Jumat, 17 September 2010

Pispot
Oleh: Hamsad Rangkuti

Kami naik ke mobil polisi itu. Aku duduk di sebelah wanita korban penjambretan. Lelaki yang tersangka melakukan penjambretan itu duduk di depan kami. Hidungnya masih meneteskan darah. Di kiri kanannya duduk petugas pasar yang menangkapnya dan seorang polisi. Mobil itu terbuka. Angin menerbangkan rambut kami.
Orang itu beberapa saat yang lalu melintas di antara keramaian pasar. Seorang wanita menjerit. Aku melihat orang itu memasukkan sesuatu ke mulutnya di saat langkahnya yang tergesa. Aku menuding lelaki itu dan petugas pasar menangkapnya. Massa pun melampiaskan amarah mereka. Orang itu melap darah pada bibirnya dalam kecepatan lari mobil. Dia tidak berani mengangkat untuk memperlihatkan darah yang masih meleleh men­conteng mukanya.
Sebenarnya tidak ada barang bukti untuk menuduhnya sebagai pelaku penjambretan itu. Namun, aku mem­pertahankan kesaksianku dan ia pun jatuh terjerumus ke tangan polisi.
Di kantor polisi dia mulai didesak untuk mengakui perbuatannya. Mereka mulai menjalankan cara mereka untuk membuat orang mengaku!
"Benar kamu telan kalung itu?" bentak mereka.
Tidak," kata laki-laki itu menyembunyikan muka­nya.
"Kamu buang?"
"Tidak."
"Kamu sembunyikan?"
"Tidak."
"Kamu beri kepada temanmu?"
"Tiak."
"Dia tidak bisa berkata lain selain: Tidak! " Mereka mulai tidak sabar. "Siksa!"
Orang itu terlempar dari kursi. Dia mencoba hendak berdiri. Bertelekan pada sudut meja. Dia kembali duduk di kursi.
"Saya tidak melakukan penjambretan itu, Bapak Polisi."
"Bukan itu yang kutanyakan! Ke mana kau sem­bunyikan kalung itu?! "
"Dia telan!" kataku.
"Kamu lihat?"
"Saya lihat! Dia masukkan kalung itu dan dia telan! "Aku menambah kata "kalung" pada kesaksianku. Pada­hal, aku tidak melihat benda apa yang dimasukkannya ke dalam mulutnya. Sekarang sudah telanjur!
"Pasti?"
"Pasti!"
"Dia masukkan kalung itu ke mulutnya? Begitu?" Orang di seberang meja itu memindahkan kesaksianku ke atas kertas yang diketiknya.
"Ya! Dia masukkan!"
"Lalu dia telan?"
"Dia telan!"
"Berapa gram?" tanyanya ke wanita korban pen­jambretan itu.
"Lima belas gram!" jawab wanita itu.
"Cukup! Itu sudah cukup!" Bentak kepala pemeriksa. "Semua keterangan itu sudah cukup meyakinkan! Se­karang kita paksa dia keluarkan kalung itu! Ambil obat pencahar! Pisang dan pepaya. Suruh dia makan se­banyak-banyaknya. Usahakan supaya dia mencret se­perti burung. Lalu tampung kotorannya!"
Kepala pemeriksa itu pergi meninggalkan ruang pe­meriksaan. Setelah semua benda yang disebutnya ter­sedia di ruang pemeriksaan, orang memanggilnya dan dia datang dengan keputusannya:
"Suruh dia minum obat pencahar! Paksa! Apa itu? Garam inggris?"
"Betul Pak." kata bawahannya. "Bagus, dan tampung! "
Mereka pun mulai memaksa lelaki itu untuk menelan obat pencahar. Tetapi, lelaki itu tidak mau meminumnya. Dia tidak mau membuka mulut. Mereka mulai keras. Gelas berisi larutan garam inggris itu mereka sodokan ke mulutnya. Dia tutup mulutnya seperti orang menggigit. Kemudian dia terlempar lagi dari kursi.
"Minum! Apa kau tidak biasa minum?! "
Dia bertelekan pada sudut meja untuk bisa bangkit dari tempat dia tersungkur.
"Kupas pepaya itu! Dan, suruh dia makan!"
"Mana yang lebih dahulu Komandan? Obat pencahar ini atau pepaya?"
"Serentak juga tidak apa-apa! Yang penting tampung begitu dia ke jamban!"
"Nanti ususnya...."
"Tidak ada urusan! Suruh dia telan obat pencahar itu! Kemudian pisang atau pepaya, lalu tampung!"
Mereka pun memaksa lelaki itu membuka mulut untuk menyungkah itu semua.
Aku mulai tidak kuat melihat penyiksaan itu. Aku minta kepada komandan pemeriksa untuk membolehkan aku membujuk lelaki itu menelan obat pencahar, pisang dan pepaya. Dia menyetujui. Lalu aku dan lelaki itu dimasukkan ke dalam ruang berdinding kaca yang terang benderang. Para pemeriksa berada di balik riben dan kami tidak melihatnya. Termasuk wanita yang menjadi korban penjambretan itu mengawasi kami lewat kaca peragaan.
Aku mulai membujuk laki-laki itu. Gelap di luar memberi kesan seolah kami berada di dalam kamar dalam gelap malam.
"Sekarang cuma kita berdua saja di ruang ini. Ada suatu hal yang ingin kukatakan kepadamu." Aku mulai meyakinkannya. "Kalau dalam waktu dekat kau tidak keluarkan kalung itu, mereka akan mengoperasimu!" Aku bergeser dekat kepadanya. "Kau telah tahu bagai­mana orang dioperasi? Kau akan dibawa ke kamar bedah. Sebelum kau dioperasi, tubuhmu akan ditembus sinar X untuk melihat di bagian mana kalung itu nyangkut di ususmu. Kau akan puasa dalam waktu yang lama. Setelah itu baru kau dimasukkan ke kamar bedah. Kau akan dibius. Pada saat kau sudah tidak sadar oleh obat bius, pada saat itulah kulit perutmu akan disayat mereka di meja operasi. Pisau bedah itu akan masuk ke dalam perutmu seperti orang menyiang ikan. Ususmu akan disabet mereka dengan geram, karena kau menyem­bunyikan benda berharga di ususmu. Satu hal harus kau ketahui bahwa operasi itu bukan untuk menyelamatkan nyawamu, tetapi untuk menyelamatkan kalung yang kau telan. Coba bayangkan seandainya operasi itu memerlu­kan tambahan darah. Siapa yang akan mau menyum­bangkan darahnya untuk orang seperti kau? Jambret! Ingat bung. Kau tidak ada artinya bagi mereka. Mereka mengoperasimu dalam saat mereka geram karena kau menyembunyikan kalung emas di dalam ususmu. Kau tidak ada artinya bagi mereka. Tidak mungkin ada orang mau menyumbang darah secara sukarela kepadamu. Tidak mungkin ada salah seorang sanak keluargamu yang mau datang menunjukkan diri untuk menyumbang darah kepadamu. Mereka malu untuk muncul. Karena kau maling! Tahu kau? Nyawamu bagi mereka tidak ada artinya. Tubuhmu yang terbaring dalam pengaruh obat bius itu tidak akan mereka hiraukan lagi begitu mereka menemukan kalung emas itu. Saking gembiranya mereka, aku yakin begitu, mereka akan lupa menyudahi operasi­mu. Kau akan mati sia-sia. Untuk apa menyelamatkan penjambret seperti kau. Mengurangi jumlah penjahat lebih bijaksana! Maka, kau akan mampus! Kau tidak ubah seperti koper tua yang dicampakkan setelah di­keluarkan isinya. Mayatmu akan terbaring tanpa ada orang yang menjenguk."
Orang itu dari tunduk memandang kepadaku.
"Kau masih muda Bung. Masih banyak kemungkinan masa depanmu. Kau harus manfaatkan hidup ini. Masak kau mau mampus dengan jalan konyol seperti itu? Operasi itu bukan untuk menyelamatkan jiwamu, tetapi untuk menyelamatkan kalung emas yang kau telan! "
"Apa yang harus aku lakukan?" katanya.
"Keluarkan!" bentakku
"Aku tidak melakukannya!"
"Sudah tidak ada lagi waktu untuk berkilah-kilah! Tidak saatnya menyembunyikan kejahatan pada saat ini. Jangan tunggu mereka kalap. Jangan kau kira mereka tidak melihat kita. Semua gerak-gerik kita mereka lihat lewat kaca riben ini. Lihat kedip api rokok mereka di dalam gelap! Itu sama seperti mata mengintai kita. Ayo lakukan! Cepat telan obat pencahar itu! Apa yang kau takutkan pergi ke jamban?"
Dia raih gelas berisi larutan garam inggris dari atas meja. Dia reguk seperti orang minum kopi. Kemudian dia lahap pepaya dan pisang.
"Makan lebih banyak pepaya itu, biar cepat dia mendorongnya."
Seorang petugas membuka pintu kaca.
"Sudah ingin ke jamban?" katanya.
"Dia baru menelannya. Belum. Sebentar lagi, Pak."
"Bagus! Kalau dia tidak suka pepaya dalam negeri, kita bisa sediakan pepaya bangkok!" Dia tutup pintu kaca itu.
Tidak lama kemudian dia muncul pula. Dua orang masuk membawa papan penyekat dan dua pispot. Papan penyekat itu dimaksudkan sebagai dinding jamban. Orang itu kalau sudah ingin ke jamban, dia boleh pergi ke balik papan penyekat untuk membuang hajat. Untuk alasan tertentu, orang itu diperintahkan menanggalkan pakaiannya, kecuali celana dalam. Dia disuruh mereka pergi ke balik papan penyekat sampai dia memerlukan pispot.
Aku dan para petugas keluar dari dalam ruangan berkaca. Kami menonton di balik riben, menunggu orang itu mengeluarkan kotorannya ke dalam pispot.
Seorang petugas yang memegang alat pengeras suara masuk ke dalam ruangan berkaca dan mengambil pispot yang diulurkan dari papan penyekat. Petugas itu tampak memeriksa isi pispot dengan ranting. Terdengar dia melaporkan apa yang dia lihat di dalam pispot.
"Belum keluar! Baru biji-biji kedele. Rupanya dia makan tempe!"
Si penjambret meminta pispot baru. Kemudian orang yang membawa alat pengeras suara masuk kembali ke ­dalam ruangan berkaca dan menyambut pispot yang diulurkan dari balik papan penyekat. Lalu terdengar suara dari dalam pengeras suara:
"Belum juga! Masih sisa-sisa tempe. Ada seperti benang. Kukira ini sumbu singkong rebus!"
Dia kemudian dalam urutan waktu melakukan hal yang sama. Sementara, di balik riben kami terus me­nunggu sudah sampai sepuluh kotoran di dalam pispot dituang ke dalam kakus, namun kalung itu tak terkait di ujung ranting. Wanita pemilik kalung mulai bosan me­nunggu. Dia me-nilpon suaminya. Tidak lama kemudian suami wanita itu datang. Dia pun ikut bergabung me­nonton di balik riben. Orang di balik papan penyekat makin pendek jarak waktunya dia mengulurkan pispot, namun kalung emas lima belas gram itu tidak keluar bersama kotorannya. Pada saat kami menunggu seperti itu, tiba-tiba papan penyekat di dalam ruangan kaca itu terdorong dan kemudian tumbang. Orang di balilmya jatuh terjerembab menindihnya. Dia sudah tidak dapat berdiri. Dia menjadi lunglai setelah terus-menerus me­ngeluarkan kotorannya.
Maka, si suami pun mengambil keputusan. Dia desak si istri mencabut tuduhannya. Si istri melakukannya. Tuduhannya dia cabut. Dia minta maaf kepada polisi, karena mungkin bukan orang itu yang menjambret kalungnya.
Lelaki itu dibersihkan di kamar mandi. Tuduhan ter­hadap dirinya dicabut! Wanita itu minta maaf ke­padanya. Aku juga minta maaf kepadanya. Polisi juga memaafkannya. Dia bebas!
Karena merasa berdosa, aku menolong lelaki itu meninggalkan kantor polisi. Aku memapahnya naik ke atas taksi. Aku terus-menerus meminta maaf di sepanjang perjalanan. Aku raba uang di sakuku. Aku beri dia uang untuk menebus rasa berdosa pada diriku. Lelaki itu berlinang air mata menerimanya.
"Beli makanan. Kau perlu gizi untuk memulihkan kesehatanmu. Aku benar-benar merasa berdosa!"
Dia lipat uang di tangannya.
"Terima kasih. Ternyata Bapak orang baik."
"Jangan katakan begitu! Aku telah menjerumuskan­mu. Uang itu tidak ada artinya. Aku telah melakukan kesaksian palsu. Maafkan aku, Bung."
Kemudian kami sama diam di dalam perjalanan itu. Kemudian dia minta diturunkan di gang tempat tinggal­nya. Aku menolongnya sampai ke luar. Aku menyalam­nya.
"Maafkan aku Bung. Rasanya aku berdosa betul. Sepuluh ribu tidak ada artinya untuk mengenyahkan rasa berdosa itu. Bisa kau berdiri? Apa tidak ada becak ke rumahmu? Apa perlu aku mengantarmu?"
"Tidak usah Pak. Terima kasih."
Dia tampak tidak kuasa menahan air matanya. Aku biarkan dia berdiri goyah. Aku masuk ke dalam taksi. Pintu taksi dia tutupkan tempat dia bertumpu. Aku ulurkan tanganku pada jendela untuk menjabat tangan­nya. Aku belum merasa cukup untuk melenyapkan rasa bersalah itu. Maka, aku mengulang apa yang telah kukatakan:
"Maafkan saya, ya Bung. Beli makanan untuk me­mulihkan kesehatanmu. Aku benar-benar merasa ber­dosa kepadamu. Aku tidak akan mengulang hal yang sama terhadap orang lain."
Orang itu menghapus air matanya pada pipinya yang berdarah. Mukanya yang lebam dia tundukan.
"Bapak adalah saksi yang benar. Bapak tidak boleh begitu merasa berdosa." Dia semakin menunduk seolah dia hendak menyembunyikan mukanya. "Bapak orang baik. Saya harus mengatakannya! Anakku sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus asa di rumah. Dokter meminta banyak." Dia tiba-tiba mengangkat mukanya. "Bapak adalah saksi itu! Bapak orang baik. Saya harus mengatakannya!" Dia kembali menunduk. "Saya bukanlah penjambret. Tetapi, saya telah me­lakukannya. Tiga kali kalung itu keluar ke dalam pispot. Begitu ke luar aku langsung menelannya." Dia lepas jabat tangannya pelan-pelan. Dia memandangku.
"Bapak orang baik. Hukumlah saya." Dia raba uang yang telah saya beri itu di dalam saku bajunya. Dia mungkin hendak mengembalikannya.
"Kalau begitu kau masih memerlukan pispot," kataku.
Aku biarkan dia memegang uang sepuluh ribu itu. Aku suruh taksi meninggalkannya. Aku harus segera me­mutuskan begitu sebelum aku berubah keputusan. Ku­rasa itu lebih tepat. * *
(Bibir dalam Pispot, 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar