaaan ... Wayaaaaa. Tolong Wayaaaaaan ...
62.
NYOMAN
:
Lihat Gusti. Gusti sudah merusak badan Gusti sendiri dengan berteriak-teriak.
63.
GUSTI BIANG
:
Pergi kau leak. Pergi pergi ...pergi ...
64.
NYOMAN
:
Gusti telah menyakiti tiyang lagi. Saya akan pergi. Saya akan pergi sekarang juga.
65.
GUSTI BIANG
:
Ya, pergi kau sekarang juga. Bedebah. Leak. Pil-pil tiap hari dicekoki pil.
66.
NYOMAN
:
Waktu putra Gusti pergi lima tahun lalu. Ide berpesan pada tiyang. Jaga baik-baik ibuku Nyoman, peliharalah kesehatannya, jangan biarkan beliau menderita. Sekarang Gusti Biang dinyatakan sakit. Gusti harus berobat.
67.
GUSTI BIANG
:
Diam! Diam!
68.
NYOMAN
:
Baiklah kalau begitu (Hendak pergi) Gusti tidak usah berobat. Ya, apa peduli tiyang, segera Gusti akan terkapar lesuh. Malam akan bertambah malam jua (Sampai di pintu ia berbalik dan mendekati meja)
69.
GUSTI BIANG
:
Apa perdulimu?
70.
NYOMAN
:
Tapi semua itu akan segera hilang ...Kalau Gusti mau meneguk air daun belimbing ini. Jamu ini diramu berdasarkan petunjuk dukun kesayangan Gusti Biang. Tiyang sudah mencampurnya dengan akar-akaran yang harum dan akan menguatkan badan. Pasti Gusti Biang tidak akan batuk lagi. Gusti Minumlah .....
71.
GUSTI BIANG
:
Kau memang setan licik! (Berteriak hendak memukul)
(Nyoman menarik dari belakang)
72.
GUSTI BIANG
:
Lepaskan! Lepaskan leak! Wayan, Wayaaaan
(Nyoman berhasil mendudukkan Gusti Biang di kursi tapi Gusti Biang memukul bertubi-tubi dan Nyoman berlari ke sudut ruang)
73.
NYOMAN
:
Cukup! Cukup! (Berlari mengelilingi meja)
74.
GUSTI BIANG
:
(Terus memukuli Nyoman dan Nyoman merebut tongkat) Wayan tolong Wayaaaan ...
75.
NYOMAN
:
Tak tiyang sangka Gusti sudah seberat ini! Tak tiyang sangka. Tiyang akan pergi ke desa, tak mau meladeni Gusti lagi!
76.
GUSTI BIANG
:
Pergi leak! Aku sama sekali tidak menyesal!
77.
NYOMAN
:
(Berlari keluar) Tiyang tidak akan kembali lagi!
78.
GUSTI BIANG
:
Pergi sekarang juga! Wayaaan Wayan tua ... (Duduk) Ratu Singgih, moga-moga tulahlah perempuan itu, Wayaaan ..........


Adegan IV
(Wayan masuk)
79.
WAYAN
:
Kalau tak salah seperti ada yang berteriak ...
80.
GUSTI BIANG
:
Tua bangka, ke mana saja kau tadi, kenapa baru datang?
81.
WAYAN
:
Tiyang ketiduran di gudang.
82.
GUSTI BIANG
:
Kejar setan itu, putar lehernya! .. Kejar dia goblok!
83.
WAYAN
:
Mana ada setan sore-sore begini Gusti?
84.
GUSTI BIANG
:
Kejar perempuan setan itu.
85.
WAYAN
:
Perempuan, perempuan yang mana Gusti?
86.
GUSTI BIANG
:
Begundal itu! Masukkan dia ke gudang!
87.
WAYAN
:
Maksud Gusti, Nyoman?
88.
GUSTI BIANG
:
Usir dia dari rumah ini!
89.
WAYAN
:
Tetapi ... tetapi ...
90.
GUSTI BIANG
:
Tua bangka, pukul dia sampai mati, putar lehernya. Diam saja seperti kambing!
91.
WAYAN
:
(Tertawa) Gusti, Gusti, tidak ada kambing di sini!
92.
GUSTI BIANG
:
Kau juga tidak waras!
93.
WAYAN
:
Tetapi, memukul? Memutar leher?
94.
GUSTI BIANG
:
Penakut!
95.
WAYAN
:
Tidak, titiyang tidak takut sama leak atau memedi, tetapi memutar leher Nyoman, piih, lebih baik memutar leher tiyang sendiri. Perawan yang begitu cantik, baik, mahal.
96.
GUSTI BIANG
:
Dia mau meracunku.
97.
WAYAN
:
Meracun? Masak, ada yang berniat meracun Gusti.
98.
GUSTI BIANG
:
Kau tukang ngotot.
99.
WAYAN
:
Jangan gampang marah Gusti, itu cuma angan-angan. Sabarlah. Kalau usia sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!
100.
GUSTI BIANG
:
Bedebah! Anjing ompong! Setelah mengusir dia aku akan mengutuk kau, biar ,mati kelaparan di pinggir kali.
101.
WAYAN
:
Baik, kutuklah tioyang. Usir sekarang, tapi jangan menyuruh menyakiti orang dalam usia lanjut. Orang sedang bertapa dan bertobat disuruh mukul orang. Kalau ular belang atau ular hijau, cacing tanah atau ulat bulu, Wayan akan bunuh untuk keselamatan Gusti seperti tiga bulan lalu. Gusti duduk di sini dan titiyang di sana di bawah pohon sawo. Tiba-tiba Gusti Biang berteriak “ULAR”. Sekejab mata ular itu telah menjadi delapan potong, ya tidak?
102.
GUSTI BIANG
:
Ular ...?
103
WAYAN
:
Jangan takut. Ular kelihatannya saja berbahaya, tapi sebenarnya binatang yang paling pemalu dan lucu. Titiyang sendiri sering menyimpan ular sawah dalam saku untuk dibelai pada waktu senggang, ...Oh mana ya? Ular sawah tak mengandung bisa, Gusti jangan takut ... (Merogoh kantongnya) Ah, ini dia.
104.
GUSTI BIANG
:
Ulaaaarrrrr.
(Gusti Biang lari, Wayan menggeleng-gelengkan kepala mendengar janda bangsawan itu memaki-maki. Malam bertambah larut)

BABAK II

HALAMAN RUMAH MALAM.
Wayan sedang mengenang masa-masa mudanya.

Adegan I
Wayan menembang pelan-pelan. Tiba-tiba melihat sosok tubuh, lalu menghampiri.
105.
WAYAN
:
Mau ke mana Nyoman?
106.
NYOMAN
:
Pulang ke desa.
107.
WAYAN
:
Malam-malam begini?
108.
NYOMAN
:
Apa salahnya?
109.
WAYAN
:
Kau akan kemalaman di jalan.
110.
NYOMAN
:
Aku tidak takut.
111.
WAYAN
:
Banyak orang jahat sekarang.
112.
NYOMAN
:
Biar saja, daripada saya sakit tinggal di sini.
113.
WAYAN
:
Besok sajalah pagi-pagi, bape akan mengantarmu dengan bus. Oh ya, kau belum dapat ijinkan?
114.
NYOMAN
:
Biar.
115.
WAYAN
:
Kapan kau akan balik? Kenapa tergesa-gesa? Bape tidak marah Nyoman. Bape bersumpah lebih baik mati dimakan leak daripada memukul engkau. Kenapa tiba-tiba saja pulang?
116.
NYOMAN
:
Saya dipukul, saya diusir, buat apa tinggal di sini kalau tidak disukai.
117.
WAYAN
:
Nyoman. Nyoman sudah biasa tinggal di sini, kau tak akan betah tinggal di sana. Nanti kamu akan rusak di sana.
118.
NYOMAN
:
Tapi di sana orangnya baik-baik. Saya tidak pernah dipukul, saya lebih senang tinggal di situ, biar cuma makan batu.
119.
WAYAN
:
Daripada makan batu lebih baik tinggal di sini, makan minum cukup, ada radio, bisa nonton film India.
120.
NYOMAN
:
Tapi kalau tertekan seperti binatang? Dimarahi, dihina, dipukul seperti anak kecil!
121.
WAYAN
:
Tapi Nyoman harus mengerti, kita berhutang budi pada Gusti Biang.
122.
NYOMAN
:
(Pelan-pelan) Memang, saya banyak berhutang budi, dikasih makan, disekolahkan, dibelikan baju, dimasukkan kursus modes, tapi kalau tiap hari dijadikan bal-balan, disalah-salahkan terus? Sungguh mati kalau tidak dikuat-kuatkan, kalau tidak ingat pesan tu Ngurah, sudah dari dulu-dulu sebetulnya.
123.
WAYAN
:
Aduh, apa nanti yang mesti bape katakan kalau dia menanyakan .... ”Di mana Nyoman Bape?” Nah, apa yang akan Bape jawab?
124.
NYOMAN
:
Ide sudah lupa sama icang Bape, di sana banyak bintang-bintang pilem, pasti dia sudah lupa. Nulis surat aja tidak.
125.
WAYAN
:
Tidak, dia tidak begitu?
126.
NYOMAN
:
Siapa bilang begitu?
127.
WAYAN
:
Aku tidak bilang. Ha .. ha .. pasti dia tidak akan begitu. Kalau sampai begitu, aku yang tanggung jawab. Makanya jangan pulang, sini barangnya..
128.
NYOMAN
:
Akan saya tunggu di desa saja.
129.
WAYAN
:
Sudahlah, dia cuma orang tua bangka. Umurnya hampir tujuh puluh tahun. Kenapa Nyoman pusing benar kepadanya?


Adegan II
Suara Gusti Biang mencari Nyoman, Gusti Biang muncul dan Nyoman menghampiri Wayan.
130.
NYOMAN
:
Saya pergi Bape, tidak bisa tahan lagi, saya sudah bosan.
131.
GUSTI BIANG
:
Jangan biarkan dia membawa bungkusan itu! Tahan dia Wayan.
132.
WAYAN
:
Tentu Gusti Biang.
133.
NYOMAN
:
Baik, titiyang akan pergi.
134.
GUSTI BIANG
:
Suruh dia pergi goblok, jangan biarkan dia mencuri bungkusan itu. Itu bukan kepunyaannya.
135.
WAYAN
:
Tapi itu pakaiannya sendiri Gusti.
136.
GUSTI BIANG
:
Dulu ketika kubawa kemari, dia cuma pakai kain rombeng. Ambil segera Wayan! Sakit gede.
137.
NYOMAN
:
Baik, ambil saja Bape Wayan.
138.
GUSTI BIANG
:
Nanti dulu.
139.
NYOMAN
:
Apa lagi yang Gusti kehendaki?
140.
GUSTI BIANG
:
Wayan!
141.
WAYAN
:
Ya, ada apa Gusti?
142.
GUSTI BIANG
:
Simpan bugkusan itu, jangan goblok kamu, lalu ambil buku besar, catatan keluar masuk, dari dalam lemari, ini kuncinya. Cepat!
143.
WAYAN
:
Ah, catatan keluar masuk? Baru sekali ini titiyang mendengarnya .....
144.
GUSTI BIANG
:
Ambil cepat goblok.
145.
WAYAN
:
Tapi buku besar yang mana Gusti?
146.
GUSTI BIANG
:
Tolol kamu ini! Buku besar di dalam lemari yang berwarna hijau.
147.
WAYAN
:
Oh.
148.
GUSTI BIANG
:
Ayo cepat!


Adegan III
Wayan masuk membawa bungkusan. Gusti Biang bertolak pinggang, Nyoman memperhatikan dengan sangat benci.
149.
GUSTI BIANG
:
Perempuan tak tahu balas budi. Tidak tahu berterima kasih, dikasih makan tiap hari malah durhaka. Disekolahkan malah jadi lawan. Maling, ular, mau meracun.
150.
NYOMAN
:
Katakan sepuas-puasnya Gusti Biang.
151.
GUSTI BIANG
:
Aku mau diracunnya, terlalu. Akan kuadukan kau kepada polisi. Gila!
152.
NYOMAN
:
Gusti sendiri yang menyiksa tiyang.
153.
GUSTI BIANG
:
Dasar penjilat! Kuberhentikan kau sekolah karena kau main mata dengan guru dan tukang kebun sekolah itu.
154.
NYOMAN
:
Bohong! Itu hasutan anak Gusti Biang sendiri.
155.
GUSTI BIANG
:
Benar!
156.
NYOMAN
:
Bohong!
157.
GUSTI BIANG
:
Benar, kau memang liar, genit, dan licik serta apa saja yang jelek-jelek.
158.
NYOMAN
:
Baik, baik, tapi kau juga genit.
159.
GUSTI BIANG
:
Apa katamu?
160.
NYOMAN
:
Kau juga genit, kau ...
161.
GUSTI BIANG
:
Apa katamu leak? Wayan akan memutar lehermu!
162.
NYOMAN
:
Wayan akan memutar lehermu!
163.
GUSTI BIANG
:
Dia akan menguncimu dalam gudang!
164.
NYOMAN
:
Dia akan menguncimu dalam gudang!
165.
GUSTI BIANG
:
Setan! Akan kucarikan kau polisi!
166.
NYOMAN
:
Polisi itu akan membawakan Gusti ular belang.
167.
GUSTI BIANG
:
Diam! Diam!
(Nyoman hendak pergi meninggalkan Gusti Biang, tapi Gusti Biang mencegahnya)
168.
GUSTI BIANG
:
Jangan pergi! Jangan duduk! Jangan bergerak!
169.
NYOMAN
:
(Berhenti lalu mendekat dan memandang Gusti Biang dengan marah) Gusti Biang, tiyang bosan merendahkan diri, dulu tiyang menghormati Gusti karena usia Gusti lanjut. Tiyang mengikuti semua apa yang Gusti katakan, apa yang Gusti perintahkan meskipun tiyang sering tidak setuju. Tetapi Gusti sudah keterlaluan sekarang. Orang disuruh makan tanah terus-menerus, Gusti anggap tiyang tak lebih dari cacing tanah. Semutpun kalau diinjak menggigit, apalagi manusia, Gusti yang seharusnya agung, luhur, menjadi tauladan tapi seperti ....
170.
GUSTI BIANG
:
Seperti apa?
171.
NYOMAN
:
Orang kebanyakan saja mempunyai kasih sayang dan menghargai orang lain. Tapi Gusti, di mana letak keagungan Gusti? Cobalah Gusti berjalan di jalan raya seperti sekarang, Gusti akan ditertawakan oleh orang banyak. Sekarang orang tidak lagi diukur dari keturunan tapi kelakuan dan kepandaianlah yang menentukan. Sekarang tidak hanya bangsawan, semua orang berhak dihormati kalau baik. Begitu mestinya.
172.
GUSTI BIANG
:
Begitu mestinya. Bohong! Bohong tolol!
173.
NYOMAN
:
Memang tiyang tolol. Buat apa mengatakan ini semua. Gusti sudah terlalu lanjut, akan terlalu sakit untuk mengubah kebiasaan Gusti. Tapi seandainya mencoba, mencoba saja, saya akan mau di sini mengabdi untuk selamanya.
174.
GUSTI BIANG
:
(Meludah) Ha.. ha .. kau tidak perlu pidato omong kosong, kau perempuan sudra. Kau akan kena tulah karena berani menentangku, hei cepat Wayan!

Adegan IV
(Wayan muncul dengan buku ditangannya)
175.
GUSTI BIANG
:
Nah, sekarang sebelum kau pergi, kau harus melunasi hutangmu dulu.
176.
NYOMAN
:
Hutang apa? Nyoman tidak pernah meminjam uang.
177.
GUSTI BIANG
:
Buka bagian yang bertuliskan tinta merah, Wayan, cepat Wayan!
178.
WAYAN
:
(Tampak bingung membalik-balik buku) Nanti dulu, piih. Nah ini dia.
179.
GUSTI BIANG
:
Baca perlahan dengan jelas. Baca kataku!
180.
WAYAN
:
(Masih bingung, mendekatkan lampu) Piih, mata tiyang kurang terang, sebentar, piih kenapa belum terang juga, kabur Gusti.
181.
WAYAN
:
Gusti lupa, Wayan tak pernah belajar membaca.
182.
GUSTI BIANG
:
Setan bawa kemari buku itu!
(Gusti Biang mengambil buku itu dan memberi isyarat kepada Wayan agar mengambil kaca mata dan lampu teplok. Wayan segera melakukannya dan mengangkat lampu teplok tinggi-tinggi)
183.
GUSTI BIANG
:
Nah, di sini dicatat semua perongkosan yang kau habiskan selama kau dipelihara di sini. Nyoman Niti, asal dari desa Maliling, umur lebih kurang delapan belas tahun. Kulit kuning dan rambut panjang. Badan biasa, lebih tinggi sedikit dari Gusti Biang. Mulai dari tahun lima puluh empat, lima pasang baju, sebuah boneka, sebuah bola bekel, satu biji kelerang, satu tusuk konde, dan ...
184.
WAYAN
:
(Memotong) Benar, piih, semua Gusti catat.
185.
NYOMAN
:
Gusti Biang ....
186.
GUSTI BIANG
:
Tahun lima puluh lima, sekarang! Dua baju rok, batu tulis, kebaya, pinsil, satu batang jarum, sepasang teklek, tikar dan seekor anak kucing belang.
187.
WAYAN
:
Ah, benar Gusti Biang, titiyang masih ingat sekali ketika pertama kali Nyoman mengenakan kain kebaya. Piih, semuanya itu sudah lewat.
188.
GUSTI BIANG
:
Selama dua tahun ini sudah berjumlah dua juta rupiah ... kemudian sekarang tahun lima puluh enam! Tidak ada, sebab aku lupa mencatatnya. Tahun lima puluh tujuh, aku juga lupa mencatatnya. Tetapi di sini yang kuingat, ia memecahkan sebuah cangkir dan kaca mataku. Lalu tahun lima puluh delapan! Sepasang sandal, sekotak bedak, kaca jendela dipecahkannya, dua buah gelas tiba-tiba menghilang, sekilo daging dimakan si belang karena lupa mengunci dapur. Tiga buah sisir, tiga butir kelapa hilang. Seekor ayamku yang paling baik disembelihnya, sepuluh anak ayam tiba-tiba mati, yang bulu putih, hitam, coklat, kuning, dan berumbun. Lalu ...
189.
WAYAN
:
Tapi semua itu tak bisa dipertanggungjawabkan kepada Nyoman, Gusti, itu adalah kesalahan induknya yang tidak berhati-hati menjaga anaknya. Bukan kesalahan Nyoman.
190.
GUSTI BIANG
:
Diam! Diam kataku! Ini adalah urusanku, nanti kau akan mendapat bagianmu sendiri. Nah, ongkos hidupmu hampir delapan belas tahun di sini, benar-benar sudah kelewat batas. Coba lihat di sini, tahun enam puluh misalnya .. memecahkan kaca jendela, korupsi sabun, menghanguskan nasi, korupsi uang belanja dapur dan pekerjaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa kali aku memanggil mantri untuk mengobatinya, membeli obat waktu ia sakit. Banyak, banyak sekali, itu belum ditambah yang lain-lain yang aku lupa catat. Belum lagi ditambah bunganya ...
191.
WAYAN
:
Piih, ini perhitungan gila!
192.
GUSTI BIANG
:
(Berkata sungguh-sungguh) Semua telah aku catat bersama tanggal dan hari kejadiannya. Sekarang kau boleh pergi. Kapan-kapan aku dan Wayan akan datang ke tempatmu dengan seorang polisi dan juru sita sebab kau pasti tidak bisa membayar. Kau cuma punya gubuk yang buruk di desa dan tak pernah makan nasi. Rentenya sepuluh persen sebulan. Nah, bawa buku ini lagi ke dalam Wayan. Simpan baik-baik untuk dipergunakan kelak. Lalu usir dia! Apa yang kau tunggu lagi? Ambil buku ini, dan usir dia!
(Wayan tak menerima, ia mendekat ke meja dan meletakkan lampu teplok kemudian berjongkok )
193.
WAYAN
:
Titiyang tak kuasa. Badan titiyang lemas. Gusti telah, mencatat hutang-hutang titiyang pula. Berapa semuanya Gusti?
194.
GUSTI BIANG
:
Sudah tak terhitung lagi, hampir dua puluh juta!
195.
WAYAN
:
Piih, titiyang punya nyawapun tak ada harganya dua puluh juta, Gusti, titiyang benar-benar ingin menangis sekarang.
196.
GUSTI BIANG
:
Usir dia sekarang juga, jangan ngarje roras di sini. (Melihat Wayan masih jongkok) Apa? Baik aku sendiri yang mengusirnya kalau kau tak mau.
197.
NYOMAN
:
Tidak usah disuruh Gusti, tiyang memang mau pergi sekarang. Tetapi sebelum titiyang pergi, tiyang hitung berapa hutang Gusti kepada tiyang.
198.
GUSTI BIANG
:
Oh, aku tak pernah pinjam uang sepanjang hidupku..
199.
NYOMAN
:
Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebih harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambillah semua itu sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.
200.
GUSTI BIANG
:
Pergiiii! Pergiiii!
(Nyoman menghapus airmata dan berlari ke luar pintu! Janda bangsawan itu mengawasinya dengan mengangkat lampu teplok)


Adegan V
(Wayan yang duduk membelakangi Gusti Biang tidak tahu kalau Nyoman telah pergi)
201.
WAYAN
:
(Bergumam) Satu milyar kali sepuluh tahun? Aneh-aneh saja pembukuan jaman sekarang!
202.
GUSTI BIANG
:
(Mendekati Wayan) Jangan cerewet Wayan. Awasi dia supaya jangan kembali kemari, kau dengar?
203.
WAYAN
:
Sabar Gusti, kenapa Gusti gelap mata? Gusti telah menghantam semua orang dengan hutang. Satu milyar dan .. (Menoleh ke belakang dan heran) Piih, di mana Nyoman, Gusti?
204.
GUSTI BIANG
:
Dia sudah pergi, buta. Dia tidak akan mengganggu kita lagi ....
205.
WAYAN
:
Maksud Gusti, dia sudah pergi dan titiyang tidak melihatnya?
206.
GUSTI BIANG
:
Ya, kita sudah terlepas dari bahaya ....
207.
WAYAN
:
Terlepas? Justru bahaya itu sekaranglah baru mulai Gusti.
208.
GUSTI BIANG
:
(Tertawa geli) Tenang Wayan. Jangan pikirkan yang dua puluh juta itu, aku cuma pura-pura.
209.
WAYAN
:
(Beringas) Titiyang tidak memikirkan titiyang punya diri, titiyang memikirkan putra Gusti Biang.
210.
GUSTI BIANG
:
Bagus Wayan. Ah, mana kaca mata itu. Segera kita akan baca berita yang dikirimnya.
211.
WAYAN
:
Dia akan mengumpat titiyang dan akan mengalungkan ular karena keteledoran titiyang. Ke mana tadi perginya Gusti? Titiyang akan mengejarnya.
212.
GUSTI BIANG
:
Apa maksudmu Wayan?
213.
WAYAN
:
Buta! Tuli! Pikun! Piih! Dunia! Dunia ...
214.
GUSTI BIANG
:
(Panik) Katakan, kenapa dia Wayan? Ya katakan, katakan apa maksudmu.
215.
WAYAN
:
(Menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal) Nyoman Niti, Gusti Biang.
216.
GUSTI BIANG
:
Ya, Nyoman begundal itu, kenapa dia?
217.
WAYAN
:
Gusti, Nyoman adalah tunangan Ngurah, calon menantu Gusti Biang sendiri, berani sumpah, Nyoman adalah tunangan Ngurah. Ratu Ngurah sendiri yang mengatakannya. “Aku akan mengawini Nyoman Bape” katanya. “Biar hanya orang desa, pendidikannya rendah tapi hatinya baik, daripada ...” biar dimakan leak. Demi apa saja!
218.
GUSTI BIANG
:
Tidak, semua itu hasutan. Anakku tidak akan kuperkenankan kawin dengan bekas pelayannya. Dan, kami keturunan ksatria kenceng. Keturunan raja-raja Bali yang tak boleh dicemarkan oleh darah sudra.
219.
WAYAN
:
Tapi kalau Ratu Ngurah menghendaki, bagaimana?
220.
GUSTI BIANG
:
Bisa saja dipelihara sebagai selir. Suamiku dulu memelihara lima belas orang selir. Kalau tidak, jangan mendekati anakku.
221.
WAYAN
:
Tapi mereka saling mencintai!
222.
GUSTI BIANG
:
Cinta? Apa itu cinta, itu hanya ada dalam kidung-kidung Smarandanamu.
223.
WAYAN
:
Kalau begitu alamat akan perang.
224.
GUSTI BIANG
:
Perang, apa maksudmu? Perang sudah selesai, tidak ada perang lagi!
225.
WAYAN
:
Wayan tidak mau kehilangan tongkat dua kali.
226.
GUSTI BIANG
:
Ngurah tidak akan sudi menjamah perempuan dekil itu.
227.
WAYAN
:
Ratu Ngurah benar-benar mencintai Nyoman, Gusti Biang.
228.
GUSTI BIANG
:
Bohong!
229.
WAYAN
:
Baik, bacalah surat itu kalau tidak percaya!
230.
GUSTI BIANG
:
Surat? Ini surat Ngurah, aku terima tadi.
231.
WAYAN
:
Sudah lima hari yang lalu!
232.
GUSTI BIANG
:
Tapi! Kau keterlaluan!
233.
WAYAN
:
Coba baca!
(Gusti Biang membaca dekat lampu teplok dan Wayan mendengarkan dengan tenang)
234.
GUSTI BIANG
:
Swatiastu, ibunda tercinta .... Kalau aku bilang tadi, kamu bilang sudah lima hari, apa saja yang aku katakan kamu lawan! Dewa Ratu, dengarlah Wayan. Betapa pinternya ia menghormati (Membaca lagi) dengan singkat ananda kabarkan bahwa ananda segera pulang. Ananda telah merencanakan berunding dengan ibu. Sudah masanya sekarang ananda menjelaskan. Meskipun ananda belum menyelesaikan pelajaran, bahkan mungkin ananda akan berhenti sekolah saja, sebab tak ada lagi gunanya. Ananda hendak menjelaskan kepada ibu bahwa ananda tidak bisa lagi berpisah lebih lama. Rahasia ini ananda simpan sejak lama. Supaya ibu tidak kaget nanti, akan saya terangkan bahwa ananda bermaksud, ananda bermaksud ... ananda bermaksud (Mengulang sambil mendekatkan lampu teplok)
235.
WAYAN
:
Bermaksud apa?
236.
GUSTI BIANG
:
Bermaksud, bermaksud ...
237.
WAYAN
:
Ya bermaksud apa? Baca terusnya Gusti Biang.
238.
GUSTI BIANG
:
(Tiba-tiba surat itu jatuh dari pegangannya) Jadi, dia benar-benar mau kawin dengan perempuan itu?
239.
WAYAN
:
Ya!
240.
GUSTI BIANG
:
Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras, Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orang tua seperti itu. Apapun yang terjadi dia harus terus menghargai martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini. Apa nanti kata Sagung Rai? Apa nanti kata keluarganya kepadaku? Tidak, tidak! (Wanita itu menjerit dan mendekati Wayan dengan beringas) Kau, kau biang keladi semua ini. Kau yang menghasut supaya mereka bertunangan. Kau sakit gede!
241.
WAYAN
:
Tidak, titiyang tidak ikut campur Gusti Biang.
242.
GUSTI BIANG
:
Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian jaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!
243.
WAYAN
:
Siapa bilang tiyang gagal!
244.
GUSTI BIANG
:
Suamiku yang telah menggagalkan kau.
245.
WAYAN
:
Suami Gusti Biang seorang pembohong!
246.
GUSTI BIANG
:
Bedebah! Berani kau menghina pahlawan di puri ini?
247.
WAYAN
:
(Tertawa pehit. Wajahnya menjadi keras) Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?
248.
GUSTI BIANG
:
Semua mengatakan dia pahlawan! Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati ditembak Nica!
249.
WAYAN
:
Itu bohong! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan Gajah Merah memang pantas disebut pahlawan, Pahlawan penjajah! Orang-orang seperti dia telah menikam perjuangan dari belakang.
250.
GUSTI BIANG
:
Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu! (Melempari wajah Wayan dengan botol)
251.
WAYAN
:
Baik aku akan pergi sekarang. Aku akan menyusul Nyoman. Aku juga bosan di sini meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi akan aku jelaskan tentang pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu ....
252.
GUSTI BIANG
:
(Memotong) Tidak! Aku tidak mau mendengar. Kau telah menghina suamiku. Ini tidak bisa dimaafkan lagi. Pergi! Pergi! Sebelum aku mengutukmu, pergi! Rumah ini kepunyaanku, tinggalkan gudangku itu, pergi bedebah!
253.
WAYAN
:
Benar?
254.
GUSTI BIANG
:
Pergi leak! Jangan kau menggangguku lagi. Pergi!
255.
WAYAN
:
Baik, tiyang akan pergi Gusti Biang.
(Wayan meninggalkan ruangan, Gusti Biang melontarkan kutukan)
256.
GUSTI BIANG
:
Tinggalkan gudang itu sekarang juga. Enyah dari rumah suamiku. (Agak rendah, jongkok) dia sudah menjadi setan, suamiku dihinanya, anakku dihasutnya. Terkutuk, terkutuk bedebah itu. Apa yang harus aku katakan kepada Sagung Rai kalau Ngurah kawin dengan perempuan sudra itu? Bedebah, terkutuk! Dewa Ratu, malangnya nasib orang tua ini, semua mendustaiku, semua orang menjadi binatang. (Memandang sekeliling lalu duduk di kursi. Untuk beberapa saat ia tertidur di kursi itu)



BABAK III
TEMPAT TIDUR GUSTI BIANG
Adegan I
Gusti Biang tertidur ketika Ngurah masuk.
257.
NGURAH
:
Ibu ...
258.
GUSTI BIANG
:
Siapa?
259.
NGURAH
:
Tiyang Ngurah, Tiyang datang Ibu ....
260.
GUSTI BIANG
:
Ngurah?
261.
NGURAH
:
Yah! Ngurah, bangun ibu.
262.
GUSTI BIANG
:
(Mengusap matanya tak percaya lalu terbelalak sambil tersenyum) Ngurah .. Ngurah, kenapa kau baru pulang, kau sudah lupa pada ibumu. Kurang ajar, aku telah dihina, direndahkan, leak. Kalau kau ada di rumah, mereka tidak akan berani. Semua orang sudah pergi, tak ada yang merawatku. Kamu jadi kurus hitam, seperti kuli.
263.
NGURAH
:
Ya, saya bekerja di situ.
264.
GUSTI BIANG
:
Bekerja? Katanya belajar kenapa bekerja?
265.
NGURAH
:
Ya, bekerja sambil belajar.
266.
GUSTI BIANG
:
Karena itu kamu gagal.
267.
NGURAH
:
Ibu, banyak sekali yang saya pikirkan.
268.
GUSTI BIANG
:
Tapi kau tak pernah memikirkan ibumu.
269.
NGURAH
:
Justru karena tiyang memikirkan ibu jadi begini.
270.
GUSTI BIANG
:
Kau memikirkan ibumu kalau kau perlu uang. Itu barang-barangmu?
271.
NGURAH
:
Ya.
272.
GUSTI BIANG
:
Itu koper yang ibu belikan dulu?
273.
NGURAH
:
Ya, betul ibu.
274.
GUSTI BIANG
:
Koper itu bisa kau jaga, tapi tujuanmu ke sana tidak. Mana barang-barangmu yang lain?
275.
NGURAH
:
Masih ada di pondokan.
276.
GUSTI BIANG
:
Mengapa kau tinggalkan di situ, apa kau akan kembali ke situ?
277.
NGURAH
:
Saya tidak tahu. Semua tergantung ...
278.
GUSTI BIANG
:
Tergantung apa?
279.
NGURAH
:
Entahlah, keadaan tentunya saja.
280.
GUSTI BIANG
:
Ibu kira kau sudah jadi orang, ternyata? Mana cincinmu?
281.
NGURAH
:
Cincin?
282.
GUSTI BIANG
:
Waktu berangkat dulu kau ibu kasih tiga buah cincin peninggalan ayahmu, mana sekarang?
283.
NGURAH
:
Masih ada....
284.
GUSTI BIANG
:
Ada di tukang gadai? Aku sudah tahu kelakuan anak-anak yang mengaku-ngaku sekolah tapi nyatanya hanya nonton bioskop. Aku sudah dapat firasat buruk, kalau barang peninggalan leluhurmu sudah kau perlakukan seperti itu. Jangan-jangan kau akan ikut merendahkan dan menghina ibumu ini. Buat apa kau pergi jauh-jauh kalau untuk bertambah bodoh, untung kau tidak membawa perempuan dari sana, seperti Ngurah Purname di puri Anom. Aku bisa mati berdiri. Kalau cuma perawan, perawan macam apapun di sini ada, tinggal pilih saja. Tapi tidak ada yang lebih cantik, lebih halus, lebih rajin dari Sagung Rai di seluruh puri-puri di Tabanan ini. Sekarang dia sudah besar dan cantik sekali. Besok kamu harus ke sana membawa oleh-oleh.
285.
NGURAH
:
Ibu, ibu bicara apa itu?
286.
GUSTI BIANG
:
Kau sudah besar dan pantas kau memberikan aku cucu, sebelum kelewatan. Hanya itu yang aku tunggu sekarang.
287.
NGURAH
:
Nanti saja kita bicarakan itu.
288.
GUSTI BIANG
:
Tidak. Sekarang! Apa oleh-olehmu untuk Sagung Rai? Ha..ha kamu juga tidak membawa apa-apa buat ibu bukan?
289.
NGURAH
:
Maaf ibu.
290.
GUSTI BIANG
:
Tapi kamu pasti tidak lupa membelikan begundal itu klompen, baju brokkat, kaca mata, de colognet, gincu, tas, ha! Aku minta balsem cap macan saja tidak digubris. Perempuan kurang ajar!
291.
NGURAH
:
Perempuan? Perempuan siapa ibu?
292.
GUSTI BIANG
:
Putar-putar! Aku sudah menerima suratmu.
293.
NGURAH
:
Ya, nanti saja kita bicarakan.
294.
GUSTI BIANG
:
Kau sendiri yang menulis kan?
295.
NGURAH
:
Ya.
296.
GUSTI BIANG
:
Kau ingat apa yang kau tulis? Benar semua itu?
297.
NGURAH
:
Ya, nanti, nanti kita bicarakan.
298.
GUSTI BIANG
:
Nanti atau sekarang sama saja, benar Ngurah kau yang menuliskan surat itu?
299.
NGURAH
:
Sebentar ibu, tiyang akan jelaskan.
300.
GUSTI BIANG
:
Ngurah kau anak durhaka!
301.
NGURAH
:
Ibu, tenanglah ibu.
302.
GUSTI BIANG
:
Tidak! Kalau masih berniat kawin dengan dia, jangan coba-coba memasuki rumah ini, dan kalau kawin juga dengan dia, jangan lagi menyebut ibu kepadaku.
303.
NGURAH
:
Tenang, mari kita bicarakan nanti baik-baik, tiyang sudah lelah. Semuanya nanti kita bicarakan.
304.
GUSTI BIANG
:
Ibu pun sangat lelah. Tak ada waktu lagi berpanjang-panjang. Sebelum ini berakar menjadi sakit hati, kita harus meyelesaikannya, sekarang juga harus selesai!
305.
NGURAH
:
Begitukah keputusan ibu?
306.
GUSTI BIANG
:
Ya.
307.
NGURAH
:
Tiyang ingin istirahat dulu.
308.
GUSTI BIANG
:
Kau boleh berbuat sesukamu kalau semuanya sudah beres. Ini adalah rumahku dan kau adalah ahli waris satu-satunya.
309.
NGURAH
:
Baiklah, kalau itu yang ibu kehendaki. (Hendak duduk)
310.
GUSTI BIANG
:
Kau tak perlu duduk! Ibu sendiri tak akan duduk sebelum semuanya selesai dengan baik. Kita akan selesaikan sekarang. Jadi kau bermaksud kawin dengan penjeroan itu?
311.
NGURAH
:
Begini ibu ...
312.
GUSTI BIANG
:
Jawab saja dengan singkat. Benar kau mau mengawininya? Jawab Ngurah. Jawab!
313.
NGURAH
:
Ya, titiyang akan mengawininya.
314.
GUSTI BIANG
:
Ngurah! Kau sudah diguna-gunanya.
315.
NGURAH
:
Kami saling mencintai ibu.
316.
GUSTI BIANG
:
Cinta? Ibu dan ayahmu kawin tanpa cinta. Apa itu cinta? Yang ada hanyalah kewajiban menghormati leluhur yang telah menurunkanmu, menurunkan kita semua di sini. Kau tak boleh kawin dengan dia, betapapun kau menghendakinya. Aku telah menyediakan orang yang patut untukmu. Jangan membuatku malu. Ibu telah menjodohkan kau sejak kecil dengan Sagung Rai.
317.
NGURAH
:
Sagung Rai? Tidak ibu.
318.
GUSTI BIANG
:
Apa kurangnya Sagung Rai, dibanding dengan perempuan desa itu.
319.
NGURAH
:
Tidak, tiyang tidak mau kawin dengan dia.
320.
GUSTI BIANG
:
Kenapa tidak? Ibu dan keluarganya telah selesai merundingkan semua. Dia sudah tamat SMP. Kelakuannya halus dan rajin.
321.
NGURAH
:
Ibu, soalnya bukan itu, ibu harus mengerti, sekarang orang ingin memilih sendiri teman hidup.
322.
GUSTI BIANG
:
Kalau ingin kau pelihara perempuan sudra itu karena nafsumu, terserahlah. Boleh kau pelihara sebagai selir. Kau boleh berbuat sesukamu, sebab aku telah memeliharanya sejak kecil. Tetapi untuk mengawininya dengan upacara itu tidak bisa.
323.
NGURAH
:
Tidak?
324.
GUSTI BIANG
:
Tidak! Aku menentangnya.
325.
NGURAH
:
Kenapa tidak?
326.
GUSTI BIANG
:
Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!
327.
NGURAH
:
Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang, yang lain omong kosong semua!
(Gusti Biang terbelalak dan mendekat)
328.
NGURAH
:
Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari ibu. Tapi karena ibu menolaknya karena sola kasta, alasan yang tidak sesuai lagi. Tiyang akan menerima akibatnya
(Gusti Biang menangis, Ngurah bergulat dengan batinnya)
329.
NGURAH
:
Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang ini soal kebangsawanan jangan di besar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau tidak ibu akan ditertawakan orang. Ibu ...
330.
GUSTI BIANG
:
Tinggalkan aku anak durhaka! Pergilah memeluk kaki perempuan itu! Kau bukan anakku lagi! Leluhurmu akan mengutukmu,kau akan ketulahan.
331.
NGURAH
:
(Memegang kepala) Ini tidak bisa diselesaikan begini saja. Panggillah Nyoman dan Bape Wayan, kita bicarakan tenang-tenang.
332.
GUSTI BIANG
:
Tidak! Sudah kuusir leak-leak itu! Aku sudah dihina, diinjak-injak!
333.
NGURAH
:
Diusir? Nyoman, ibu usir? (Keluar)
334.
GUSTI BIANG
:
Ya! Leak itu tidak boleh masuk rumahku ini. Setan tua itu juga! Biar mati dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku, kehormatan Sagung Rai, kehormatan leluhur-leluhur di puri ini.


BABAK IV

DEPAN RUMAH MALAM
Adegan I
Wayan muncul membawa kopor seng dan senjata. Lalu melihat ke dalam rumah
Ngurah muncul dari samping Wayan
335.
WAYAN
:
Tu Ngurah ..
336.
NGURAH
:
Bape Wayan!
337.
WAYAN
:
Tepat sekali ratu Ngurah datang.
338.
NGURAH
:
Apa kabar Bape?
339.
WAYAN
:
Buruk tu Ngurah, buruk sekali.
340.
NGURAH
:
Bape sehat-sehat saja?
341.
WAYAN
:
Marahlah, umpatlah si tua yang pikun ini.
342.
NGURAH
:
Kenapa?
343.
WAYAN
:
Nyoman telah pergi.
344.
NGURAH
:
Ke mana?
345.
WAYAN
:
Baru saja tiyang hendak menyusulnya sekarang.
346.
NGURAH
:
Baru saja?
347.
WAYAN
:
Ya, baru saja, pasti belum jauh.
348.
NGURAH
:
Kenapa dia pergi Bape?
349.
WAYAN
:
Tu Ngurah tahu sendiri, sudah lama Gusti Biang tidak cocok dengan Nyoman. Titiyang tidak bisa mendamaikannya. Nyoman sudah sering ingin minggat, tapi tadi, tiba-tiba saja dia pergi. Salah titiyang juga tu Ngurah.
350.
NGURAH
:
Sudahlah biar dulu begitu. Semuanya akan selesai nanti. Saya juga telah bertengkar dengan ibu. Duduklah Bape, bape jangan ikut pergi. Duduklah bape. Pasti ibu yang salah. Bape sudah bertahun-tahun di sini, tak baik kalau tiba-tiba pergi, duduklah bape ...
Adegan II
 (Gusti Biang muncul)
351.
GUSTI BIANG
:
Tinggalkan rumahku sekarang ini juga.
352.
WAYAN
:
Tiyang sudah berusaha baik-baik tapi tidak berhasil. Bape pergi sekarang (Kepada Ngurah).
353.
GUSTI BIANG
:
Pergi Leak, jangan mengotori rumah suamiku.
(Wayan hendak pergi, Ngurah menahannya )
354.
NGURAH
:
Bape! Jangan pergi! Ingat saya Bape. Jadi Bape akan tinggalkan?
355.
GUSTI BIANG
:
Dia hantu! Tinggalkan rumah ini cepat!
356.
WAYAN
:
Ya, tiyang hantu, seperempat abad tiyang mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang keadaan tambah buruk. Bape pergi tu Ngurah (Mengangkat koper hendak  pergi )
357.
GUSTI BIANG
:
Tunggu dulu! Apa yang kau bawa itu? Kau mencuri barang-barangku. Bedil? Bedil siapa itu?
358.
WAYAN
:
Pak Rajawali punya bedil waktu revolusi. Bedil ini sudah banyak membunuh pengkhianat.
359.
GUSTI BIANG
:
Bedil itu kepunyaanku!
360.
WAYAN
:
Kepunyaan Gusti Biang? (Kepada Ngurah) Ini bedil Bape ...
361.
GUSTI BIANG
:
Ngurah! Ambil bedil itu! Ia mencuri bedil yang kusimpan di kamar ayahmu.
362.
WAYAN
:
Ini bedil pak Rajawali.
363.
GUSTI BIANG
:
Setan, anakku kamu hasut. Bedil peninggalan suamiku kau curi! Ambil bedil itu Ngurah! Bedil itu wasiat ayahmu.
364.
NGURAH
:
(Tertarik kepada bentuk bedil itu) Coba lihat, aneh sekali bentuknya.
365.
WAYAN
:
Bedil ini kepunyaan tiyang.
366.
NGURAH
:
Benar? Coba saya ingin lihat.
367.
GUSTI BIANG
:
Rebut saja! Jangan percaya dia lagi!
368.
NGURAH
:
Ibu, di mana peluru yang menewaskan ayah? (Mengambil bedil dari tangan Wayan)
369.
GUSTI BIANG
:
Tentu aku selalu membawanya sebagai jimat.
370.
NGURAH
:
Coba lihat (Menerima peluru) Peluru ini yang telah membunuh ayah. Dokter Belanda itu membedah mayat ayah dan menyerahkan peluru ini kepada ibu. Ibu menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Kemudian atas permintaan ibu, dokter itu juga memberikan senjata yang dipergunakan untuk menembakkan peluru ini.
371.
GUSTI BIANG
:
Benar. Senjata laknat ini yang telah membunuh suamiku. Nica jahanam.
372.
WAYAN
:
Nica tidak mempunyai bedil macam ini.
373.
GUSTI BIANG
:
Tidak! Usir dia Ngurah! Usir cepat!
374.
WAYAN
:
Bedil macam ini hanya dipunyai gerilya.
375.
GUSTI BIANG
:
Bedebah! Tidak! Jangan biarkan dia bicara, usir!
376.
WAYAN
:
(Tertawa) Semua pahlawan mati tertembak Nica, tetapi dia tidak. I Gusti Ngurah Ketut Mantri bukan seorang pahlawan, dia ditembak mati gerilya sebagai penghianat.
377.
GUSTI BIANG
:
Dengar, dia menghina ayahmu! Usir dia! Tembak dia sampai mati!
378.
NGURAH
:
(Memegang ibunya yang hendak memukul) Tenang ibu!
379.
GUSTI BIANG
:
Coba katakan lagi suamiku penghianat! Coba! Kupukul kau bedebah.
380.
WAYAN
:
Dia memang penghianat.
381.
GUSTI BIANG
:
Leak! Terkutuk kau!
382.
NGURAH
:
Sabar ibu! (Mendudukkan ibunya)
383.
GUSTI BIANG
:
Kenapa kau diam saja anak durhaka! Tembak jahanam itu! Dia menghina suamiku.
384.
NGURAH
:
Baik ibu, tapi tenang, nanti tetangga-tetangga bangun.
385.
GUSTI BIANG
:
Biar, biar. Usir dia sekarang (Batuk keras)
386.
NGURAH
:
Bape bilang ayah saya penghianat? Kenapa Bape Wayan membeo kata orang yang iri hati? Bape sudah bertahun-tahun di sini mengapa mau merusak nama baik keluarga kami? (Saling berpandang-pandangan)
387.
WAYAN
:
(Dengan tegas) Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah. Sebab tiyang yang telah mendampinginya setiap saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia, seperti tu Ngurah dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa membaca dokumen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya. Siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? Nica-nica itu mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh pak Rai, menghujani dengan peluru dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara sehingga kawan-kawan semua gugur. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian sembilan puluh enam kawan-kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang puputan itu kita kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan tiyang yang paling baik, bahkan kehilangan pak Rai sendiri. Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua kepada Nica.
388.
GUSTI BIANG
:
Tidak! Itu tidak benar! Suamiku seorang pahlawan Ngurah usir dia.
389.
NGURAH
:
(Menghampiri Wayan) Saya tidak percaya!
390.
GUSTI BIANG
:
Jangan percaya! Leak!
391.
NGURAH
:
Bape menghina keluarga saya.
392.
WAYAN
:
Bukan menghina tu Ngurah. Begitulah keadaannya. Desa Marga menjadi saksi semua itu, hanya beliau dilahirkan sebagai putra Bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhur, dosa beliau kepada pak Rai terhadap semua korban puputan itu seperti dilupakan. Tetapi tiyang sendiri tidak pernah melupakannya. Bukan hanya seorang, banyak penghianat-penghianat di bumi ini dianggap orang sebagai pahlawan sedangkan yang benar-benar berjasa dilupakan orang.
393.
NGURAH
:
Saya tak senang dengan cara-cara bape ini, diam-diam menjadi musuh dalam selimut. Susah payah saya memperbaiki nama baik keluarga. Sekarang bape hendak menodainya. Mencari-cari kesalahan memang gampang bape. Bape lupa, besar jasa ayah saya kepada perjuangan. Sayang beliau sudah meninggal. Kalau tidak, Ia akan menjelaskannya. Tarik kata-kata bape.
(Wayan hanya tersenyum sinis)
394.
NGURAH

Pergi!
395.
WAYAN
:
(Memalingkan muka hendak pergi tapi tiba-tiba tertegun dan berbalik) Berikan bedil itu Tu Ngurah.
396.
GUSTI BIANG
:
Tidak, itu bedilku, kau telah mencurinya.
397.
NGURAH
:
Coba buktikan, buktikan kalau ayah saya seorang penghianat. Berikan bukti yang nyata, jangan hanya prasangka!
398.
WAYAN
:
(Menggeleng) Berikan bedil itu Tu Ngurah!
399.
GUSTI BIANG
:
Ayahmu ditembak Nica!
400.
NGURAH
:
(Membentak) Buktikan!
401.
WAYAN
:
Buat apa?
402.
NGURAH
:
Buktikan!
403.
WAYAN
:
Tiyang selalu mendampinginya. Tiyanglah yang selalu dekat dengan dia, dan tiyang seorang gerilya.
404.
NGURAH
:
Lalu?
(Mereka saling berpandang-pandangan. Wayan mengambil bedil itu dari tangan Ngurah dan Ngurah seperti tak bertenaga memberikan bedil itu)
405.
WAYAN
:
(Pelan) Aku telah sengaja melupakannya. Belanda itu memungutnya, tetapi tak tahu siapa yang menembaknya. (Membelai bedil) Tiyanglah yang menembaknya.
406.
NGURAH
:
Bape?
407.
GUSTI BIANG
:
Tidak! Tidak! Tidak! (Berdiri hendak melempar dengan tongkat)
(Wayan segera merampas dan mendudukkannya kembali. Sementara Ngurah hanya tercengang)
408.
WAYAN
:
Diam! Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang. Dia sudah cukup tua untuk tahu. (Kepada Ngurah) Ngurah, Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semua itu menjadi rahasia ... sampai ... Kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati.
(Ngurah tak percaya dan menghampiri ibunya yang mulai menangis)
409.
WAYAN
:
Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku, lalu dia kawin dengan bangsawan, penghianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam.
410.
NGURAH
:
(Berdiri dan bertanya dengan tolol) Betulkah itu?
411.
WAYAN
:
Tanyakan sendiri kepada dia.
412.
NGURAH
:
Betulkah semua itu Ibu?
(Gusti Biang terus menangis sementara Ngurah terus bertanya sambil berteriak)
413.
WAYAN
:
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya. Seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli, hidup. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tak bisa dibeli lagi. (Memandang Ngurah dengan lembut. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan kemudian berkata) Tidak. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti bape hanya karena perbedaan kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia mendapatkan halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam begini. Mungkin dia bermalam di dauh pala di rumah temannya. Bape akan mengurus ibumu. Pergilah cepat, kejar dia sebelum terlambat.
(Kedua laki-laki itu saling memandang, Gusti Biang terpaku dan merasa malu sekali. Wayan kasihan dan mendekati Gusti Biang. Beberapa saat kemudian Wayan memandang Ngurah lagi)
414.
WAYAN
:
Ngurah, sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi Jangan terlalu memikirkannya. Lupakan saja itu semua. Itu memang sudah terjadi tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati kami merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya.
(Ngurah memalingkan muka ketika Wayan menatapnya)
415.
WAYAN
:
Semua itu bohong, Titiyang bukan ayah Ngurah. Tiyang adalah Wayan yang pikun dan akan segera mati, dan beliau itu (Menunjuk potret) bukan penghianat. Dia seorang pahlawan dan pantas Ngurah sebut ayah. Ya ... banyak terdapat keburukan di atas dunia ini. Tapi tidak semua keburukan yang kita ketahui itu perlu diketahui orang lain, kalau bisa membuat keadaan lebih buruk lagi. Pergilah Tu Ngurah dan tiyang yang akan meladeni Gusti Biang.
(Tanpa menoleh Ngurah meninggalkan tempat)

Adegan III
Gusti Biang sudah berhenti menangis, Ia malu menatap Wayan, tapi laki-laki itu mendekatinya.
416.
WAYAN
:
Bagaimana Gusti Biang?
417.
GUSTI BIANG
:
(Kemalu-maluan) Kenapa kau ceritakan semua itu padanya.
418.
WAYAN
:
Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya.
419.
GUSTI BIANG
:
Kau menyebabkan aku sangat malu.
(Gusti Biang tertunduk dan Wayan menghapus air matanya)
420.
WAYAN
:
Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi, bagaimana Gusti Biang?
421.
GUSTI BIANG
:
(Sambil menghapus air matanya) Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya, (Dengan manja) Tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu.
422.
WAYAN
:
(Tersenyum) Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sagung Mirah, sampai kita berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak itu berumah tangga dengan baik. Sagung Mirah ..
423.
GUSTI BIANG
:
Apa Wayan?
424.
WAYAN
:
Kau tetap cantik seperti Dewi Sri ...
425.
GUSTI BIANG
:
Huuuuuuuuuussssssss!
Wayan tertawa lalu berjalan ke gudang. Gusti Biang mengangkat lampu teplok untuk Wayan.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar