Minggu, 19 September 2010



 Jantera Bianglala 

Bagian Pertama
 
 
Ketika Dukuh Paruk menjadi karang abang lemah ireng pada awal tahun 1966 hampir semua dari kedua puluh tiga rumah di sana menjadi abu. Waktu itu banyak orang mengira kiamat bagi pedukuhan kecil itu telah tiba. Siapa yang masih ingin bertahan hidup harus meninggalkan Dukuh Paruk. Karena hampir segala harta-benda, padi, dan gaplek musnah terbakar, bahkan juga kambing dan ayam. Lalu siapa yang tetap tinggal di atas tumpukan abu dan arang itu boleh memilih cara kematian masing-masing; melalui busung-lapar atau melalui keracunan ubi gadung atau singkong beracun.
 
Tetapi Dukuh Paruk sampai kapan pun tetap Dukuh Paruk. Dia sudah cukup pengalaman dengan kagetiran kehidupan, dengan kondisi-kondisi hidup yang paling bersahaja. Dan dia tidak mengeluh. Dukuh Paruk hidup dalam kesadarannya sendiri yang amat mengagumkan. Dia sudah diuji dengan sekian kali mala petaka tempe bongkrek, dengan kemiskinan langgeng dan dengan kebodohan sepanjang masa.
 
Memang. Mala petaka kobaran api yang hampir memusnahkan Dukuh Paruk secara keseluruhan dalam geger politik 1965 itu adalah pengalaman yang paling dahsyat tergores dalam lintasan hidup Dukuh Paruk. Hari-hari pertama sesudah kebakaran besar itu adalah hari-hari kebisuan. Setiap keluarga berkumpul, jongkok di bekas rumah masing-masing hampir tanpa suara kecuali desah panjang dan kadang tangis kaum perempuan. Mereka tanpa makanan dan tempat tinggal. Malam hari mereka membuat sudhung, semacam sarang berangka batang singkong yang ditutupi dengan rumput dan kelaras pisang. Dan kematian akibat lapar segera akan menjadi kenyataan karena tak seorang pun manusia luar Dukuh Paruk merasa perlu memberi bantuan kepada puak yang sedang diamuk mala petaka hebat itu. Hanya karena Dukuh Paruk masih menyimpan singkong yang tumbuh di sekitarnya maka orang-orang di sana berhasil menyambung hidup.
 
Kemudian Dukuh Paruk memperoleh napas pertama ketika ternyata Sakarya, kamitua pedukuhan itu, hanya dua minggu ditahan. Demikian juga Kartareja dan istrinya serta para penabuh calung seperti Sakum dan dua orang lainnya. Mereka kemudian hanya diwajibkan melapor setiap hari ke markas tentara di Dawuan. Tetapi Srintil belum kembali. Ya. Tetapi Srintil belum kembali, itulah aspirasi semua warga Dukuh Paruk yang tak pernah berani terucapkan. Srintil belum kembali ke Dukuh Paruk dan entah di mana dia sekarang dan bagaimana pula keadaannya.
 
Mengapa Srintil belum juga kembali adalah bagian dari kegagapan Dukuh Paruk dalam hal membaca pesan sejarahnya; sejarah yang telah membawa obor raksasa dan membuat rumah-rumah di sana menjadi abu. Bahkan bukan hanya rumah-rumah yang musnah, tetapi juga jiwa Dukuh Paruk yang hancur karena kelimbungan ketika mereka harus mempertanyakan kembali perikeberadaan mereka sendiri dan harus bagaimanakah mereka sekarang. Sebuah teka-teki yang amat sulit menindih Dukuh Paruk yang bebal. Lihatlah alis-alis mereka yang selalu berkerenyit, wajah-wajah runduk dan penuh ketakutan serta gugup ketika menghadapi tatapan mata orang luar. Dan pasrah. Itulah daya terakhir Dukuh Paruk. Pasrah dalam diam paripurna sehingga Dukuh Paruk hampir tak mengeluarkan kata-kata, bahkan ketika mereka secara gotong-royong bergiliran membuat gubuk-gubuk baru. Bambu dipotong-potong dan daun kelapa dianyam sebagai atap dan dinding. Maka pada bulan kedua gubuk-gubuk kecil sudah berdiri di atas tanah yang masih menyisakan abu dan arang. Dukuh Paruk kembali mempunyai tempat berlindung dari curah hujan dan terik matahari.
 
Kemudian dari manakah Dukuh Paruk hendak memulai denyut kehidupannya ketika kebisuan masih mencekam? Dari tawa anak-anak, dari suara lesung ketika gaplek ditumbuk atau dari asap yang mengepul di dapur? Tidak. Denyut Dukuh Paruk dimulai dari percik suara polong orok-orok yang pecah menyebar bijinya ketika panas matahari menjerang, dari derit batang bambu yang bergesekan ketika angin lembut bertiup. Dan dari sepasang burung brondol yang sibuk mengangkut rumput-rumput kering dari permukaan tanah ke balik kelebatan tandan pinang di atas sana. Atau dari pancuran di bawah pohon bungur itu. Pancuran air yang tidak ingin tahu akan segala macam bencana yang telah sekian kali menimpa orang-orang yang biasa bersibak dengan kesejukannya. Pancuran itu terus mengucur, lengkung seperti kristal hidup, lalu pecah di atas batu pekat berhias lumut di sisi-sisinya. Ribuan tetes air memercik ke segala arah. Mereka menangkap sinar matahari yang menerobos dedaunan, membiaskannya dengan sempurna dalam bentuk kabut bianglala.
 
Bagaimanapun juga Dukuh Paruk ternyata mampu menarik napas pertama kehidupannya. Perihal kemampuan mempertahankan hidup Dukuh Paruk hanya bisa disamakan dengan lumut kerak di atas batu cadas. Lumut kerak yang diam dan seakan mati di musim kemarau. Kering dan mengelupas. Namun dalam kematiannya lumut kerak menyimpan daya kehidupan. Sporanya terbungkus dalam kista yang segera mampu memutar daur kehidupannya ketika tetes air pertama atau bahkan sekadar kelembaban udara menyentuhnya. Dukuh Paruk adalah lumut kerak yang rupanya diciptakan untuk menunaikan tugas hidup dalam kondisi yang paling minimal. Dukuh Paruk masih ada meski tanpa senyum apalagi tawa. Dia masih ada meski dia hampir tidak tahu lagi makna keberadaannya.
 
Ada sebuah rumah yang tersisa ketika Dukuh Paruk terbakar. Rumah itu kecil dan hanya di waktu pagi terkena sinar matahari karena terkurung rumpun bambu. Penghuninya seorang nenek bungkuk dan semua orang Dukuh Paruk boleh jadi sudah lupa siapa namanya yang asli atau nama suaminya yang sudah lama mati. Nenek itu selalu dipanggil dengan nama cucunya di belakang: Nenek Rasus.
 
Sudah beberapa hari Nenek Rasus tidak kuasa lagi turun dari pembaringan. Dan siapa pun merasa bahwa nenek yang sudah amat renta itu hampir ajal. Ada yang mengatakan apa yang sedang terjadi pada Nenek Rasus adalah perkara alami; karena usia yang lanjut maka nenek itu sedang melangkah mendekati hari-hari akhirnya. Tetapi ada juga yang mengatakan, seharusnya Nenek Rasus masih kuasa berjalan terbungkuk-bungkuk minta makan kepada sanak-saudara sesama warga Dukuh Paruk. Yang menyebabkannya ambruk adalah kenyataan bahwa satu-satunya cucu tidak kunjung muncul, bahkan ketika hari-hari semakin genting.
 
Selagi masih mampu mengeluarkan suara maka Rasus-lah yang selalu dipanggil-panggil. Dalam gerak mata yang samar Nenek Rasus mengharap seseorang mau memanggil cucunya pulang. Semua orang menangkap pesan itu, tetapi tak seorang pun merasa sanggup melaksanakannya. Tidak juga Sakarya, kamitua Dukuh Paruk. Menghubungi seorang tentara demi nenek yang sedang di tepi ajal sekalipun tak mungkin dilakukan oleh orang Dukuh Paruk. Suasana yang tidak memungkinkannya. Suasana hanya memberikan kelonggaran sedikit bagi Dukuh Paruk, yakni sekadar untuk bernapas dalam diam atau berjalan sambil menundukkan kepala. Dukuh Paruk setelah menyala seperti obor besar adalah Dukuh Paruk yang dipaksa harus tahu diri dalam segala hal. Pasrah dan tak usah banyak cingcong. Apabila ada seorang warganya yang mau mati, maka matilah, lalu kuburkan dan habis perkara.
 
Hanya Nenek Rasus sendiri yang terus berusaha menghubungi cucunya. Mungkin melalui denyut-denyut terakhir nadinya nenek renta itu memanggil cucunya pulang. Atau ketika bibir Nenek Rasus kelihatan bergerak-gerak, maka sebenarnya dia sedang memohon kepada kekuatan adikodrati agar pesannya disampaikan kepada cucunya yang kini berada entah di mana.
 
Ketika semua orang merasakan guncangan hebat pada hampir seluruh tatanan serta nilai-nilai kehidupan. Ketika kegelisahan serta ketidakpastian demikian mencekam. Dan ketika ikatan kebersamaan hidup berada pada puncak taruhan yang amat menakutkan. Maka adalah fitrah manusia untuk mendapatkan tempat yang teduh, tempat jiwa dapat memperoleh kembah ketenangannya. Dan tak usah dipertanyakan lagi mengapa pada saat seperti itu orang ingin segera memperoleh kepastian bahwa lembaga tempat dia menyerahkan kesetiaan dasarnya tidak rusak. Lembaga ini adalah ibu yang selalu bersedia memberi ketenangan jiwa, dan itu bisa berupa rumpun-rumpun bambu yang menjadi saksi kelahirannya, bisa berupa pancuran air yang mengucur abadi atau bisa berupa haribaan seorang nenek yang sudah apek. Atau gabungan kesemuanya yang secara bersama-sama telah menyusui seorang anak manusia sejak lahir sampai dia mempunyai kesadaran tentang makna keberadaannya. Merekalah yang paling berhak menerima penyerahan kesetiaan dasar seorang manusia warga kehidupan.
 
Bersama dengan kesatuannya, Rasus sedang bertugas di sebuah wilayah di bagian tenggara Jawa Tengah, hampir dua ratus kilometer jauhnya dari Dukuh Paruk. Kadang Rasus merasa dirinya adalah seorang cucu durhaka karena sudah empat tahun dia tidak menjenguk Dukuh Paruk. Sudah sekian lama dia menitipkan seorang nenek pikun kepada rasa kebersamaan puaknya. Namun rasa bersalah itu selalu pupus sendiri, entah karena kesibukannya sebagai tentara atau karena Rasus sudah bertekad membiarkan Dukuh Paruk hidup seperti apa adanya. Dukuh Paruk dengan sumpah-serapahnya, dengan irama calungnya, dan dengan seorang ronggeng cantik bernama Srintil. Rasus tidak hendak menyentuh kemandirian tanah airnya yang kini sudah jauh dan terpencil.
 
Tetapi geger tahun 1965 serta-merta mengubah sikap Rasus terhadap Dukuh Paruk. Dalam rongga matanya mulai terbayang jelas sebuah rumah kecil yang hampir tertutup oleh rumpun bambu. Telinganya mulai mendengar suara anak-anak yang sedang ramai bermain layang-layang yang terbuat dari daun gadung kering. Atau dengung kumbang tahi yang menyeberang pekarangan kosong ketika pagi masih sangat berembun. Makin hari terasa suasana Dukuh Paruk makin memenuhi kalbunya. Lambaian Dukuh Paruk yang tua menyentak-nyentak hatinya. Dan sentakan itu jadi terasa semakin kuat manakala Rasus ingat bahwa menurut selentingan yang sampai kepadanya Dukuh Paruk terbawa-bawa dalam rapat propaganda. Rasus sungguh berharap dukuhnya tidak mengalami sesuatu yang genting. Namun entah mengapa Rasus tidak berhasil menenangkan dirinya sendiri. Entah mengapa pula sosok neneknya yang renta dengan keriput wajahnya terlalu sering muncul dalam ingatan Rasus.
 
Andaikan Rasus bukan seorang tentara yang kini harus berada dalam sikap siaga penuh karena negara dinyatakan dalam keadaan bahaya, pastilah dia akan segera mengajukan permohonan cuti. Namun keadaan memaksa hak cuti bagi setiap prajurit dihapuskan entah sampai kapan. Maka untuk mengetahui keadaan tanah kelahirannya Rasus hanya bisa bertanya melalui surat. Sersan, dulu Kopral, Pujo yang pernah sekian lama menjadi sahabat satu kesatuan, kini menjadi komandan markas perwira urusan teritorial di kecamatan Dawuan. Kepadanyalah Rasus menulis surat, minta tolong agar dia diberi tahu perikeadaan Dukuh Paruk.
 
Balasan dari Sersan Pujo demikian cepat dan singkat. Balasan melalui telegram memberi tahu Rasus bahwa neneknya sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tak ada kata permintaan agar Rasus segera pulang. Ya. Rasus mengerti pengirim telegram itu adalah Sersan Pujo. Dia tidak berhak meminta apalagi memerintahkan apa pun terhadap prajurit yang bukan bawahannya. Rasus menerima dengan segala kepedihan, bahwa pada suatu saat dan keadaan tertentu maka ajal seorang nenek harus dianggap kecil; gaya telegram Sersan Pujo itulah buktinya.
 
Namun Rasus berharap betapapun rawan situasi keamanan saat itu masih ada tersisa hak kemanusiaan yang bersifat pribadi. Maka dengan membawa telegram dari Sersan Pujo, Rasus menghadap komandan kesatuannya. Dia minta izin hendak pergi meninggalkan tugas guna melepas kepergian nenek kandungnya. Izin diberikan, namun Rasus harus berhadapan dengan wajah gelap komandannya.
 
Dengan kendaraan pertama yang bisa dihentikannya Rasus berangkat ke Dukuh Paruk. Pukul empat sore Rasus tiba di Dawuan. Turun dari kendaraan Rasus dijemput oleh seorang anak buah Sersan Pujo. Rasus diminta singgah dulu di markas sebelum meneruskan perjalanan ke Dukuh Paruk.
 
"Aku tahu, kamu ingin secepatnya melihat Nenek. Tetapi sebelum itu berilah aku kesempatan menunaikan tugasku sendiri yang menyangkut dirimu," kata Sersan Pujo kepada Rasus. Gaya Sersan Pujo sangat resmi hampir kaku.
 
"Tentu saja, Sersan. Silakan."
 
"Pertama, kuminta kamu menanggalkan senjatamu, juga pisau di pinggangmu itu."
 
Rasus memenuhi permintaan Sersan Pujo tanpa kata-kata apa pun. Kemudian keduanya duduk dalam suasana yang lebih kendur.
 
"Nenekmu masih hidup hari ini. Kepastian ini kuperoleh dari orang-orang Dukuh Paruk yang apel kemari tadi pagi."
 
"Ah, syukur. Yang sangat kukhawatirkan ialah bila sampai aku terlambat. Maka terima kasih, Sersan. Telegram yang Sersan kirimkan membuat aku sempat menunggu saat-saat terakhir hidup Nenek."
 
"Ya. Dan satu pesanku. Kita sama-sama prajurit, maka kita dituntut memiliki ketabahan. Ketabahan dalam menghadapi apa pun. Kuulangi, ketabahan dalam menghadapi apa pun!"
 
Rasus merasa ada pesan tertentu dalam kata-kata Sersan Pujo. Dan barusan dia mendengar ada orang Dukuh Paruk yang dikenai wajib apel. Rasus ingin mendapat kejelasan tetapi Sersan Pujo tidak memberinya kesempatan.
 
"Nah, silakan kamu meneruskan perjalanan ke Dukuh Paruk. Jangan lupa, kamu seorang prajurit."
 
"Baik, Sersan."
 
Dukuh Paruk sedang menanti seorang anaknya pulang. Penantian yang harus diberi makna apa karena Dukuh Paruk sesudah menyala menjadi obor besar adalah Dukuh Paruk yang merenung dan amat gering. Segala sendi kehidupan yang dari generasi ke generasi telah membentuk pribadi Dukuh Paruk menjadi demikian goyah hampir runtuh. Dukuh Paruk telah kehilangan rasa percaya diri amat sangat sehingga dia tidak tahu pasti dengan cara atau sikap bagaimanakah dia menyambut kedatangan sang anak bila suatu ketika dia muncul.
 
Dan sang anak sedang berjalan dalam langkah-langkah panjang lurus menuju kerindangan rumpun bambu di mana dia dilahirkan menjadi warga kehidupan. Makin mendekati gerumbul Dukuh Paruk langkah Rasus makin cepat. Lalu tiba-tiba dia terjebak dalam kelengangan yang aneh. Rasus berhenti dan menatap ke depan. Di manakah rumah Sakum yang biasa tampak dari ujung pematang? Juga di manakah kilau atap seng rumah Kartareja?
 
Rasus melangkah lagi. Namun kelengangan bahkan makin mencekam. Tidak ada anak-anak berkeliaran di halaman dan tidak terdengar suara mereka. Oh! Dan Rasus berdiri beku, dahinya berkerut-kerut. Dia berusaha keras membaca dan meyakini kenyataan yang tergelar di hadapannya. Rumah-rumah puaknya telah berubah menjadi gubuk-gubuk kecil tak ubahnya seperti dangau sawah. Oh, Dukuh Paruk, mengapa engkau rupanya? Mala petaka apa pula yang telah menimpamu selama aku di rantau?
 
Pada saat pundak Rasus jatuh, sebuah jawaban yang pasti bisa menerangkan segalanya. Intuisinya bekerja demikian cepat menghubung-hubungkan faktor-faktor kekinian dengan segala cirinya, dengan segala hukum dialektikanya. Apabila Rasus teringat pada masa lalu Dukuh Paruk terbawa arus keberingasan propaganda politik maka segala sesuatu tak usah dipertanyakan lagi. Ya. Kemudian Rasus merasakan sesuatu yang amat pahit masuk lalu mengental di dasar hatinya.
 
Kini Rasus melangkah lagi. Mengambang, seakan telapak kakinya tidak menginjak tanah. Dua orang anak kecil yang tak sengaja melihat kedatangannya lari terbirit, lalu menerobos pintu gubuk dan bersembunyi dengan wajah pucat. Orang-orang perempuan mengintip dari celah dinding anyaman daun kelapa. Mereka tidak berani menampakkan diri bahkan sesudah mereka yakin tentara yang datang adalah Rasus, saudara mereka sendiri.
 
Ketika Dukuh Paruk merasa sedang berada dalam puncak kehancuran harga diri, ketika sejarah terasa telah menyingkirkannya ke wilayah aib kehidupan, maka sesungguhnya Dukuh Paruk sangat berharap pertolongan akan datang dari putra terbaiknya. Dukuh Paruk ingin menyembunyikan wajah ke balik punggung Rasus yang sudah jadi tentara. Tetapi tak seorang pun di sana yakin akan sikap Rasus; simpati terhadap Dukuh Paruk yang suatu saat menyala menjadi obor raksasa atau malah sebaliknya. Dalam keluguannya Dukuh Paruk telah membaca sejarah bahwa hubungan darah bisa bungkam dan pekak ketika terjadi penjungkirbalikan tata nilai yang menggegerkan kehidupan.
 
Lihatlah kaum lelaki dan perempuan yang sedang berkumpul di rumah Nenek Rasus berdiri membisu ketika meraka melihat putra terbaik itu datang. Ketakutan masih menjadi warna yang paling menyolok pada wajah-wajah mereka. Rasus sudah melihat sisa abu dan arang, lalu rumah-rumah liliput dan anak-anak yang lari ketakutan. Semuanya adalah garis besar jawaban tentang apa yang baru menimpa Dukuh Paruk. Dan jawaban yang rinci, mendasar, dan lengkap terbaca dengan jelas pada penampilan orang-orang yang sedang berkumpul di sana. Mereka adalah prasasti hidup, monumen tanpa kata, yang mencatat secara amat teliti tentang perilaku, sejarah yang telah memperlakukan Dukuh Paruk semaunya. Rasus seakan melihat kobaran api yang telah membakar puaknya pada alis Sakum. Dia seakan melihat ketakutan dan kepanikan luar biasa pada keriput wajah Sakarya. Dan Rasus seakan mendengar jerit yang melengking ketika dia melihat air mata kaum perempuan mulai berjatuhan.
 
Satu langkah lebih jauh Rasus sudah larut dalam kehancuran puaknya. Dia tak kuasa lagi menatap wajah Sakarya, Kartareja atau lainnya. Dia tak kuasa lagi menyaksikan air mata perempuan yang turun membasahi pipi-pipi kurus dan pucat. Rasus berjalan goyang. Sikap tabah yang dipesankan oleh Sersan Pujo berhasil menjaga tubuh Rasus tidak roboh. Tetapi Rasus tak berhasil menahan air mata ketika dia sudah berdiri di samping tubuh neneknya.
 
"Nek, aku datang. Aku Rasus, Nek."
 
Dan tubuh lusuh di bawah kain gombal itu tak kuasa memberi tanggapan apa pun.
 
"Laa ilaaha illallaah."
 
Kemudian Rasus duduk di tepi balai-balai. Masih terlihat samar denyut urat darah di sisi leher neneknya. Masih ada gerakan halus di dada. Namun Rasus merasa neneknya sudah tak mampu lagi berkomunikasi dengan siapa pun. Hayat masih ada tetapi roh, siapa tahu, telah pergi lebih dahulu.
 
Diperlukan waktu lima atau enam menit bagi Rasus buat menyadari di mana dan pada keadaan bagaimana dirinya kini berada. Kemudian desah yang berat menandakan Rasus telah berhasil mengalahkan segala gejolak rasa. Setelah mengusap wajah neneknya dengan lembut, Rasus berdiri lalu membalikkan badan. Kini dia kembali menghadapi wajah Dukuh Paruk; wajah penuh pengakuan bersalah, wajah penuh permohonan maaf kepada kehidupan. Namun Dukuh Paruk harus mengakui kenyataan, kehidupan hanya mau memberikan maaf melalui sang waktu yang sering suka mengulur tangan yang begitu panjang. Maka Dukuh Paruk amat sulit meyakini apakah kehidupan mau memaafkannya. Apabila maaf itu tidak diperoleh, Dukuh Paruk harus mau hancur dikunyah sejarah. Dan kehancuran itulah sketsa yang terlukis pada wajah orang-orangnya.
 
Rasus bukan hanya merekam kehancuran itu. Dia bahkan merasa bersama-sama puaknya, hancur. Malah Rasus merasa berdiri pada tempat yang lebih sulit; dia anak Dukuh Paruk tetapi dituntut memiliki wawasan yang jauh lebih luas daripada sekadar kepentingan dan kehidupan puaknya.
 
Masih belum sepatah kata pun terucap, Rasus bergerak menyalami Sakarya, Kartareja, dan orang-orang Dukuh Paruk lainnya. Kata-kata yang kemudian keluar dari mulutnya terdengar berat namun tenang.
 
"Sedulur-sedulurku semua, apakah kalian selamat?"
 
Sepi. Tak terdengar suara yang segera menjawab. Orang-orang hanya bisa menundukkan kepala dan menelan ludah. Orang-orang sedang menikmati sentuhan lembut yang mengelus jiwa. Sedulur. Rasus tetap menyebut mereka saudara. Sebutan yang begitu lumrah namun menjadi sangat istimewa bagi sekelompok manusia sisa kobaran api di Dukuh Paruk. Sakarya terbatuk. Bibirnya bergerak-gerak. Namun kata-katanya tak kunjung keluar.
 
"Ya, Cucuku Wong Bagus," ucap Sakarya akhirnya. "Kami semua, saudara-saudara sampean, bagaimanapun juga masih mendapat keselamatan."
 
"Syukurlah, Kek."
 
"Dan kami sangat senang, akhirnya sampean pulang. Lha, nenek sampean itu. Untung sampean belum terlambat."
 
"Ya, Kek."
 
"Sudah belasan hari kami menungguinya, Ah, kukira nenek sampean memang sudah tua, sangat tua. Lalu, bukankah sampean hendak menunggui Nenek hingga selesai?"
 
"Ya. Ah, tetapi entahlah, Kek. Aku hanya diberi izin tiga hari."
 
"Jadi kamu hanya mau tinggal tiga hari di sini?" tanya Sakum. Dia berdiri dan matanya yang keropos berkedip-kedip.
 
"Hai, Sakum! Tidak pantas ber-kamu kepada seorang tentara."
 
"Ah, ya. Aku lupa. Seharusnya aku menyebut Pak Tentara. Rasus tentu gagah sekarang. sampean sudah punya istri, Pak Tentara?"
 
"Belum, Kang."
 
"Kebetulan. Srintil juga masih sendiri. Eh, tetapi entah di mana dia sekarang. sampean tahu di manakah dia sekarang?"
 
Wajah Rasus menegang dan dia tidak berhasil menyembunyikan keterkejutannya. Rasus sudah berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan berbicara siapa saja orang Dukuh Paruk yang pernah ditahan. Sebab segalanya tak terelakkan dan sudah terjadi. Lagi pula pada mulanya Rasus menyangka semua warga puaknya yang ditahan telah kembali ke Dukuh Paruk. Kini Rasus tahu Srintil yang demikian lama punya arti amat penting bagi dirinya justru menjadi satu-satunya orang Dukuh Paruk yang masih ditahan entah di mana.
 
"Aku, aku tidak tahu, Kang. Aku tidak tahu di mana sekarang Srintil ditahan," jawab Rasus sambil menggelengkan kepala.
 
"Ah, kasihan dia, Pak Tentara. Lalu siapa lagi kalau bukan sampean yang bisa menolong Srintil. Nah, cari dia, bawa pulang kemari dan jadikan dia istri sampean. Wah, pantas betul."
 
"Sakum, sudahlah. Yang macam itu bukan urusanmu," potong Sakarya. "Lagi pula pantaskah kamu bicara macam-macam di dekat Nenek Rasus yang sedang sakit payah?"
 
Malam hari hampir semua orang Dukuh Paruk berkumpul di rumah Nenek Rasus dan sekitarnya. Perihal Nenek Rasus mereka sudah tahu, retapi cucunya yang baru pulang setelah empat tahun meninggalkan Dukuh Paruk adalah lain. Bukan semata-mata orangnya yang ingin mereka ketahui, karena yang terutama adalah bagaimana sikap Rasus; masihkah dia memiliki kesetiaan dasar terhadap Dukuh Paruk serta darah dan daging Ki Secamenggala. Dukuh Paruk yang merasa disingkirkan ke wilayah paling aib karena dihubung-hubungkan dengan penyebab geger 1965 amat merindukan pamong baru. Pamong yang bisa dijadikan secuil kebanggaan hidup dan pengayom. Dan Rasus adalah orang yang paling didambakan bila benar dia masih memiliki kesetiaan dasar itu. Kini orang-orang Dukuh Paruk ingin membuktikannya.
 
Rasus menyambut puaknya dengan senyum, dengan mata berseri. Bukan karena tahu dia sedang diselidiki. Dia gamit pipi anak-anak di gendongan emak masing-masing. Seorang anak malah diambilnya dari gendongan seorang perempuan, ditimang-timangnya, diciuminya. Rasus mencium masa lalunya, mencium bau Dukuh Paruk, mencium pangkuan emaknya. Hatinya bergetar oleh rasa keterikatan dan keprihatinan atas ulah sejarah yang telah membawa obor besar yang telah membakar Dukuh Paruk, sejarah yang membuat Dukuh Paruk sangat mudah terkejut meski hanya oleh keresek bunyi bengkarung di atas sampah kering, apalagi oleh bunyi langkah orang bersepatu. Dukuh Paruk yang kini selalu menunduk bila menghadapi tatapan mata orang luar, Dukuh Paruk yang serba takut karena sudah tak secuil pun memiliki rasa percaya diri.
 
Buat kali pertama sejak tiga bulan berselang terlihat senyum pada wajah-wajah orang Dukuh Paruk. Kesejukan pertama telah menyentuh hati ketika mereka yakin Rasus tidak berubah. Dia tetap anak Dukuh Paruk. Dia masih mau menciumi anak-anak yang berbau anyir. Pandangan matanya sejuk dan sejati, tidak seperti pandangan orang-orang luar yang terasa amat menyiksa. Oh, sungguh tidak terbayangkan kehancuran yang harus dipikul oleh orang Dukuh Paruk apabila Rasus sama seperti semua orang; memandang Dukuh Paruk seakan tidak layak lagi menjadi warga kehidupan.
 
Namun senyum Dukuh Paruk belum bisa berkembang menjadi tawa riang. Semua sadar Rasus dalam keprihatinannya sendiri. Maka orang-orang Dukuh Paruk sudah puas bila Rasus menyapanya dengan ramah, memanggil mereka dengan sebutan paman, kakang, bibi atau lainnya. Kemudian mereka membiarkan Rasus kembali ke dekat tubuh neneknya yang sedang menunggu saat terakhir.
 
Menjelang tengah hari tinggal beberapa orang lelaki dan perempuan yang masih tinggal di rumah Nenek Rasus. Rasus duduk menemani Sakarya, Kartareja, dan Sakum, tetapi lebih sering duduk di tepi balai-balai menunggui neneknya. Dua perempuan sudah tertidur berimpitan di sebuah lincak. Kartareja memejamkan matanya sambil menyandar ke belakang. Sakum mendungkup sambil duduk. Hanya Sakarya yang masih jaga. Mereka kelihatan lusuh karena sudah beberapa malam menjaga Nenek Rasus. Pada akhirnya Sakarya pun lelap di kursinya.
 
Tiba-tiba cuping hidung Rasus bergerak-gerak. Dia mencium sesuatu; bukan bau kain gombal neneknya yang sering kali basah, bukan bau asap kemenyan tetapi sesuatu yang lain. Bau mayat. Rasus mencondongkan muka melihat wajah neneknya lebih dekat. Masih ada napas. Ya, dari embusan napas yang sangat pelan itu sudah tercium bau kematian. Kemudian Rasus menoleh kepada Sakarya. Tidur, semuanya tidur. Hening dan hampa merayap perlahan dan merangkul Rasus dari segala arah. Rasus merasa dirinya mengapung dalam kekosongan.
 
Bau mayat. Bau yang berasal dari proses perubahan jaringan organik yang terurai. Proses itu berjalan amat lambat dan sangat alami. Hayat Nenek Rasus ditakdirkan berakhir bukan karena kerusakan pada organ-organ tubuhnya, melainkan karena habisnya kemampuan kerja mekanisme sistem ragawinya. Seperti sebuah mesin yang akan mati karena kehabisan bahan bakar, perlepasan energi terakhirnya adalah gerakan-gerakan tersendat dan sporadik. Rasus melihat napas neneknya tiba-tiba menjadi cepat. Kedua matanya mendadak terbuka penuh, mulutnya ternganga. Secara keseluruhan wajah Nenek Rasus adalah gambar kengerian dan ketakutan yang amat sangat. Kemudian suatu gerakan yang berasal dari perut dengan cepat naik ke dada dan berhenti tiba-tiba di tenggorokan. Nenek Rasus seperti hendak terbatuk, namun yang terjadi hanyalah muntahan sedikit cairan. Itulah gerakan terakhir pada jasad yang sudah demikian lusuh. Tak tersisa tenaga sedikit pun buat menutupkan kelopak mata atau mengatupkan mulut. Hayat telah berjabat tangan dengan maut. Sebuah sosok keakuan telah larut sempurna dalam keberadaan semesta. Sebentuk unikum yang mewujud selama lebih dari tujuh puluh tahun di Dukuh Paruk telah lenyap dan kembali menjadi debu bagian universum. Rohnya kembali kepada Yang Mahaempunya. "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un," gumam Rasus. Diusapnya wajah jasad neneknya agar kelopak matanya tertutup. Diangkatnya rahang yang kini terpaut pada sepasang urat mati agar terkatup. Selimut kain diangkat schingga menutup seluruh jasad. Lalu Rasus berdiri termenung, bersedakap. Hening merangkulnya semakin erat. Dan mengapa Rasus baru merasakan kesadaran yang amat dalam? Sadar akan hubungan ajaib dan penuh rahasia antara jasad dirinya dengan jasad yang terbujur di hadapannya. Satu mata rantai yang membentuk garis keturunan telah sirna dan mata rantai berikut adalah diri Rasus sendiri. Denyut jantung seorang nenek telah berhenti, tetapi denyut keturunan yang menjalin kehidupan terus berlanjut. Rasus amat sadar denyut itu kini makin terasa dalam dadanya. Keharuan terusik dan air mata Rasus meleleh.
 
Waktu satu atau dua menit yang telah membawa Rasus ke tepi kesadaran keakuannya terasa demikian lama. Ketika telinganya menangkap suara burung celepuk Rasus merasa telah kembali ke alam keseharian. Sunyi. Di depannya mayat Nenek yang tertutup kain dari kaki hingga ke kepala. Di belakangnya dua orang perempuan tua tidur berimpitan dalam satu lincak. Di sana Sakarya, Kartareja, dan Sakum terlena di tempat duduk masing-masing. Ada kunang-kunang masuk, terbang sekeliling ruang. Ada keresek tikus busuk di samping rumah. Burung celepuk kembali mengumandangkan suaranya. Sakarya terjaga, mengusap waiah dengan kedua telapak tangan, lalu ditatapnya Rasus yang sedang berdiri khusyuk. Dahi Sakarya berkerut karena hatinya menangkap makna suasana.
 
"Bagaimana?" tanya Sakarya sambil bangkit.
 
"Ya, Kek. Nenek sudah bagus. Baru saja," jawab Rasus tenang.
 
"Oh, sampean tidak membangunkan aku?"
 
"Kejadiannya amat cepat, Kek. Sudahlah. Nenek sudah bagus."
 
Sakarya menunduk dan pundaknya jatuh. Perlahan-lahan dia mendekat ke balai-balai. Khidmat, dibukanya kain penutup hingga tampak wajah mendiang Nenek Rasus. Buat kesekian kali Sakarya menatap citra kematian pada wajah tanpa hayat dan tanpa roh. Sama-sama tanpa roh, namun monumen yang terbuat dari jaringan organik memang tidak sama dengan tubuh yang sedang tidur. Mayat adalah visualisasi proses terlepasnya nama dari kedirian, bahkan proses runtuhnya sebentuk fungsi keberadaan. Dan Sakarya hanya bisa menghayati kematian dalam sebuah kidung yang selalu ditembangkan bila ada warga Dukuh Paruk meninggal.
 
Wenang sami ngawruhana pati. Wong ngagesang tan wurung palastra. Yen mati ngendi parane. Saengga manuk mabur, mesat saking kurunganeki. Ngendi parane benjing, aja nganti kliru. Upama wong aneng dunya, asesanjan mangsa wurunga yen mulih. Maring nagri kamulyan.
 
Rasus belum pernah memikirkan secara sungguh-sungguh ajaran yang terkandung dalam kidung itu. Namun setidaknya Rasus bisa menangkap adanya wawasan yang masih sumir rentang hakikat kematian. Ada kalimat dalam kidung itu yang mengatakan, manusia hidup, tak urung bakal tiada, dan bahwa akhir perjalanan setiap manusia adalah nagri kamulyan, rahmat Ilahi. Entah sistem nilai mana yang dijadikan referensi oleh Sakarya buat menghayati kandungan kidungnya. Anehnya Rasus merasa sumber referensi yang digunakan oleh Sakarya sesungguhnya adalah sistem nilai yang kini benar-benar dianutnya. Sistem nilai itu punya diktum tentang kematian; sesungguhnya dari Tuhanlah asal segala sesuatu dan kepada Tuhan jua semuanya bakal kembali.
 
Keesokan hari ketika setiap renik embun larut kembali dalam udara, semua warga Dukuh Paruk berjalan mengiring jasad Nenek Rasus ke makamnya. Tak seorang pun tertinggal, semua berada dalam barisan panjang mengikuti lorong yang naik ke bukit pekuburan Dukuh Paruk. Mereka adalah semut yang beriringan dalam diam. Kematian Nerick kasus adalah dukacita pertama sesudah mala petaka kobaran api yang membakar Dukuh Paruk empat bulan sebelumnya; kematian yang makin mempererat ikatan puak. Dalam kehancuran martabat yang luar biasa Dukuh Paruk hanya bisa melakukan upaya amat pasif dan primitif untuk mempertahankan keberadaannya sebagai warga kehidupan. Dan orang yang tidak mengerti akan kehancuran jiwa Dukuh Paruk boleh jadi mengatakan bahwa iring-iringan yang sedang menaiki bukit pekuburan Dukuh Paruk itu adalah barisan orang yang sedih karena kematian seorang kerabatnya. Orang yang tidak tahu nestapa Dukuh Paruk tidak bisa mengerti bahwa mereka yang sedang mengiring mayat adalah orang-orang yang membawa keprihatinan mendalam dan hanya bisa dihibur dengan cara memperkokoh buhul kesetiaan dasar, membuktikan kebersamaan dalam nestapa dan dukacita. Kematian Nenek Rasus adalah kesempatan pertama buat menggambarkan tangis Dukuh Paruk, tangis yang tak mungkin cukup diwakilkan kepada sedu-sedan dan air mata.
 
Selesai pemakaman orang-orang menuruni bukit pekuburan, masih dalam kebisuan. Hanya Rasus dan Sakarya yang masih tinggal. Keduanya masih jongkok menghadapi gundukan tanah yang menimbun jasad Nenek Rasus. Sepi sekaii sehingga terdengar jelas suara burung-burung, suara butir buah beringin yang jatuh menimpa daun, dan suara kumbang yang terbang hinggap pada bunga kamboja. Rasus meremas tanah yang renyah dan Sakarya seperti sedang menanti kesempatan buat mengatakan sesuatu.
 
"Nenek sampean ini beberapa tahun lebih muda daripadaku," kata Sakarya akhirnya. "Jadi aku yang lebih tua. Maka aku merasa umurku juga akan berakhir tidak lama lagi."
 
Rasus mengangkat muka.
 
"Cucuku, aku juga sama dengan nenekmu yang ingin ditunggui cucu ketika ajal tiba. Tetapi aku tidak yakin apakah Srintil bisa pulang manakala aku mati. Inilah beban berat yang selalu kupikirkan siang dan malam. Apakah sampean bisa menolongku, Cucuku Wong Bagus?"
 
Rasus tergagap. Ditataprtya wajah Sakarya lalu menunduk lagi.
 
"Menolong bagaimana, Kek?"
 
"Yah, sesungguhnya berat aku mengatakannya. Aku ingin minta bantuanmu mengusahakan Srintil cepat kembali. Ah, tidak. Aku mengerti itu tidak mungkin. Tetapi setidaknya, maukah sampean mencari tahu di manakah Srintil kini berada? Oh, cucuku. Betapa aku ingin tahu keadaan Srintil. Apabila dia masih hidup maka di mana dan bagaimana keadaannya sekarang. Apabila dia sudah meninggal maka di manakah kuburnya."
 
Urat tenggorokan Rasus terasa mengerut. Keperihan Dukuh Paruk memang disebabkan oleh dua luka, kedua-duanya ikut terasakan sepenuhnya oleh Rasus. Luka pertama adalah rudapaksa hebat yang telah membakar Dukuh Paruk hampir habis dan kenisbian sejarah yang memandang Dukuh Paruk adalah sisi aib kehidupan. Luka kedua adalah kenyataan Srintil belum kembali. Srintil yang memanggul sekian banyak simbol Dukuh Paruk masih terbenam dalam ketidakpastian. Dan ketidakpastian Srintil tidak bisa lain kecuali dirasakan oleh puaknya sebagai ketidakpastian Dukuh Paruk sendiri. Rasus sadar sepenuhnya bahwa ketidakpastian lebih mengerikan daripada mala petaka tempe bongkrek yang telah beberapa kali menimpa Dukuh Paruk, atau lebih mengerikan daripada kobaran api besar yang telah menghanguskan Dukuh Paruk empat bulan berselang. Tenggorokan Rasus mengerut lagi.
 
"Bagaimana, Cucuku?"
 
"Oh, ya. Akan kuusahakan sebisa-bisanya. Tetapi tak ada jaminan usahaku mencari keterangan di mana Srintil berada akan berhasil. Kakek tahu, keadaan masih sangat genting."
 
Sakarya mengosongkan parunya dalam desah panjang. Ada percik kegembiraan pada wajahnya.
 
"Ya, asal sampean mau berusaha sudah cukup membuatku merasa besar hati. Lalu ada lagi yang ingin kusampaikan padamu."
 
"Apa lagi, Kek."
 
"Ini amat rahasia dan hanya sampean yang boleh tahu. Tentang perhiasan emas milik Srintil yang berhasil kuselamatkan. Apakah sampean mau menyimpan kemudian nanti memberikannya kepada Srintil bila dia sudah kembali?"
 
"Banyak?"
 
"Banyak. Lebih dari dua ratus gram."
 
"Oh, maaf. Aku merasa tidak berhak menyimpannya. Di manakah harta itu sekarang?"
 
"Disimpan oleh istriku."
 
"Nah, biarkan harta itu tetap di sana. Aku cukup mengetahuinya saja."
 
"Aku khawatir karena kami berdua sudah tua. Bagaimana nanti bila kami mati sedangkan sampean tidak di sini?"
 
"Kalau begitu simpanlah dia di suatu tempat yang hanya kita berdua tahu."
 
"Oh, ya. Baiklah. Harta Srintil itu akan kutanam dekat nisan makam Eyang Secamenggala. Kukira di sana aman."
 
"Baik, Kek. Akan kujaga sebaik-baiknya amanat ini."
 
Kerut-kerut di wajah Sakarya mengendur. Diperhatikannya dengan saksama Rasus yang bangkit dan berjalan ke arah sebatang pohon kamboja. Dipatahkannya dahan sebatang lain ditanammya dekat nisan makam neneknya. Satu pohon kamboja akan tumbuh dan menjadi saksi bahwa tanah Dukuh Paruk telah menerima kembali segumpal saripatinya: jasad Nenek Rasus.
 
Dalam perjalanan pulang Rasus sungguh tidak ingin berbicara apa pun karena ungkapan dengan kata mana saja takkan sanggup mewakili perasaannya. Kenyataan bahwa dia telah melihat tanah airnya yang kecil berubah menjadi pedukuhan dengan rumah-rumah liliput, orang-orang sepuak bahkan anak-anak yang tak mampu lagi tersenyum, neneknya yang baru saja dikubur, dan Srintil. Masih hidup atau sudah matikah dia dan di manakah adanya? Semua ini meresahkan Dukuh Paruk, meresahkan Sakarya dan amat meresahkan Rasus.
 
Dan keresahan itu makin terasa berat ketika Rasus harus berangkat lagi meninggalkan Dukuh Paruk. Berat, bukan hanya karena sesungguhnya Rasus tidak bisa menunaikan tugas dari puaknya untuk memperoleh keterangan tentang Srintil. Kedudukannya sebagai anggota tentara yang justru menyulitkan pelaksanaan tugas seperti itu, lagi-lagi karena keangkuhan kenisbian sejarah. Berat, terutama karena Rasus percaya harapan Dukuh Paruk kini hanya berada pada dirinya.
 
Maka Rasus tidak merasa perlu menyembunyikan air mata ketika dia melihat lelaki, perempuan, dan anak-anak Dukuh Paruk berhimpun untuk melepas keberangkatannya. Wajah-wajah yang mati dan tatapan mata yang hampa adalah hibaan yang amat memelas bagi secuil harapan kiranya Dukuh Paruk masih dianggap berhak menghirup udara kehidupan, menenggak air kehidupan, dan menapakkan kaki di bumi kehidupan. Rasus sekali lagi berangkat meninggalkan tanah airnya yang kecil. Kali ini dia tak kuasa tersenyum, dahinya berkerut, dan hatinya buntu.
 
Bagian Kedua
 
 
Ketika baru dipasang atap-atap yang terbuat dari anyaman daun kelapa itu hijau tua warnanya. Baru sehari terkena sinar matahari dia sudah berubah menjadi sedikit kelabu dan kerapatan anyamannya mengendur. Warnanya berubah lagi menjadi cokelat dan rapuh. Siang hari orang-orang Dukuh Paruk dapat melihat langit dari dalam gubuk masing-masing. Malam hari anak-anak menghitung bintang sambil tiduran.
 
Musim hujan tiba. Sakarya menganjurkan orang-orang Dukuh Paruk melapisi atap-atap gubuk mereka dengan ilalang buat mengedap air hujan. Ilalang adalah atap yang sebenarnya. Dia menyerap panas ketika matahari terik. Sebaliknya, dia menyimpan kehangatan ketika udara di luar dingin dan kering. Tidur di atas pelupuh bambu di bawah atap ilalang adalah kenyamanan alarm yang tak mungkin terlupakan oleh setiap anak Dukuh Paruk.
 
Kemarau datang menggantikan musim hujan. Hilang dan datang lagi. Atap ilalang yang menyelimuti orang-orang Dukuh Paruk sudah berusia lebih dari dua tahun, mulai lapuk. Ada dua ekor burung brondol jantan dan betina rajin sekali melolon helai-helai atap ilalang gubuk Sakum untuk dibuat sarang di atas pohon. Dan Dukuh Paruk masih hidup. Ada rumput, entah mengapa, tumbuh di atas atap ilalang rumah Sakum. Akar rumput itu pelan dan pasti memakan atap ilalang itu. Tetapi Sakum yang keropos kedua matanya tetap hidup karena Dukuh Paruk bertahan hidup. Apabila Sakum belum berpikir hendak memperbaiki atap gubuknya, orang lain tidak demikian. Sakarya malah sudah memperbesar gubuknya, kini bertiang delapan. Dindingnya diganti dengan anyaman bambu, ada jeruji di bagian depan juga dari bambu. Dukuh Paruk merambat perlahan seperti akar ilalang menyelusuri celah cadas. Meski tak ada lagi tembang ronggeng atau irama calung namun sudah terdengar tawa anak-anak ketika mereka berebut biji ketapang. Biji yang keras mereka pecahkan, isinya putih dan gurih.
 
Meski orang Dukuh Paruk masih sangat mudah terkejut bila melihat laki-laki bersepatu dan masih belum berani beradu pandang dengan orang-orang luar; Dukuh Paruk secara moral masih dituntut mengaku bersalah, namun anak-anak di sana tetap anak-anak. Mereka lebih cepat lupa akan kobaran api yang membakar gubuk-gubuk mereka beberapa saat sesudah geger 1965. Lihatlah anak-anak itu yang sedang berkeliaran di pekarangan-pekarangan kosong mencari apa saja yang bisa dimakan; umbi-umbian, jantung pisang atau buah katilayu. Gangsir dan orong-orong digali dari tanah, pohon salam dipanjat agar mereka dapat mengulum kulit buahnya yang masak, sarang burung, bahkan sarang semut diambil telurnya. Dengan cara mereka sendiri anak-anak Dukuh Paruk bertahan dan bertahan.
 
Ada seorang anak perempuan yang tidak bisa bebas mengikuti teman-temannya berkeliaran di pekarangan-pekarangan kosong karena dia harus menjaga dua adiknya yang masih kecil-kecil. Anak perempuan itu duduk bersama kedua adiknya di tepi dukuh. Suatu ketika matanya menatap jauh ke seberang sawah luas yang mengelilingi Dukuh Paruk. Anak perempuan itu melihat sebuah sosok yang bergerak cepat sepanjang pematang. Makin dekat, makin dekat. Kemudian anak itu bisa memastikan yang sedang berjalan setengah berlari itu adalah seorang perempuan. Jalannya begitu tergesa sehingga kelihatan perempuan itu beberapa kali jatuh, lalu bangun dan berlari lagi. Kainnya diangkat tinggi-tinggi, badannya condong ke depan dan tangannya setengah terentang untuk memperoleh keseimbangan. Anak perempuan itu masih terlalu muda untuk mengingat siapa gerangan yang datang. Namun ketika jarak antara pendatang itu tinggal satu petak sawah, anak perempuan itu tahu yang sedang berlari adalah dia yang pernah dikenalnya di Dukuh Paruk.
 
Srintil hampir kehabisan napas. Ketika langkah pertamanya menginjak tanah Dukuh Paruk ambruklah dia. Tas kecil yang berisi pakaian satu atau dua lembar, terlempar ke samping. Srintil tertelungkup mencium tanah. Jeritnya serta-merta menghentikan semua gerakan anak-anak yang sedang berkeliaran. Mereka terpaku memandang seorang perempuan yang sedang berusaha merangkul tanah sambil menangis. Sekejap kemudian muncul beberapa orang lelaki dan perempuan. Nyai Sakarya yang paling pertama sadar akan apa yang dilihatnya. Dia berlari kemudian menubruk Srintil yang masih terkulai di tanah.
 
"Oalah, Gusti Pengeran! Gusti, Gusti. Srintil pulang. Srintil, Cucuku Wong Ayu! Engkau masih hidup? Eman, eman, Cucuku. Engkau masih hidup?"
 
Srintil yang lunglai digeluti oteh tiga orang perempuan sambil menangis. Dia kemudian dipapah karena tak mampu lagi berjalan sendiri. Namun Srintil kembali menjerit ketika dari balik genangan air matanya dia melihat Dukuh Paruk sudah sangat berubah. Dan tangisnya makin menjadi-jadi manakala Srintil membenamkan wajahnya ke pangkuan neneknya, Nyai Sakarya.
 
Dukuh Paruk kembali menjatuhkan pundak-pundak yang berat, kembali bersimbah air mata. Srintil sudah kembali setelah sekian tahun menjadi sumber ketidakpastian yang memanggang semua orang Dukuh Paruk. Srintil sudah kembali. Sebuah jimat telah berada kembali ke pangkuan ibunya. Dukuh Paruk lega. Dan sekaligus berduka karena kepulangan Srintil tidak bisa tidak telah membuka kembali nestapa lama ketika ujung pedang menuding Dukuh Paruk bersangkut-paut dengan penyebab mala petaka 1965. Nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk merasa seakan tidak boleh lagi ikut merasa memiliki matahari, bumi, dan langit? Nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk merasa segala cicak dan tokek ikut mencibir dan menertawakannya? Dan nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk hanya merasa sebagai tinja kehidupan? Tinja yang harus ada pada diri orang paling bermartabat sekalipun, namun tinja sendiri jauh dari segala martabat.
 
Semua warga puak berkumpul di rumah Sakarya. Semua ingin melihat dan meyakinkan diri dengan pasti bahwa kerabat yang paling mereka hargakan sudah datang dari antah-berantah. Namun tumpahan segala perasaan hanyalah kebisuan. Dan sedu-sedan perempuan, kebingungan anak-anak. Selebihnya, diam. Hanya Sakarya yang berjalan berputar-putar sambil menggendong tangan. Baginya kepulangan Srintil mempunyai nilai khas; kekhawatirannya akan mati tanpa ditunggui oleh seorang cucu kesayangan kini lenyap.
 
Srintil duduk rapat dengan tubuh neneknya. Dengan mata sembab dipandangnya seluruh kerabat seorang demi seorang. Ketika melihat Goder berdiri bergayutan pada tangan Tampi, wajah Stintil berubah. Matanya bersinar, mata seorang ibu sejati yang telah sekian lama terpaksa berpisah dengan anaknya dan kini keduanya berhadap-hadapan. Tetapi Goder tak mampu membaca makna sinar mata seorang yang sudah lama tidak dilihatnya. Goder menyembunyikan diri di balik tubuh Tampi. Bahkan dia menangis keras-keras ketika Srintil membopongnya, mendekapnya kuat-kuat dan menciuminya. Beberapa orang perempuan menundukkan kepala, tidak tega melihat kerinduan Srintil ditampik oleh Goder.
 
Sejak hari pertama kemunculan Srintil di tengah kaum kerabat Dukuh Paruk, banyak orang ingin tahu pengalamannya selama dua tahun lebih dia lenyap dari tengah pergaulan umum. Tidak sedikit orang yang ingin mengerti pengalaman Srintil dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam atau dari detik ke detik. Orang ingin tahu barangkali ada sesuatu yang luar biasa dalam pengalaman Srintil itu. Hasrat yang tidak aneh karena pada setiap diri terkandung kadar kecenderungan menyukai hal-hal sensasi. Atau demi tujuan yang lebih nyata, keobyektifan sebuah biografi misalnya, orang menginginkan catatan lengkap dan jujur tentang pengalaman Srintil.
 
Kemudian, mungkinkah kiranya seorang penyusun riwayat hidup yang paling unggul sekalipun mampu menyelesaikan pekerjaannya bila yang harus dia susun adalah biografi Srintil? Karena pertama, tak seorang pun bersedia memberi keterangan di mana dan bagaimana Srintil selama masa dua tahun lebih itu. Kedua, Srintil sudah mengunci dirinya pada satu tekad bulat bahwa dia tidak akan berkata apa pun dan kepada siapa pun tentang pengalamannya. Ketiga, sebenarnya orang bisa berharap pada suatu ketika kelak Srintil menerbitkan sebuah memoar. Namun harapan ini pasti sia-sia karena Srintil sama sekali buta huruf.
 
Maka orang akhirnya harus percaya akan keperkasaan sang waktu, akan kecanggihan isi perutnya yang mampu menyimpan segala rahasia sejarah. Tetapi akan ada orang mengatakan, menyerah kepada kunci waktu adalah kelemahan dan keputusasaan yang harus dibuang jauh. Orang-orang semacam ini tetap tidak puas apabila rekaman sejarah Srintil sepanjang dua tahun terhapus percuma dan hanya direlakan menjadi bagian rahasia sejarah. Sejarah adalah sejarah. Kedudukan sejarah sebagai guru kehidupan tak mungkin disingkirkan. Kedewasaan dan kearifan hidup bisa dibina, baik dengan sejarah tentang kepahlawanan dan budi luhur maupun dengan sejarah tentang pengkhianatan dan kebejatan manusia.
 
Atau sejarah sesungguhnya tak pernah berhenti membuat catatan. Apabila sejarah tidak membuat catatan dalam prasasti atau lembaran kertas maka dia membuatnya di tempat lain. Tentang riwayat hidup seorang manusia misalnya, maka sejarah pertama-tama mencatatnya pada kepribadian si manusia itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang lembut dan santai mungkin tidak tercatat dalam garis-garis kehidupan secara nyata. Namun pengalaman-pengalaman yang keras dan getir tentu akan tergores dalam-dalam pada jiwa, pada sikap dan perilaku, dan tak mustahil akan mengubah sama sekali kepribadian seseorang.
 
Misalnya, mengapa Srintil segera lari kocar-kacir sesaat dia diturunkan dari sebuah jip di mulut pematang pamang yang menuju Dukuh Paruk. Tanpa sekali pun menoleh ke belakang Srintil terus berlari seperti pipit dikejar alap-alap, jatuh-bangun, jatuh dan bangun lagi. Dan Srintil ambruk tertiarap ketika kakinya menginjak kembali bumi Dukuh Paruk.
 
Dan mengapa Srintil pada hari-hari pertama kepulangannya hanya bisa diam dan diam. Mengapa pula Srintil kelihatan amat lelah dan wajahnya kelihatan jauh lebih tua dari usianya yang baru dua puluh tiga tahun. Demikian. Namun pada pekan kedua Srintil kelihatan keluar rumah. Masih lesu. Jalannya lambat dan selalu menatap bumi. Srintil bergerak ke arah rumah Tampi. Sesudah perasaannya mengendap tiba-tiba berkecamuk rasa rindu kepada Goder. Tidak sekali pun Srintil pernah berpikir bahwa Goder bukan anaknya meski bocah yang sudah berusia empat tahun itu lahir dari rahim Tampi.
 
Tetapi Goder sudah pangling akan Srintil. Dia menyuruk ke selangkangan Tampi ketika Srintil hendak menyentuh badannya. Srintil tidak berputus asa, terus merayu dan mengajuk. Dan Goder tetap menghindar. Akhirnya Srintil bangkit mengusap air mata.
 
"Tampi, apakah kamu mengajari Goder membenciku?" kata Srintil sambil mengisak.
 
"Oalah, jenganten. Tidak, sekali-kali tidak," ujar Tampi dengan rasa pekewuh yang sangat.
 
Dan Srintil terus menangis, menutup muka dengan kedua tangannya. Isaknya tertahan-tahan. Adalah Srintil sendiri atau boleh jadi orang-orang seperti dia yang merasakan betapa nelangsa manakala uluran tangan dan kasih sayangnya ditampik oleh seorang bocah. Kelakuan Goder membuat Srintil amat mudah bertanya, "Betulkah aku telah menjadi orang yang demikian tak berharga hingga seorang bocah pun tak mau menerima uluran tanganku?"
 
"Mak, kenapa dia menangis, Mak?" kata Goder tiba-tiba.
 
"Karena kamu nakal. Kamu tak mau dibopongnya," jawab Tampi.
 
"Siapa dia, Mak?"
 
"Oalah, Anakku! Dia juga emakmu. Emakmu ada dua, aku dan dia."
 
Mata Goder membulat. Bening dan tanpa berkedip ditatapnya Srintil yang masih menangis.
 
"Betul dia emakku juga?"
 
"Betul."
 
"Mengapa tidak pernah datang kemari?"
 
"Dia baru pulang dari bepergian."
 
"Jauh?"
 
"Jauh sekali."
 
"Sekarang dia membawa oleh-oleh?"
 
"Oh, aku lupa, Nak," ujar Srintil. Suaranya parau. "Tetapi aku punya uang. Engkau ingin apa, Nak?"
 
Goder kelihatan ragu. Sekali lagi matanya yang bening menatap Srintil. Dua pasang mata, satu bening dan satu letih serta kuyu saling tatap mencari makna. Dengan kebeningannya mata Goder menangkap kesejatian, satu hal yang amat peka dalam jiwa seorang bocah. Atau karena tetes-tetes air susu yang pernah dicecap Goder dari dada perempuan di hadapannya maka tali jiwa antara keduanya segera tersambung kembali. Batas keterasingan terkikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya Goder tidak merasa ada kejanggalan lagi bahwa perempuan yang baru pulang dari jauh adalah emaknya juga.
 
Sementara Srintil melihat dalam kedua bola mata Goder sebuah dunia yang putih-bersih, jauh lebih putih dan bersih daripada dunianya sendiri, dunia orang dewasa di mana dia mewujud. Srintil merasa telah menempuh perjalanan hidup yang amat meletihkan jiwa dan raganya dan buntu pada sebuah tanda tanya besar. Srintil ingin mengundurkan diri dari kenyataan, dan mata Goder itu. Ada dunia jernih dan teduh di sana. Dengan penuh kecewa dan rasa iri Srintil mengakui dunia yang kelihatan pada mata Goder bukan miliknya. Namun bukankah tiada alangan baginya numpang berteduh barang sejenak, numpang mengaso dari keletihan yang amat sangat?
 
Tiada alangan, karena mata Goder akhirnya bersinar memancarkan keramahan. Pintu dunianya terbuka bagi seorang perempuan yang pernah menyusuinya dan kini amat mendambakan tempat secuil buat bernaung.
 
"Kamu minta apa, Nak?" ulang Srintil sambil tersenyum, senyum yang pertama sejak kepulangannya dari keterasingan. Didekatinya Goder, kemudian Srintil jongkok hingga wajahnya sangat dekat dengan wajah bocah itu.
 
"Aku ingin anu. Apa ya, Mak?" Goder menoleh kepada Tampi.
 
"Nah, terserah. Kamu mau apa?"
 
"Aku ingin ondol-ondol."
 
"Hanya itu? Bagaimana dengan gembus?"
 
"Ya, gembus juga. Apa uangmu banyak?"
 
"Banyak," jawab Srintil pasti.
 
"Kalau begitu aku ingin beli balon."
 
"Baik, Nak. Sekarang mari kita pulang. Uangku di rumah."
 
Srintil mengembangkan kedua tangannya. Dua atau tiga detik Srintil merasa benar-benar hidup kembali ketika dia melihat Goder bangkir dan berlari ke dalam pelukannya. Oh, betapa sejuk rasanya; sebuah dunia kecil namun pernah makna kemanusiaan. Dan dunia kecil itu sungguh berada dalam rangkulan Srintil. Dipeluk, dibopong kemudian dibawa pulang dalam langkah-langkah yang mantap. Ketika Srintil melintas ada bunga waru lepas dari tangkai, menggulir jatuh tanpa bunyi. Serba kuning, kecuali pangkal kelopaknya yang merah tua. Ada ayam betina mengiring anak-anaknya, ada celeret melesat dari pohon ke pohon. Dan Srintil terus berjalan. Goder lekat di dadanya.
 
Seorang yang sedang hanyut dalam gelombang badai dan terapung-apung dalam situasi yang tidak dapat dikenalinya, telah berhasil meraih sehelai papan buat sekadar mengapung. Srintil sudah berhasil meraih harapan bahwa dirinya akan bisa bertahan dari tarikan kenisbian zaman yang akan membuatnya menjadi kerak kehidupan. Hari-hari dalam dunia seorang bocah berusia empat tahun adalah saat pertama buat Srintil menikmati ceria kecambah manusia. Srintil menjual sebuah gelang emas buat keperluan sehari-hari dan buat Goder. Banyak orang bertanya, mengapa Srintil sangat memanjakan anak Tampi itu. Dan Srintil tidak peduli. Sebaliknya Srintil bertanya dalam hati, mengapa orang-orang tidak tahu bahwa dirinya harus rela kehilangan apa saja demi tempat berteduh yang amat dia dambakan. Dan mengapa orang-orang tidak tahu bahwa tempat yang teduh itu hanya bisa dia temui pada cahaya mata seorang anak yang tertawa riang. Hanya tawa riang Goder yang mampu membuat Srintil lupa akan penggal sejarah amat getir yang baru dilaluinya.
 
Berita kepulangan Srintil sudah merambat sampai ke pasar Dawuan melalui celoteh Nyai Kartareja. Orang-orang di pasar itu kemudian melihat buktinya ketika suatu pagi Srintil muncul di sana sambil membopong Goder. Seperti sedang menghadapi sesuatu yang luar biasa orang-orang pasar menyambut kedatangan Srintil dengan perhatian penuh. Tetapi mereka diam. Pertingkahan zaman kala itu memberi norma baru; penampilan yang antusias ketika berhadapan dengan seorang yang baru pulang dari keterasingan adalah tidak sesuai dengan selera suasana. Dan Srintil-lah yang peka terhadap selera suasana di sekitarnya. Maka dia sesungguhnya tidak sekali-kali hendak masuk ke pasar Dawuan bila bukan karena Goder merajuk minta jajan. Bahkan Srintil tidak sekali-kali hendak keluar dari Dukuh Paruk kalau bukan kewajiban melapor ke Dawuan sekali seminggu.
 
Lalu mengapa tak ada orang yang cukup awas terhadap bibir Srintil yang bergetar, tungkai yang bergetar, ketika dia berada di tengah pasar? Mungkin pula tak ada orang mengerti bahwa Srintil merasa tatapan mata orang-orang sekelilingnya seperti serpih bambu yang menusuk jantungnya. Dan apakah Babah Gemuk itu bisa merasakan nestapa dalam jiwa Srintil ketika dia membuka seloroh?
 
"E, kamu longgeng Dukuh Paluk, bukan? E, kamu lama sekali tidak kelihatan. Kamu tetap cantik. Na, aku ada banyak balang bagus. Mau tas, sandal atau hailnet?"
 
"Tidak, Bah. Terimakasih," jawab Srintil sedingin keringat di kuduknya.
 
"Na, kamu tidak pupulan, ya! Haya, olang cantik tidak pupulan. Nanti cantikya ilang. Na, aku ada pupul olang Hong Kong punya. Ada gincu olang Jepang punya. Haya. Mulah-mulah. Nanti aku mau tidul di Dukuh Paluk. He-he-he."
 
Babah Gemuk bergerak hendak menggamit pundak Srintil. Namun tidak jadi karena dia melihat Srintil mendadak berdiri menjadi patung. Matanya menatap dingin, kemudian berlalu menuju arah yang dituntut Goder.
 
Orang-orang pasar, terutama para perempuan, memperhatikan perubahan pada penampilan Srintil. Sanggulnya rendah, sanggul perempuan kebanyakan, sehingga tengkuknya tersembunyi. Dulu Srintil selalu menyanggul rambutnya tinggi-tinggi sehingga tengkuknya, salah satu hiasan kecantikannya, seakan ditawarkan kepada siapa saja yang melihatnya. Kebayanya menutup jauh di bawah pinggul dan kainnya kombor gaya perempuan petani. Tidak ketat dan ketika melangkah betis Srintil tetap tersembunyi di balik kainnya. Dan perubahan yang paling mengesankan orang-orang pasar Dawuan adalah perilaku Srintil. Matanya selalu menghindar dari tatapan orang yang melihatnya. Wajahnya kaku, sungguh-sungguh tanpa senyum.
 
Srintil berada dalam pasar Dawuan hanya sepanjang waktu yang diperlukan untuk membeli jajanan buat Goder. Sekian pasang mata terus mengikutinya ketika Srintil berjalan meninggalkan pasar. Seorang perempuan penjual sirih mendesah, seakan ada beban berat di hatinya.
 
"Tadi, aku ingin memberi dia sirih dan pinang," kata penjual sirih tadi kepada perempuan lain di sebelihnya, "kulihat bibir Srintil sangat pucat. Sehelai daun sirih akan membuat bibirnya semringah, dan itu pantas baginya."
 
"Lho. Lalu mengapa sampean tidak melakukannya?"
 
"Entahlah, Mbakyu. Padahal dulu aku selalu melakukannya bila Srintil datang ke sini. Sekarang aku jadi takut salah."
 
"Bila itu alasan sampean, aku pun sama. Sebenarnya aku ingin juga bertanya sekadar tentang keselamatannya. Tetapi ya itu, entah mengapa aku tidak berani. Bibirku terasa berat. Ah, entahlah."
 
"Dan, Mbakyu. Kita lihat orang-orang lelaki juga tak ada yang bersuara kecuali Babah Gemuk. Mereka tidak seperti biasa, banyak seloroh dan celoteh bila Srintil datang. Kok jadi begini, ya?"
 
"Anu, jadi sampean merasa kasihan kepada Srintil?"
 
Yang ditanya mengerutkan kening. Jawaban yang kemudian diucapkannya adalah suara lirih dan tertahan di rongga mulut.
 
"Bagaimana ya, Mbakyu? Apa tidak salah bila kita merasa kasihan kepada orang seperti Srintil?"
 
"Wah, aku tidak tahu. Ya, barangkali begini. Bagi perempuan yang suaminya pernah menggendak Srintil maka masalahnya menjadi bersahaja; perempuan semacam itu pasti merasa tidak perlu bersikap kasihan terhadap Srintil. Itu layak. Lalu... Ah, sudahlah."
 
Tiba-tiba kedua perempuan itu menjadi sibuk dengan dagangan masing-masing. Mantri pasar lewat mengedarkan karcis kontribusi. Perempuan pedagang sirih buru-buru membuka kocek, lalu menyerahkan sehelai uang kepada mantri dan menerima karcis berwarna kuning. Pasar Dawuan kembali sibuk. Tetapi orang-orang di sana mencatat pagi itu telah datang seseorang yang dulu selalu membawa suasana bergairah dan kini muncul kembali dengan kecompang-campingan jiwa yang tergambar jelas dari segala perilakunya. Demikian compang-camping citra diri Srintil sehingga orang pasar Dawuan atau siapa saja tidak mampu mengambil sikap yang jujur dan wajar terhadap dia yang baru pulang dari keterasingan itu.-bp-
 
 
***
 
 
Dukuh Paruk pada tahun 1969 adalah Dukuh Paruk yang tetap miskin dan bodoh. Dan Dukuh Paruk tiga tahun sesudah dilanda kobaran api adalah tempat terpencil yang kehilangan banyak ciri utamanya. Tak ada lagi suara calung dan tembang ronggeng. Makam Ki Secamenggala yang secara turun-temurun menjadi anutan kehidupan batin orang Dukuh Paruk kelihatan tak terawat. Suara calung, tembang ronggeng serta pemujaan terhadap makam Ki Secamenggala adatah urusan-urusan yang sedang tidak cocok dengan selera kenisbian sejarah. Dukuh Paruk hanya diam menerima perlakuan sejarah. Dan boleh jadi hanya Sakarya yang diam-diam berani mengunjungi cungkup makam di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk itu.
 
Tetapi Sakarya telah merasakan kekalahan hidup yang pasti. Dia merasa peran hidupnya sudah mandul, tanpa arti. Apalah arti perwujudannya apabila Dukuh Paruk tidak lagi memukul calung, tidak lagi menyanyikan lagu-lagu ronggeng karena kedua-duanya akan mengungkit kebencian terhadap Dukuh Paruk. Kedua-duanya tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan yang sedang menghendaki Dukuh Paruk mengaku bersalah karena dianggap ikut berperan dalam keonaran sejarah. Sebagai pihak yang dianggap mempunyai kesalahan historis yang tidak kepalang maka Dukuh Paruk tidak boleh tertawa. Dukuh Paruk mesti diam dan merunduk.
 
Dukuh Paruk tak lagi memerlukan seorang kamitua dalam arti yang sudah mentradisi, demikian pikir Sakarya setiap kali dia termenung di bawah beringin dekat cungkup makam Ki Secamenggala. Makin sering termenung makin kuat keyakinan demikian. Dan tanpa terasa keyakinan itu menggerogoti semangat hidupnya. Suatu hari Sakarya meletakkan sebuah batu di samping cungkup. Kemudian kepada Kartareja dikatakan bahwa di bawah batu itulah nanti dia harus dikubur. Sakarya telah mengundang sugesti bagi kematiannya sendiri. Maut menjemputnya tidak lama kemudian. Sakarya meninggal dalam kekalahan. Dan hanya satu hal yang mungkin dapat membesarkan hati orang tua itu, yakni kenyataan Srintil berada di dekatnya ketika dia meregang nyawa.
 
Kematian Sakarya membuat Dukuh Paruk makin lusuh dan ringkih. Dan Srintil kehilangan payung yang meski telah cabik-cabik tetapi dialah satu-satunya tempat bernaung. Dalam ketiadaan tempat bernaung itu maka kehadiran Goder dalam hidup Srintil menjadi jauh lebih bermakna. Karena Goder menawarkan dunia lain, dunia anak-anak yang teduh dan sejati; jernih, tanpa pamrih, tanpa keserakahan nafsu dan berahi. Dalam mata Goder Srintil tak melihat sedikit pun sisa keonaran sejarah 1965, tak ada tuduhan atau tuntutan apa pun yang ditujukan kepadanya. Goder tidak pernah menghina Srintil dengan lirikan mata atau cibiran bibir. Bagi Srintil, Goder adalah dunia yang mau menerimanya secara utuh dan jujur, maka Srintil amat kerasan tinggal di sana.
 
Lihatlah Srintil yang mulai tertawa karena melihat Goder gagal menangkap capung, dan wajah Srintil yang berseri-seri karena melihat Goder berani menghadapi ayam betina yang galak. Jiwa yang sudah mampu tersenyum dan tertawa adalah jiwa yang mulai menangkap makna kebetahan hidup. Lambat-laun Srintil mulai menangkap kembali bobot kehidupan yang bisa menjadi benih nilai-diri. Lima atau enam bulan sejak kepulangannya dari keterasingan mata Srintil mulai hidup, kulitnya mulai hidup, dan wajahnya mulai hidup. Satu demi satu kepahitan pengalaman sejarahnya terdesak ke alam bawah sadar. Dan meski kegetiran itu tetap menjadi cacat potensial, namun ternyata citra kesegaran raganya mulai bangkit seperti kerakap terkena hujan.
 
Usianya hampir genap dua puluh tiga tahun. Watak alam terlalu perkasa sehingga betapapun hebat tragedi yang baru dialami Srintil, citra kemudaannya masih banyak tersisa. Lalu mengapa ada satu sisi dalam kehidupan ini yang tidak peduli terhadap nestapa seseorang? Bahkan mengapa Srintil sendiri tidak merasa, kesegaran dirinya sedang dinanti seseorang.
 
Suatu pagi Nyai Kartareja berangkat meninggalkan Dukuh Paruk dengan tujuan yang hanya dia sendiri tahu. Di pasar Dawuan Nyai Kartareja naik andong yang akan berangkat ke Wanakeling. Ketika matahari tergelincir, Nyai Kartareja sampai di rumah yang dituju. Tuan rumah baru pulang dari tempat kerja dan sedang berbicara dengan anak gadisnya. Melihat kedatangan Nyai Kartareja, laki-laki setengah baya itu menyuruh anak gadisnya menyingkir.
 
"Oh, orang Dukuh Paruk," sambut Marsusi dengan wajah gembira. "Mari masuk."
 
"Terima kasih. Ah, sampean sudah kelihatan senang begitu. Belum tentu aku membawa kabar baik, bukan?"
 
"Kalau bukan kabar baik, mengapa jauh-jauh sampean datang kemari?"
 
"Wah, aku mengaku kalah."
 
"Begitulah seharusnya. Nah, sekarang katakan. Tetapi lirih saja."
 
"Apa yang harus kukatakan bila sampean sudah mengerti arti kedatanganku?"
 
"Jadi Srintil sudah kelihatan seperti biasa," ujar Marsusi entah untuk siapa.
 
"Masalahnya kukira, tinggal kapan sampean pergi ke sana."
 
"Ke sana? Apakah sampean mengira aku akan pergi ke Dukuh Paruk?"
 
"Apa salahnya, Pak. Sekarang sampean sudah jadi duda. Kukira tidak aneh, seorang duda pergi menemui seorang perempuan yang masih hidup sendiri."
 
"Ya. Tetapi zaman apakah sekarang ini? Tidak, Nyai. Aku ingin bertemu Srintil di luar Dukuh Paruk. Dan kuminta Nyailah yang mengaturnya. Terserah di mana, asal tidak di Dukuh Paruk."
 
"Wah, berat. Berat, Pak."
 
"Tetapi aku percaya sampean bisa. Dan lihat di sana, Nyai."
 
Marsusi menunjuk ke halaman. Ada sepeda motor, bukan sebuah Harley Davidson sisa zaman perang, melainkan sebuah Vespa baru.
 
"Katakan kepada Srintil, bila dia mau motor itu akan menjadi miliknya. Dan aku tidak main-main."
 
Nyai Kartareja mengerutkan kening, kagum mendengar ucapan Marsusi. Pantas, sejak mendengar kepulangan Srintil laki-laki dari perkebunan Wanakeling ini secara teratur meminta keterangan tentang keadaan Srintil, pikir Nyai Kartareja.
 
"Pak Marsusi, sampean sendiri sudah berkata zaman apakah sekarang ini. Aku tidak bisa sebebas dulu lagi. Aku merasa tidak sanggup membawa Srintil keluar dari Dukuh Paruk."
 
"Lho! Jadi dari jauh datang kemari sampean hanya ingin melapor bahwa Srintil sudah bisa tertawa dan badannya sudah segar kembali?"
 
"Oh, tidak hanya itu. Aku juga akan berusaha membujuk Srintil agar dia mau menuruti kemauan sampean. Pokoknya aku bersedia membantu apa saja asal bukan membawa Srintil ke luar Dukuh Paruk. Aku tidak sanggup."
 
"Tetapi aku tak mungkin pergi ke dukuhmu, Nyai. Tak mungkin."
 
"Ah, ya. Aku ingat. Tiap-tiap tanggal satu dan tanggal lima belas Srintil pergi lapor-diri ke Dawuan. Kukira itulah satu-satunya kesempatan bagi sampean menjumpai Srintil di luar Dukuh Paruk. Bagaimana?"
 
Marsusi tidak menjawab. Namun dari wajahnya terlihat pertanda bahwa kebuntuan di hatinya mulai mencair. Dan tangannya kelihatan ringan saja ketika dia memberikan sejumlah uang kepada Nyai Kartareja yang kemudian minta diri.
 
Ketika terjadi kebakaran besar di Dukuh Paruk banyak pepohonan terjerang kobaran api, lalu meranggas dan mati. Ada sebatang pohon pinang di belakang rumah Srintil yang mampu bertahan hidup setelah merana beberapa bulan lamanya. Pelepah-pelepah yang merah terbakar sudah luruh diganti dengan pelepah baru yang hijau dan segar. Kelopak baru merekah menumpahkan mayang seperti pamor putih terurai. Mayang yang lebih tua telah berubah menjadi tandan yang runduk penuh buah pinang. Dari balik kelebatan tandan pinang itu terdengar keresek dua burung kecil yang sedang membangun sarang. Lembar demi lembar daun ilalang yang dicuri dari atap gubuk orang Dukuh Paruk disusun menjadi sebuah dunia kecil yang bersembunyi di ketinggian pohon pinang.
 
Kesibukan sepasang burung kecil itu kadang diselingi oleh sedikit heboh di antara keduanya. Mereka berkejaran dan kawin. Kadang keduanya terbang jauh melintasi sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk buat mencari biji padi-padian. Pulang kembali dengan tembolok penuh tenaga untuk melanjutkan kegiatan mereka hingga datang mambang petang.
 
Tingkah sepasang burung kecil itu sudah beberapa hari menjadi perhatian Srintil. Sambil mengawal Goder bermain Srintil terlalu sering menatap ke atas pohon pinang, memperhatikan sebuah dunia kecil yang damai dan berdaulat; dunia tanpa pengalaman pahit, tanpa ketakutan dan kekhawatiran. Oh, tidak. Sore itu Srintil melihat seekor burung gagak hinggap di atas pohon pinangnya. Burung yang hitam dan besar itu mengobrak-abrik sarang burung kecil karena ingin menjarah telur atau anaknya. Si burung kecil menghindar dan hanya bisa melihat dari jauh dunianya dihancurleburkan. Srintil tergagap dan bangkit hendak menyusul Goder. Tetapi di sampingnya telah berdiri Nyai Kartareja.
 
"E, lha. Ada apa, jenganten? Kok terkejut?"
 
"Ah, anu. Tidak ada apa-apa, Nyai. Aku mau menyusul Goder."
 
"Dia sedang asyik bermain baling-baling. Biarlah dia. Aku ingin bicara. Penting."
 
Srintil menatap Nyai Kartareja dengan mata membulat. Rasa was-was tergambar jelas di wajahnya.
 
"Penting?"
 
"Ya. Penting."
 
"Tetapi tanggal satu yang lalu aku pergi melapor ke Dawuan. Tanggal lima belas nanti pasti aku akan pergi lagi. Yang itu takkan kulupakan. Pasti, Nyai."
 
"E, lha. Yang hendak kusampaikan kepada sampean ini bukan masalah wajib lapor."
 
"Jadi aku tidak salah? Bukan tentang kesalahanku?"
 
"Bukan. Bukan!"
 
Nyai Kartareja memberi kesempatan kepada Srintil menata kembali napasnya yang terengah-engah. Perempuan tua itu cukup bersabar menanti sampai darah yang mendadak lenyap kembali mengisi kulit wajah Srintil. Dan rasa trenyuh tidak terhindarkan karena Nyai Kartareja menyadari betapa ringkih keadaan jiwa Srintil; dia menjadi demikian gugup hanya karena akan disampaikan kepadanya sesuatu yang penting.
 
"Anu, jenganten. Wong aku mau bercerita tentang nasib sendiri. Sejak dulu aku memang sengsara. Tetapi tidak seperti sekarang ini. Dulu, terus terang, aku bisa nunut sampean. Sekarang, jenganten, bagiku soal makan saja adalah perkara yang tidak pasti. Maka aku mempunyai usul, bagaimana bila sampean memberi kesempatan kembali kepadaku, kesempatan numpang penghidupan."
 
"Numpang?" kata Srintil setelah menatap Nyai Kartareja lama dan dalam. "Numpang penghidupan? Bagaimana mungkin karena aku sendiri tidak mempunyai penghasilan apa pun?"
 
"Ah, jenganten, bagaimana juga sampean tidak sama dengan aku. sampean masih muda. Dan siapa bilang sampean tidak cantik? Di mana saja, pada zaman apa saja, perempuan cantik tidak sama dengan perempuan yang buruk, bukan?"
 
"Nanti dulu, Nyai. sampean mau berkata apa sebenarnya?"
 
"Begini, jenganten. Tadi sampean berkata bahwa sampean tidak mempunyai penghasilan apa pun. Maka bagaimana bila sampean berbuat sesuatu agar sampean kembali mempunyai penghasilan seperti dulu. Persoalannya mudah bagi sampean, tinggal mau atau tidak."
 
"Nyai, katakan dengan jelas."
 
"Baiklah. Kemarin aku bertemu dengan seseorang yang sangat berharap bisa sekadar melepaskan kepusingan hidup bersama sampean. Marsusi, jenganten. sampean masih ingat Marsusi, bukan?"
 
Ada segumpal kabut yang tiba-tiba membuat pandangan mata Srintil baur. Ada orong-orong yang masuk ke dalam telinganya lalu berbunyi sekeras-kerasnya. Darah kembali lenyap dari wajah anak Dukuh Paruk itu. Bibirnya yang pucat bergetar. Bintik keringat serta-merta muncul di permukaan kulitnya. Dada Srintil turun-naik menahan pergulatan rasa di dalamnya, antara murka dan penyesalan yang dalam, antara pilu dan kemarahan. Wajah Srintil berubah cepat antara pucat-pasi dan rona kemerahan.
 
"Oalah, Gusti Pengeran," tangis Srintil dalam ratap tertahan. "Nyai, kamu ini kebangeten! Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu? Kamu tidak membaca zaman? Kamu tidak membaca betapa keadaanku sekarang? Oalah, Gusti..."
 
"Eh, sabar dulu, jenganten. Dengar dulu kata-kataku! Siapa bilang ada orang yang tidak mengerti keadaan sampean. Tetapi apakah sampean hanya mau mementingkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang Dukuh Paruk yang hanya bisa nunut sampean?"
 
"Aku memang tidak mau tahu. Orang Dukuh Paruk bisa hidup tanpa bergantung kepadaku. Orang Dukuh Paruk biasa makan iles-iles, bahkan bonggol pisang. Lakukan itu dan jangan meminta aku kembali berbuat kesalahan. Oalah, Nyai. Kamu hanya mengalami dua minggu di tahanan. Sedangkan aku dua tahun. Cukup, Nyai. Cukup!"
 
"Nanti dulu, jenganten. Marsusi sekarang sudah menjadi duda. Dan dia bersedia memberimu sebuah Vespa bila sampean mau. Siapa tahu Marsusi bermaksud mengambil sampean menjadi istrinya. Pikirlah dengan tenang, jenganten."
 
"Tidak, Nyai. Kamu tahu. Aku juga tahu siapa Marsusi. Dan kamu masih percaya ada laki-laki yang mau mengawini perempuan bekas tahanan?"
 
"E, lha, baiklah kalau begitu. Tetapi renungkan, jenganten. Marsusi atau laki-laki mana saja tidak salah bila dia bermaksud mengawini sampean atau sekadar bersenang-senang. Semua orang tahu siapa sampean, bukan?"
 
"Oalah, Nyai, mereka tidak salah. Semua orang tidak salah. Akulah tempat segala kesalahan hidup. Jadi akulah yang harus tahu diri. Semua orang menuntut aku tidak banyak tingkah karena hal itu tidak mereka sukai. Berbuat sesuatu yang tidak mereka sukai samalah artinya dengan melakukan kesalahan. Nyai tahu apa yang akan kutanggung bila aku dianggap kembali berbuat salah?"
 
Nyai Kartareja diam, menutup bibirnya rapat-rapat lalu berjalan meninggalkan Srintil yang masih sibuk mengusap air mata. Ada erosi yang terasa menggerus kesuburan yang mulai bersemi di hati Srintil. Pupus hijau hendak dipatahkan oleh tangan orang Dukuh Paruk sendiri. Srintil memperhatikan Nyai Kartareja dengan pandangan mata masygul dan kecewa, amat kecewa.
 
Oh, Nyai Kartareja. Ketika muda kamu pun pernah menjadi ronggeng seperti diriku, konon. Bedanya dulu engkau seorang ronggeng bobor, tidak laku. Namun mestinya kamu seperti aku, mengenal kelelakian telanjang sejak kita baru mendapat haid yang pertama. Dan aku sudah mengerti laki-laki Dukuh Paruk, laki-laki luar Dukuh Paruk, bahkan laki-laki di tempat keterasingan. Kita sudah sama-sama tahu apa dan bagaimana kelelakian itu. Kini aku dan jiwaku sedang bertanya, apakah kepahitan hidup yang harus kutanggung bukan karena justru aku mengenal terlalu banyak segi kelelakian? Apakah bukan karena aku merasa menjadi duta keperempuanan sehingga aku merasa harus melayani segala kepentingan kelelakian sampai kepada arti yang paling primitif sekalipun? Bukankah karena diriku yang ronggeng, maka sejarah telah membawaku ke puncak ketiadaan makna hidup di tempat terasing?
 
Oh, Nyai Kartareja. Rupanya kamu tidak sedikitpun terusik oleh sekian banyak pertanyaan itu. Kamu bebal. Atau kamu memang tidak peduli akan keperihanku sehingga kamu tega mendatangkan perkara kelelakian telanjang ke hadapanku? Nyai Kartareja, kamu kebangeten. Oalah, Gusti...
 
"Mak menangis? Mengapa Emak menangis?"
 
Suara jernih itu datang dari arah samping belakang. Srintil menoleh setelah berupaya menghapus sisa tangisnya. Kemudian dilihatnya wajah Goder yang mengandung segudang pertanyaan.
 
"Emak menangis? Ada yang nakal, ya?"
 
"Oh, tidak, Nak. Emak tidak menangis."
 
"Tetapi Emak menangis. Siapa yang nakal?"
 
Oh, sepasang bola mata yang bening! Mestikah aku berkata kepadamu, mestikah kukotori kejernihanmu dengan pengakuan bahwa bagiku kehidupan ini penuh kenakalan? Tidak. Duniamu terlalu bersih dan aku tidak akan memperkenalkan kenakalan-kenakalan hidup kepadamu karena aku sangat berkepentingan dengan kesejatianmu agar aku boleh berlindung di dalamnya.
 
Srintil berusaha keras menahan tangisnya lalu mengangkat Goder ke dalam dekapannya. Pintu bambu berderit, Srintil dan Goder lenyap di baliknya. Gubuk ilalang itu kemudian senyap, senyap sekali meski di dalamnya ada dua dunia yang sangat berbeda.-bp-
 
 
***
 
 
Bila sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk sedang memberi harapan panenan yang baik maka siapa mengira di tengah lautan padi menguning itu tersimpan ironi yang sudah turun-temurun. Dukuh Paruk tak pernah ikut panen karena hanya satu-dua orang di sana yang mempunyai sawah, itu pun tak seberapa luas. Setiap musim panen Dukuh Paruk hanya ikut embret, memburuh menuai padi. Dan anak-anak Dukuh Paruk tidak tahu bahwa seharusnya mereka bertanya mengapa orang tua mereka melarat seumur-umur, tidak mempunyai sawah barang secuil. Anak-anak tidak mengerti apa-apa. Mereka hanya tahu musim panen selalu membawa suasana semringah. Adalah kesemringahan yang khas ketika anak-anak perempuan Dukuh Paruk pergi ke sawah mengambil batang padi yang tidak bernas lalu membuat puput. Seruling batang padi yang diberi sistem megafon dari daun kelapa mampu menciptakan kemerduan yang unik. Nadanya bergelombang demikian rupa sehingga amat mudah berbaur dalam desau angin ketika menyapu pepohonan. Iramanya yang tidak mengenal keteraturan tangga nada justru mudah menyatukannya dengan ombak lautan padi yang menggelar hamparan warna dari kuning tua, kuning keemasan dan hijau lembut.
 
Ketika gadis-gadis lain sudah berkenalan dengan permainan buatan pabrik, perawan-perawan kecil Dukuh Paruk tetap akrab dengan ilo-ilo gontho, puput. Mereka tahu suara yang terbaik dihasilkan oleh batang padi wulung. Mereka juga tahu bila menginginkan suara yang lebih nyaring maka puput harus direndam sebentar di dalam air. Dan bila ditiup menentang arus angin, suara puput jadi muncul tenggelam seperti bulan hilang-tampak di balik awan.
 
Seorang lelaki sedang berdiri di bawah pohon di pinggir jalan yang menuju pasar Dawuan. Dari sana dia dapat melihat dengan jelas sosok Dukuh Paruk. Dia juga dapat mendengar suara puput yang sampai ke telinganya bersama kicau burung branjangan dan ciplak. Branjangan berhenti pada titik yang tetap di angkasa, dan kicaunya adalah tiruan yang sempurna suara segala jenis burung yang dinyanyikannya berganti-ganti. Dia bisa berjam-jam tetap di langit sambil terus ngoceh. Hanya bahaya alap-alap yang mampu mengusik branjangan dari tempatnya. Sementara ciplak terbang berputar-putar dan berkicau hanya karena ingin menarik perhatian betinanya. Dia akan menukik tajam bila betinanya sudah memberi tahu di mana dia berada.
 
Tidak jelas apakah lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon itu menaruh minat terhadap alunan suara puput yang ditiup oleh seorang gadis kecil di Dukuh Paruk? Atau, apakah dia terkesan oleh kemeriahan angkasa di atas hamparan padi menguning? Yang pasti Marsusi tak henti-hentinya memperhatikan titik singgung pematang panjang dengan tepian Dukuh Paruk. Dia sedang menanti Srintil keluar untuk pergi melapor ke Dawuan. Dan keberadaan Marsusi di bawah pohon itu adalah bagian dari keputusan yang telah diambilnya melalui pergulatan jiwa yang seru.
 
Marsusi sadar betul akan selera kenisbian sejarah kontemporer yang akan menuding dengan keji lelaki mana saja yang bermaksud menjalin hubungan dengan seorang perempuan bekas tahanan. Marsusi mengerti niat bermanis-manis dengan Srintil akan mengundang risiko dari yang paling ringan berupa cibiran masyarakat sampai yang paling berat berupa goyahnya status sebagai orang penting dalam dinas perkebunan di Wanakeling. Soalnya, Marsusi sungguh rela dikatakan seperti perjaka tanggung yang merasa amat sulit melupakan anak Dukuh Paruk yang selalu berpacak gulu sambil melirik dan tersenyum dalam angannya. Dan kenyataan bahwa dia kini seorang duda benar-benar membuat kenangan itu tumbuh subur.
 
Maka dua hari berselang Marsusi mengambil keputusan yang berani. Didatanginya petugas yang biasa mencatat pelaporan Srintil. Bukan di kantor melainkan di rumahnya. Pada dasarnya mereka sudah saling kenal karena keduanya sama-sama orang kantoran. Lagi pula siapa orangnya di Dawuan yang tidak mengenal Marsusi karena dia termasuk orang pertama yang mampu memiliki sepeda motor di wilayah kecamatan itu.
 
"Njanur gunung, Pak Marsusi, tumben sampean mau menyempatkan diri datang ke rumahku," kata Darman, si petugas. "Mau menawarkan pohon-pohon karet tua yang mau sampean tebang? Kalau demikian, percayalah, aku tidak punya uang."
 
"E, kalau sampean memang memerlukan kayu bakar, jangan khawatir. Besok akan saya kirim satu truk," jawab Marsusi penuh kesungguhan.
 
"Ah, tidak. Aku cuma berolok-olok."
 
"Namun aku tidak menganggap sampean berolok-olok. Besok akan saya kirim kayu bakar satu truk dan gratis."
 
"Lho, aku cuma main-main."
 
"Terserah, tetapi aku bersungguh-sungguh."
 
"Wah, apa boleh buat."
 
"Nah, lebih baik begitu. Karena aku pun amat memerlukan bantuan sampean. Kalau tidak, mungkin aku tidak berada di sini sekarang."
 
"Begitu? Lalu apa kiranya yang bisa kuberikan kepada Pak Marsusi?"
 
Suasana yang cair dan akrab sudah lahir tanpa susah-payah. Tetapi Marsusi tidak segera menjawab pertanyaan Darman. Dikeluarkannya rokok untuk tuan rumah dan untuk dirinya sendiri. Asap segera mengepul seakan menjadi bukti bahwa suasana benar-benar sudah siap menjadi saksi pembicaraan antara kedua lelaki itu.
 
"Begini, Mas Darman. Aku memerlukan sedikit keterangan tentang Srintil," kata Marsusi dengan suara rendah.
 
"Srintil?" tanya Darman. Kepalanya condong ke depan dan matanya membulat.
 
"Betul, Mas. Sampai kapankah kiranya Srintil dikenai wajib lapor?"
 
"Wah, nanti dulu. Mengapa sampean bertanya tentang Srintil?"
 
"Terus terang, ini berhubungan dengan keadaanku yang sudah menjadi duda."
 
"Ah, ya. Lalu mengapa Srintil?"
 
Kata-kata Darman putus dan berlanjut hanya di dalam hatinya; selagi semua orang bekerja keras menghapus jejak koneksitas dengan orang-orang yang terlibat peristiwa 1965, mengapa Marsusi berbuat sebaliknya?
 
"Mas Darman, sesungguhnya aku malu berterus terang. Tetapi bagaimana ya, aku benar-benar tidak bisa melupakannya."
 
"Baik, Pak Marsusi. Asal sampean camkan, situasinya bisa berkembang demikian rupa sehingga dapat menyulitkan diriku."
 
"Oh, aku sadar betul, Mas Darman. Akan kujaga sekuat tenaga agar segala akibat tindakanku, akulah yang menanggung, aku seorang. Sekarang katakan, kapan kiranya Srintil bebas dari kewajiban melapor."
 
"Biasanya sesudah lepas masa satu tahun. Saat ini Srintil baru melewati masa enam bulan. sampean mau mengawininya?"
 
"Sangat mungkin. Dan masa selama enam bulan ini aku bisa mengamati perkembangan. Nah, Mas Darman, sekarang sampean sudah tahu. Maka harap maklum bila suatu ketika sampean melihat aku melakukan pendekatan tertentu terhadap anak Dukuh Paruk itu."
 
"Ya. Namun ingat..."
 
"Oh, itu pasti. Akan kujaga nama dan martabar sampean sebaik-baiknya. Dalam satu segi aku tidak rela dikatakan sudah tua. Sungguh! Tetapi dalam hal menjaga rahasia orang, apalagi dia yang sudah bersedia membantuku, percayalah, aku memang sudah tua."
 
Maka, demikian. Dua hari kemudian Marsusi berdiri di bawah pohon di tepi jalan besar yang menuju pasar Dawuan. Marsusi mengambil sikap demikian rupa sehingga sekilas akan terlihat dia sedang menikmati harapan panen dari sawah yang demikian luas. Namun andaikan burung-burung branjangan mempunyai tingkat kesadaran seperti manusia maka mereka akan melihat Marsusi yang gelisah. Marsusi yang terlampau sering membuang puntung rokok yang masih panjang untuk diganti dengan yang baru. Dan Marsusi merasa telah berdiri satu tahun meski sebenarnya dia belum seperempat jam di sana.
 
Kemudian sebuah titik hitam yang bergerak di tepi Dukuh Paruk membuat Marsusi merasa lega. Titik itu berjalan sepanjang pematang ke arah jalan besar, makin dekat ke tempat Marsusi berdiri. Kian dekat sosok itu makin nyata, dia seorang perempuan. Dan bila ada seorang perempuan yang berkulit bersih keluar dari Dukuh Paruk maka dialah Srintil.
 
Marsusi kelihatan agak gelisah. Tetapi wajahnya terang dan senyumnya terlukis samar. Srintil muncul tanpa embel-embel seorang anak kecil. Hal ini tidak bisa terjadi apabila Nyai Kartareja tidak melakukan tugas yang diberikan Marsusi kepadanya. Belalang dan capung beterbangan di hadapan Srintil yang terus melangkah, dan setengah badannya tenggelam dalam lautan padi. Burung ciplak berteriak-teriak dan terbang berputar-putar. Dia khawatir akan nasib betinanya yang sedang mengerami telur dalam sarangnya tak jauh dari pematang yang dilalui Srintil. Ada hahayaman terkejut lalu melesat menjauh. Namun dalam kegugupannya burung yang berwarna cokelat itu sempat membuang kotorannya sambil terbang.
 
Srintil dan Marsusi tinggal terpisah dalam jarak satu petak sawah. Sementara Marsusi sudah mengenal secara pasti siapa yang datang, Srintil belum memperhatikan secara saksama lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon itu. Srintil baru dapat membaca suasana dengan jelas setelah langkahnya hampir mencapai jalan besar. Lalu tiba-tiba Srintil berhenti. Diperhatikannya dengan perasaan cemas Marsusi yang bergerak mendekat ke mulut pematang.
 
"Ah, kamu agak terlambat. Pak Darman sudah lama menunggu. Aku dimintanya menjemputmu agar cepat. Ayolah."
 
Srintil berdiri seperti tonggak di tengah hamparan
padi kuning yang mengombak. Mulutnya terbuka, kulit dahinya berkerut demi ketegangan jiwa yang mulai terasa. Wajah Srintil kelihatan makin keruh ketika Marsusi maju lagi beberapa langkah sambil melambaikan tangan.
 
"Ayolah, kamu sudah terlambat. Kamu kugonceng supaya cepat."
 
"Aku... aku akan berjalan sendiri, Pak," jawab Srintil terbata.
 
"Eh, jangan menolak perintah karena hal itu tidak baik bagimu. Apalagi bila nanti kamu sampai terlambat. Ayolah."
 
Adalah semua orang Dukuh Paruk termasuk Srintil; mereka tidak tahu apa-apa tentang sistem atau jalinan birokrasi kekuasaan. Dalam wawasan mereka semua priayi adalah sama, yakni tangan kekuasaan. Setiap priayi boleh datang atas nama kekuasaan tak peduli mereka adalah hansip, mantri pasar, opas kecamatan atau seorang pejabat dinas perkebunan negara seperti Marsusi. Dan ketika kekuasaan menjadi aspek yang paling dominan dalam kehidupan masyarakat, orang Dukuh Paruk seperti Srintil tidak mungkin mengerti perbedaan antara polisi, tentara atau pejabat perkebunan. Semuanya adalah tangan kekuasaan dan Srintil tidak mungkin bersikap lain kecuali tunduk dan pasrah. Apalagi dalam kata-kata Marsusi terselip nada ancaman. Maka Srintil perlahan-lahan dan gamang mulai bergerak. Sambil menatap kakinya yang basah oleh sisa-sisa embun pagi di rumput pematang Srintil berjalan mengikuti Marsusi. Motor dihidupkan, kemudian Srintil mendapat tawaran yang amat ramah.
 
"Naiklah."
 
Srintil menarik napas panjang sebelum akhirnya dia mengalah terhadap tawaran Marsusi. Duduknya tegar dan janggal karena Srintil tidak terbiasa membonceng sepeda motor. Atau karena hatinya tetap tidak mau berdekatan dengan Marsusi.
 
Jarak dua kilometer sampai ke kantor instansi di mana Srintil harus melapor setiap dua minggu hanya ditempuh dalam beberapa menit. Namun Srintil merasa telah menempuh masa berbulan-bulan lamanya. Dalam masa itu dia melihat orang-orang yang terperangah dan bertanya, "Srintil sudah mulai berani pelesiran? Apakah Srintil tidak khawatir akan diciduk kembali?"
 
Ketika lewat di depan pasar Dawuan Srintil melihat 'kehidupan bebas' tercengang. Kehidupan bebas seakan tersinggung pada titiknya yang paling peka. Mereka yang menghendaki Srintil tetap melata dan meratap sebagai pengakuan bersalah terhadap kehidupan, terkejut dan terperangah melihat Srintil bergoncengan dengan seorang laki-laki. Melalui tatapan mata yang tajam mereka menilai sikap Srintil sebagai perilaku sembrono, tidak tahu diri. Srintil telah berbuat sesuatu yang menantang selera kenisbian sejarah.
 
Atau, apakah Srintil tahu siksaan hebat pada jiwanya hanya disebabkan oleh dramatisasi yang dilakukan oleh hatinya sendiri? Memang, orang belum lupa bagaimana Srintil menjadi ratu panggung dalam rapat-rapat propaganda yang menyebabkan khalayak mabuk, lalu mereka menyerbu sawah dan merojeng padi, tak peduli entah milik siapa. Orang juga tidak lupa bahwa pada beberapa peristiwa perojengan padi telah jatuh korban, beberapa petani pemilik sawah jatuh terkapar dalam upaya mempertahankan milik sah mereka. Srintil tidak mungkin membebaskan diri dari keterlibatan moral dalam peristiwa semacam itu. Dan puncaknya adalah usaha penjungkirbalikan secara total seluruh tatanan kehidupan oleh orang-orang seperti Bakar pada bulan September 1965. Padahal setiap orang sudah mencatat dengan guratan yang dalam bahwa Bakar yang telah mati diamuk masa itu demikian menyatu dengan ronggeng Dukuh Paruk pada tahun-tahun menjelang 1965.
 
Kemudian, apakah sejarah hanya bertingkah melalui panglima tunggalnya yang bernama kekuasaan? Mestinya, tidak. Tetapi Srintil tidak akan pernah mampu tahu. Dia tidak tahu, selain mempunyai panglima, sejarah juga punya nurani yang seperti demikian adanya, tidak pernah muncul dalam bentuk hura-hura, tidak resmi-resmian, tetapi kukuh duduk dan tak pernah berhenti bertembang tentang keberimbangan hidup. Tembang nurani sejarah mungkin tampil sebagai tangis seorang bayi yang merengek dan merajuk, mengapa tetek emaknya kempis. Mungkin juga muncul sebagai air mata beberapa perempuan di pasar Dawuan yang trenyuh ketika melihat keberuntungan Srintil yang diberi beban terlalu berat bila dibanding dengan keringkihan pundaknya. Nurani sejarah bisa juga menampakkan diri sebagai falsafah orang-orang bersahaja yang suka berkata, "Aja dumeh maring wong sing lagi kanggonan luput," jangan bersikap sia-sia terhadap mereka yang sedang terjebak dalam kesalahan.
 
Tidak. Srintil tidak akan punya kesadaran sampai ke sana. Srintil merasa hanya punya satu kesadaran bahwa pakem hidup yang harus dijalaninya ialah peran dalam sisi aib kehidupan. Sampai kapan, Srintil tidak tahu. Rahasianya mungkin terletak pada arah obah-mosiking zaman, perkembangan sang waktu sendiri. Maka ketika sang waktu menuntutnya memikul beban sejarah, Srintil hanya pasrah. Bagi anak Dukuh Paruk ini beban sejarah ialah keharusan melata-lata di hadapan 'martabat kehidupan', menyesali diri secara habis-habisan, jangan sekali-kali berjalan dengan meluruskan leher, serta lihat-lihatlah apakah kehidupan berkenan memberi izin bila sesekali Srintil ingin tersenyum.
 
Sejak dibebaskan dari tahanan enam bulan yang lalu Srintil sudah sebelas kali memhuat cap jempol di hadapan Darman. Sudah sekian kali pula dia berhadapan langsung dengan wajah penguasa sejarahnya. Namun setiap kali datang melaporkan diri selalu saja ruas-ruas tulang kakinya gemetar. Padahal orang-orang seperti Darman bukan mesin, tentu saja.
 
Selorohnya mulai muncul. Dan ketika menuntun tangan Srintil membubuhkan cap jempol, tangan Darman tidak pernah jujur. Kecuali hari itu ketika Srintil datang bersama Marsusi, sikap Darman sungguh resmi. Mungkin karena Marsusi benar-benar melaksanakan kata-katanya, mengirim satu truk kayu bakar ke rumah Darman.
 
Selesai dengan urusan cap jempol, Srintil minta diri. Caranya, Srintil menekuk lutut dalam-dalam di hadapan para petugas dengan wajah yang sungguh-sungguh menghinakan diri. Kemudian Srintil melangkah ke luar dan Marsusi menghentikannya.
 
"Nanti dulu. Kamu akan kuantar sampai ke tempat semula."
 
"Terima kasih, Pak. Aku biasa pulang seorang diri."
 
"Ah, lebih baik ikut Pak Marsusi," sela Darman. "Silakan. Membonceng Vespa baru pasti enak. Ya, kan?"
 
Srintil bingung seperti munyuk dirubung orang. Kemudian demi anu atau demi satu truk kayu bakar maka Dirman mengambil kata putus,
 
"Bila aku yang menyuruh kamu membonceng Pak Marsusi, apakah kamu masih menolak juga?"
 
Wajah yang bingung itu serta-merta berubah menjadi topeng yang penuh garis-garis ketakutan. Srintil terpaku dan hanya bergerak karena kemudian Darman memberi perintah dengan goyangan dagunya. Sementara Marsusi berjalan sebagai prajurit yang menang perang. Sebuah adegan yang berulang, Srintil duduk kaku di jok belakang motor Marsusi. Ketika motor sudah berjalan tubuh Srintil menjadi bagian yang terpisah dari sesuatu yang bergerak. Punggungnya condong ke belakang dan kedua tangannya bertumpu seperti orang yang akan mencari posisi duduk tetapi tak pernah mantap. Pandangan mata Srintil tertuju ke bawah sehingga dunia dirasakannya lari ke belakang dengan cepat.
 
Sejak meninggalkan halaman kantor Darman, Marsusi masih tetap pada tujuan yang sudah direncanakannya. Dia sudah menemukan tempat di belakang pasar Dawuan, tempat dari mana arus informasi kepentingan-kepentingan asusila terpusat. Marsusi sudah mempunyai ketetapan di tempat itu dia akan berbicara dengan Srintil. Marsusi akan meminta semuanya dengan menanggung segala risiko. Atau Marsusi akan meminta sedikit saja, namun rela memberi banyak.
 
Namun ketika perjalanan hampir mencapai sebuah simpang tiga ada pikiran baru yang membuat Marsusi mengambil keputusan mendadak. Dibelokkannya motornya ke kiri, masuk ke jalan kecil yang menuju daerah perkebunan karet Wanakeling. Ketika 'barang' yang sangat diinginkannya sudah berada di tangan, mengapa tidak langsung membawanya pulang ke rumah? pikir Marsusi.
 
Srintil yang sejak semula mengira hendak diantar sampai ke ujung pematang yang menuju Dukuh Paruk, langsung merasa adanya penyimpangan. Mulutnya bergerak-gerak, namun kata-katanya tak kunjung keluar.
 
"Mau... mau... mau ke mana, Pak?"
 
"Ah, tenanglah. Kita mau pulang."
 
"Pulang ke mana?"
 
"Ke Wanakeling. Lho, ke mana lagi?"
 
"Pak..."
 
"Tenanglah. Aku bukan tukang culik. Kita ke Wanakeling dulu. Nanti kamu kuantar kembali ke Dukuh Paruk."
 
"Aku... aku tidak mau, Pak. Aku ingin segera pulang."
 
"Dengarlah. Aku ingin berbicara kepadamu dan ini bukan perkara main-main. Nyai Kartareja pernah berkata sesuatu kepadamu, bukan?"
 
"Tetapi aku tidak mau."
 
Srintil menghentak-hentak dalam duduknya sehingga motor baru itu oleng.
 
"Berhenti, Pak! Aku mau turun di sini. Berhenti, Pak!"
 
"Eh, jangan goyah. Nanti jatuh."
 
"Aku tidak mau ikut sampean. Berhenti, Pak!"
 
"Nanti dulu. Kamu belum mendengar apa yang hendak kusampaikjn padamu."
 
Beberapa kali Srintil berusaha terjun. Namun setiap kali diurungkannya; batu-batu di atas jalan pegunungan itu bergerak seperti mata gergaji besar yang akan menggorok apa saja yang jatuh ke permukaannya. Akhirnya Srintil pasrah. Duh, Gusti, apa lagi yang akan kutanggung?
 
Jalan pegunungan itu kini menembus hutan jati. Pepohonan berdiri tegar dan tumbuh rapat, dan kelihatan angkuh terhadap pohon-pohon kecil di bawahnya. Cabang-cabangnya tumbuh ke segala arah untuk menangkap semua sinar matahari dan membiarkan pakis-pakisan hanya hidup dalam sinar temaram sepanjang hari. Kepongahan. Relung-relung pakis itu hidup di bawah kepongahan pohon-pohon besar.
 
Lalu mengapa acap terjadi sebuah hasrat besar atau rencana besar tidak mencapai tujuan hanya karena sebuah perkara kecil yang tidak pernah masuk hitungan? Seorang prajurit perkasa bisa mati di tengah peperangan bukan karena peluru lawan, melainkan oleh gigitan ular yang kelihatan demikian lemah. Dan hasrat Marsusi untuk membawa Srintil ke Wanakeling gagal hanya karena kecerobohannya mengendalikan sepeda motor. Ketika melewati ruas jalan yang sangat rusak motor baru itu kelihatan melompat-lompat dalam kecepatan yang berubah-ubah secara dramatik. Pada suatu saat yang amat singkat pantat Srintil terangkat karena guncangan, dan pada saat yang amat singkat itu Marsusi menarik gas. Motor melesat dan Srintil sejenak mengapung di udara. Sesuatu yang sejak semula terpisah jadi benar-benar berpisah. Pantat Srintil tidak jatuh kembali ke atas jok melainkan terhempas ke permukaan jalan. Tubuh Srintil terbanting dan berguling-guling, sementara Marsusi terus melaju karena tidak tahu sesuatu telah terjadi di belakangnya.
 
Mula-mula Srintil marasa ribuan batang pohon jati berputar cepat mengelilingi kepalanya. Putaran itu makin melambat dan akhirnya berhenti tinggal menjadi sosok hutan yang bergoyang. Srintil menoleh ke kiri dan masih melihat di kejauhan Marsusi dan motornya menghilang di balik tanjakan. Srintil berusaha bangkit dan kakinya terasa sakit. Ketika dilihat, ada luka berdarah pada mata kaki serta lutut kirinya. Di telapak tangan ada kerikil kecil menancap. Dan darah menitik ketika kerikil itu terlepas. Perih.
 
Setelah berhasil mengembalikan ketenangannya Srintil melangkah ke pinggir. Tak terlihat seorang manusia pun di jalan kecil yang menembus hutan jati itu. Namun yang pasti Srintil sadar harus menggunakan kesempatan kebebasan yang tak sengaja telah diperolehnya. Nalurinya mengajarkan, Marsusi akan segera berbalik dan mencari Srintil begitu dia tahu jok belakang motornya telah kosong. Namun dengan kaki yang terasa amat sakit Srintil tidak mungkin segera berjalan pulang ke Dukuh Paruk. Apabila hal itu dilakukannya, bahkan misalnya dengan kaki yang sehat, Marsusi pasti akan bisa menyusulnya.
 
Maka Srintil berjalan terpincang-pincang menjauhi jalan, dan di suatu tempat dia melihat lorong setapak yang masuk ke hutan jati. Lorong itu pastilah jalan para pencari kayu karena Srintil sudah mendengar suara mereka. Tak lama kemudian kelihatan dua perjaka tanggung menuruni bukit membawa sepikul kayu bakar. Seorang lagi di belakang mereka memikul dua gulung daun jati. Ketika berpapasan mereka berhenti dan memandang Srintil dengan heran. Di antara para pencari kayu atau daun jati ada beberapa perempuan. Tetapi ketiga perjaka tanggung itu belum sekali pun pernah melihat Srintil berada di tengah hutan jati.
 
"Eh, rasanya aku pernah mengenal perempuan itu. Tetapi siapa, ya?"
 
"Aku ingat. Dia ronggeng Srintil. Mula-mula aku pangling. Tetapi akhirnya aku kenal dengan pasti. Dia orang Dukuh Paruk yang dulu sering meronggeng."
 
"Oh, ya! Aku jadi ingat sekarang. Tetapi mau ke mana dia? Dan mengapa jalannya terpincang-pincang?"
 
"Benar. Kukira dia memang ronggeng Srintil. Maka, ayo kita ikuti dia. Kayu bakar dan daun jati bisa kita tinggal sebentar di sini. Mari, kita lihat pertunjukan yang menarik!"
 
"He, kamu ngomong apa? Apa Srintil mau meronggeng di tengah hutan?"
 
"Tolol! Kamu rupanya lupa akan munyuk-munyuk jantan di atas pohon jati besar dekat jurang sana."
 
"Ah, ya. Munyuk-munyuk itu menjadi cabul bila meihat orang perempuan. Dan kini yang akan mereka lihat adalah Srintil yang cantik. Ayo, kita naik lagi."
 
"Bila kalian anak munyuk maka kalian senang melihat ulah konyol munyuk-munyuk di pohon jati itu. Silakan, Anak munyuk. Aku sendiri mau pulang."
 
Cincong antara ketiga perjaka tanggung itu ternyata hanya menghasilkan gelak yang panjang. Mereka meneruskan perjalanan menuruni bukit dan ingatan mereka tetap pada munyuk yang cengar-cengir, munyuk yang menggeram dan membuat gerakan-gerakan yang amat tidak senonoh. Ulah munyuk-munyuk itu bagi para pencari kayu menjadi bukti akan kebenaran dongeng sensasional bahwa suatu ketika pernah terjadi perkosaan antarjenis. Sekelompok bangkokan, munyuk besar, beramai-ramai menjagal seorang perempuan lalu menggagahinya. Dan bagi orang-orang bersahaja seperti para pencari kayu itu, tiadalah beda antara dongeng dan kisah nyata. Kedua-duanya menyatu sebagai kebenaran dalam mitos yang sulit diganggu gugat.
 
Srintil merasa heran ketika menyadari dirinya sedang duduk tanpa teman di tengah hutan jati. Namun kebisuan alam cepat membawa Srintil kembali mengenal suasana di luar dan di dalam dirinya sendiri. Di sekelilingnya adalah pohon-pohon besar yang sejenis, jati. Dan di bawah pohon-pohon besar itu tumbuh sekian banyak tetumbuhan kecil yang tak terhitung jumlahnya, dari lumut yang menyelimuti batu dan kulit kayu hingga berbagai jenis paku-pakuan yang menutup lereng-lereng jurang. Dari tanaman perdu dan gelagah sampai tumbuhan merambat yang sulurnya membuat jalinan ruwet, seruwet akar-akaran yang merayap di permukaan dan yang menghunjam tanah.
 
Ketika angin bertiup jutaan daun jati saling bergesek membuat deru yang berirama. Semuanya bergoyang. Tetapi pada ketika itulah Srintil menangkap makna kebersamaan yang amat mengagumkan. Kebersamaan yang berimbang, yang mungkin sudah mulai disusun sejak ribuan juta tahun yang lalu. Setiap sulur muda tidak gagal meraih ruang hidup meski harus menembus jalinan sesama yang demikian canggih, setiap ujung akar tidak gagal mencapai tanah. Ada beringin kecil tumbuh di atas batang pohon yang lapuk. Dan roh kebersamaan memberi kesempatan sehingga akar beringin kecil bisa merayap mencapai tanah. Dedaunan tersusun demikian rupa sehingga sinar matahari atau biasnya menjamah rata.
 
Angin kembali bertiup, kini disertai bunyi daun-daun yang luruh. Kerotok suara burung pelatuk dari kejauhan. Dan suara seorang pencari kayu yang terdengar sayup. Srintil menegakkan kepala. Itu suara tembang seorang amatiran yang menirukan kutut manggung. Entah mengapa Srintil merasa tersentak. Bukan karena dia juga hafal lirik lagu itu, bukan pula suara si pencari kayu demikian jelek dan acak-acakan, tetapi karena tiba-tiba Srintil merasa ada sesuatu yang sangat menarik berkaitan dengan keresahan jiwanya.
 
Gending Kutut Manggung adalah sebuah langen swara berahi yang digubah demikian halus, penuh selera estetik dan jelas sekali lahir dari wawasan tentang kehidupan yang mendasar. Kutut manggung adalah penghayatan atas naluri keprimitifan berahi dalam tertib nilai tertentu sehingga terjadi beda antara berahi manusia dan berahi munyuk. Dia bertanggung jawab dan memiliki arah yang pasti yakni garis perhubungan antara manusia dan selera Penguasa Alam. Dia halus sehingga hanya orang dewasa tertentu bisa mengerti apa yang dimaksud wis wayahe lingsir wengi, perkutute arsa muni atau perkutute njaluk ngombe. Kutut manggung adalah pelukisan hasrat perhubungan ragawi antara lelaki dan perempuan dalam wawasan tertib kosmik; bahwa si lelaki dan si perempuan adalah suami-istri, dan bahwa motivasi perhubungan ragawi itu adalah upaya mencapai tata-raharjaning bangsa manusia yakni keselarasan hidup.
 
Namun wawasan berahi kutut manggung juga memberi tempat kepada aspek 'humaniora', sehingga meski kudus dan sakral maka perhubungan berahi yang tertib itu masih juga mengandung kadar kegenitan. Maka ada anggunge memanas ati, yakni pergombalan yang merangsang hati. Juga dalam senggakan kutut manggung ada warna kemesraan, namun dalam gaya euphemisme sehingga wilayah kecabulan tak perlu terjamah.
 
Dalam pengertian yang tidak begitu mendalam Srintil mengerti penghayatan berahi menurut persepsi kutut manggung karena Nyai Kartareja pernah mengatakannya. Nyai Kartareja berbuat demikian untuk mengajari Srintil tentang perbedaan antara penghayatan berahi menurut versi kutut manggung dan versi ronggeng. Dulu Srintil sangat percaya bahwa penghayatan versi ronggeng adalah lebih unggul karena tiadanya tertib susila sehingga wilayah penghayatannya adalah kelelakian secara umum, bukan kelelakian dalam diri seorang lelaki tertentu. Karenanya dulu Srintil yakin menjadi seorang ronggeng lebih terhormat daripada menjadi seorang perempuan somahan. Namun penghayatan dan aktuasi berahi gaya ronggeng yang longgar, kasar, dan mentah tidak mengarah kepada keselarasan hidup. Bahkan ternyata peronggengan telah membawa Srintil ke rumah tahanan selama dua tahun. Selama itu Srintil kehilangan kediriannya hampir secara mutlak, dan setelah bebas jiwanya masih terkerangkeng entah sampai kapan. Kerangkeng yang hanya mungkin terkuak apabila Srintil bisa membuktikan dirinya bukan lagi duta keperempuanan bagi kelelakian yang umum dan telanjang, melainkan duta keperempuanan bagi seorang lelaki tertentu yakni suami.
 
Potongan-potongan lirik Gending Kutut Manggung masih terdengar, baur dalam desau angin dan suara burung-burung. Srintil tidak lagi menegakkan kepala. Dia menunduk, pikirannya penuh dengan khayalan indah tentang seorang perempuan yang mendapat sebutan ibu rumah tangga, seorang perempuan yang rela dan sadar hanya mengikatkan diri kepada seorang lelaki. Indah, karena Srintil sungguh tidak mendengar ada seorang perempuan yang mengalami kepahitan dalam penjara karena dia memilih peran hidup sebagai ibu rumah tangga. Indah, karena Srintil belum pernah mendengar cerita tentang perempuan yang tersisih menjadi aib kehidupan karena dia menjadi istri seorang lelaki.
 
Srintil mengangkat muka dan jauh di sana kelihatan olehnya pucuk daun aren yang baru mekar. Kuning muda, dan kesegarannya terlihat kontras dengan warna sekelilingnya. Ada alap-alap terbang mengitari pohon aren itu, barangkali sedang mengintai mangsa yang bersembunyi. Mata Srintil mengikuti alap-alap yang terus berputar. Lama-lama matanya hanya menangkap pandangan yang serba samar, sampai muncul sebuah bayangan yang jelas. Rasus. Mengapa kira-kira dua belas tahun yang lalu ketika masih sangat muda, Rasus sudah tidak setuju aku menjadi ronggeng? Mungkin Rasus hanya ingin membela kepentingan pribadi. Tetapi mungkinkah pikiran Rasus itu adalah duta nurani kehidupan karena ronggeng Dukuh Paruk sesungguhnya tidak selaras dengan maksud tertinggi kehidupan? Tiba-tiba Srintil menutup wajah dengan tangan karena jawaban atas pertanyaannya sendiri adalah rekaman amat pahit pengalaman selama dalam tahanan, perilaku kenisbian sejarah yang telah meruntuhkan bangunan kediriannya, perilaku para pengejawantah kewenangan yang telah meluluhkan martabat kemanusiaannya.
 
Ada seberkas sinar matahari menerobos kerimbunan hutan jati dan jatuh ke tubuh Srintil. Pepohonan sudah membentuk bayangan di timur, dan Srintil ingin pulang. Orang Dukuh Paruk pasti sudah cemas karena mengira dirinya ditahan kembali. Goder tentu menangis karena jajan yang ditunggunya tidak kunjung tiba. Tetapi Srintil tidak yakin apakah dalam perjalanan pulang nanti takkan berjumpa Marsusi. Dan kakinya terasa nyeri, padahal Srintil terpisah tujuh kilometer dari Dukuh Paruk.
 
Srintil bangkit, berjalan menuruni lorong setapak menuju jalan pegunungan yang membelah hutan jati. Dia tidak tahu pasti apa yang bakal dialaminya sebelum sampai ke Dukuh Paruk. Mungkin akan bertemu kembali dengan Marsusi atau akan tergeletak tak kuat berjalan. Yang jelas Srintil mendadak berhenti ketika dia baru mencapai satu turunan. Di depan sana ada seorang lelaki yang sedang menaruh sepeda motor di bawah bayangan pohon, kemudian berdiri bertolak pinggang dan matanya menyapu tepian hutan jati. Marsusi telah mendapat keterangan dari tiga orang pencari kayu tentang jalan yang harus ditempuh untuk menemukan tempat di mana Srintil berada. Perburuan segera bermula karena Marsusi melihat sosok yang bergerak tergesa-gesa dan menjauh.
 
Suasana hutan jati merangsang naluri primitif tentang perburuan. Jantung Marsusi berdenyut keras dan menimbulkan semangat binatang jantan raja rimba. Wajahnya berubah beringas dan keringat dengan cepat membasahi kulitnya. Meskipun bibir Marsusi tersenyum tipis tetapi pandangan matanya keras. Langkahnya perkasa diiringi suara daun kering arau bekicot yang terinjak sepatu kanvas. Dan Marsusi adalah laki-laki yang amat berpengalaman berjalan di hutan.
 
Sejak mengetahui Srintil lenyap dari jok belakang motornya, berbagai perasaan memusingkan kepala Marsusi. Yang pertama terbayangkan oleh Marsusi adalah Srintil yang terjatuh dan cedera berat. Ini kecerobohan yang memalukan dan sedikit-banyak bertentangan dengan citra keperwiraan seorang lelaki, sekaligus mempersulit kedudukan Marsusi sendiri. Namun Marsusi merasa tidak bisa berbuat lain kecuali menemukan kembali Srintil dengan segera buat meralat kecerobohannya, tanpa sedikit pun niat hendak mengubah niat semula.
 
Namun ternyata yang dihadapinya adalah lain. Tiga perjaka tanggung itu memberi kesaksian bahwa Srintil tidak cedera berat, hanya jalannya jadi pincang. Dan kenyataan lain, Srintil menghindar. Lalu mengapa orang harus heran tentang hati yang semula mengandung penyesalan dan rasa tanggung jawab tiba-tiba berubah menjadi liar. Andaikan Srintil tidak lari menjauh, sesungguhnya Marsusi akan bersikap lembut dan siap dengan segudang permintaan maaf. Tetapi karena Srintil menghindar maka dalam sekejap Marsusi berubah menjadi pemburu yang sangat bergairah karena sudah melihat mangsanya bergerak.
 
"Srintil! Tunggu. Mau ke mana, kau?"
 
Meski luka di kakinya terasa amat sakit karena tergesek belukar Srintil terus maju, kemudian melingkar ke kanan menuruni tebing menuju jalan. Ada petunjuk dari antah-berantah yang mengajari Srintil bahwa dia tidak mungkin bergerak lebih cepat dari Marsusi dan sesaat lagi dia bakal tersusul. Petunjuk itu juga mengatakan bahwa tak ada sesuatu yang bisa mencegah apa pun niat Marsusi kecuali langit dan matahari. Maka Srintil harus berusaha sekuat tenaga mencapai tempat terbuka sebelum Marsusi menangkapnya. Jalan pegunungan!
 
Sementara itu Marsusi yang sudah berubah sepenuhnya menjadi seorang pemburu, makin bergelora karena Srintil tidak mengacuhkan panggilannya. Harga dirinya tersinggung, dan segala hasratnya menjadi demikian sederhana; menguasai Srintil dalam kesunyian hutan jati, kemudian persoalannya menjadi sederhana pula. Tetapi Marsusi membuat kekeliruan. Disangkanya Srintil akan bergerak lebih jauh masuk ke dalam hutan. Maka Marsusi terus menaiki lorong setapak dengan harapan bisa memotong lintasan pelarian buruannya. Dari ketinggian tertentu Marsusi berhenti untuk mengamati situasi perburuan. Dan terkejut setelah menyadari goyangan-goyangan semak yang diretas Srintil bergerak mendekati jalan. Marsusi berbalik menuruni lorong tetapi terlambat, jarak yang memisahkan dirinya dengan Srintil sudah terlalu jauh.
 
Ketika mencapai jalan pegunungan Srintil sudah kehabisan tenaga. Rasa sakit sudah tidak tertanggung sehingga Srintil jatuh terduduk tepat di tengah jalan. Langit dan matahari menyaksikan tangisnya. Langit dan matahari menyaksikan luka pada lutut dan mata kaki Srintil bertambah parah. Darah mengalir lebih banyak.
 
Marsusi muncul dua menit kemudian. Seorang pemburu telah melumpuhkan mangsanya. Bangga karena merasa menang membuat langkah Marsusi kelihatan gagah. Namun kebanggaan itu sirna secara mendadak ketika Marsusi melihat dari dekat sosok buruannya. Srintil duduk bersimpuh di tengah jalan menghadap matahari yang sudah condong di barat. Kainnya cabik-cabik dan dibiarkan tersingkap sampai ke pahanya. Hasrat kebinatangan Marsusi sempat tepercik namun segera padam karena ada darah mengalir dari dua luka di kaki Srintil.
 
Siapa melumpuhkan siapa? Marsusi telah melumpuhkan Srintil atau Marsusi telah dilumpuhkan oleh kadar kemanusiaannya sendiri? Atau menurut moral perburuan sendiri, seorang pemburu sejati pasti akan kehilangan keberingasan bila menghadapi binatang buruan yang lumpuh dan merintih-rintih menahan sakit. Dan tetes-tetes darah itu mulai membentuk genangan di atas batu.
 
Marsusi tertegun. Ombak yang bergelora telah berubah menjadi riak-riak kecil namun tetap tidak bisa tenang. Kemudian Marsusi melihat sekeliling, mungkin karena tak ingin kegagapannya disaksikan orang. Lengang. Kecuali seekor burung tlimukan yang melintas cepat menyeberang udara terbuka lalu lenyap di tebing jurang. Suara angin dan suara burung prenjak yang sedang berkejaran. Wajah Marsusi kusut dan kendur. Darah itu. Marsusi mengeluarkan sapu tangan. Dia sangat ingin memberikan jasa membersihkan luka di kaki Srintil. Tetapi Srintil beringsut menjauh lalu membersihkan sendiri darahnya dengan ujung kain.
 
"Srintil, mari. Kamu kuantar pulang ke Dukuh Paruk," kata Marsusi dengan suara tenggorokan. Setengah menit menunggu jawaban Srintil terasa amat lama.
 
"Tidak. Aku akan tetap duduk di sini. Berbuatlah sesuatu kepadaku di sini mumpung langit dan matahari menyaksikan sampean, Pak Marsusi..."
 
Srintil melihat seseorang mengendarai sepeda datang dari barat, dan Marsusi pasti tidak melihat karena membelakangi.
 
"Pak Marsusi, sampean lihat sendiri kakiku luka. Dan seluruh badanku terasa sakit. Aku sudah tidak bisa berbuat sesuatu meskipun misalnya sampean sangat menghendakinya."
 
"Ya, ya. Maka mari pulang. Kamu tidak mungkin berjalan sendiri."
 
"Pak Marsusi, aku minta sampean membiarkan aku pulang sendiri."
 
Laki-laki pengendara sepeda yang membawa dua gulung daun jati pada bagasinya terheran-heran melihat adegan di hadapannya. Lebih heran lagi karena seorang perempuan yang sedang bersimpuh di tengah jalan memintanya berhenti.
 
"Kang, sampean mau ke mana?"
 
"Lha, aku ya mau pulang."
 
"Ke mana?"
 
"Lha, ya ke Pecikalan. Aku kan orang Pecikalan. sampean orang Dukuh Paruk, kan?"
 
"sampean mengenal aku?"
 
"Lha, siapa yang tidak mengerti sampean?"
 
"Kebetulan, Kang. Aku minta dengan sangat sampean mau menolongku. Mau?"
 
"Menolong bagaimana?"
 
"Antarkan aku pulang ke Dukuh Paruk. sampean tidak malu menggoncengkan aku?"
 
"Lha, aku kan Partadasim. Aku orang Pecikalan."
 
"Iya. Aku kan Srintil, orang Dukuh Paruk. Kita satu kelurahan. Maka aku minta tolong kepada sampean. Mau, kan?"
 
"Ya mau saja. Lalu apa tidak salah, karena sampean
kan ... kan... kan..."
 
"Tidak! Tidak salah," potong Marsusi yang sejak tadi merasa terkunci mulutnya. "Orang Pecikalan harus mau menolong orang Dukuh Paruk."
 
"Ya, ya. Tetapi mengapa harus aku? Bapak sendiri bagaimana? Dan apa sebenarnya yang telah terjadi?"
 
"Ah, begini, Kang Parta," ujar Srintil. "Tadi aku sedang berjalan di sini. Tiba-tiba ada seekor kerbau lari. Aku takut dan lari ke pinggir. Kemudian aku jatuh. Bapak ini sudah cukup menolongku dengan menemani aku sampai kamu datang."
 
"Ya, ya."
 
"Nah, bawalah Mbakyu Srintil ini ke Dukuh Paruk. ini, kamu saya beri upah," kata Marsusi sambil menyodorkan lembar-lembar ribuan. Partadasim terperangah.
 
"Lho, Bapak ini bagaimana? Aku kan Partadasim orang Pecikalan."
 
"Aku sudah tahu. Mengapa?"
 
"Aku tidak minta upah. Aku sudah cukup senang berkesempatan menggoncengkan ronggeng Dukuh Paruk karena aku sudah lama memimpikannya. Tetapi, betul, kan? Aku tidak salah? Kalau aku ditangkap karena menggoncengkan orang yang ter... ter... terlibat, Bapak yang bertanggung jawab, kan?"
 
"Tentu. Kamu boleh mengatakan kepada siapa saja, akulah yang menyuruh kamu menggoncengkan Srintil."
 
Dengan susah-payah Srintil berhasil duduk di bagasi sepeda Partadasim. Kedua kakinya setengah berselonjor di atas gulungan daun jati. Meski kelihatan janggal namun Srintil malah senang karena posisi demikian sedikit mengurangi rasa sakit pada lukanya.
 
Burung brondol sudah beberapa kali menetaskan telur di dalam sarangnya. Setiap kali hendak menetaskan telur yang baru, dicurinya lembar-lembar atap ilalang rumah Sakum untuk menambal-sulam sarang yang lama. Mereka tak bosan-bosannya kawin dan bertelur. Entah siapa yang mengajari bahwa hanya dengan cara itu maka kelangsungan hidup jenisnya akan bertahan. Sebab alap-alap siap menyambar burung-burung kecil itu kapan dan di mana saja. Gagak dan bengkarung hijau gemar mencuri telur mereka. Dari sepasang brondol ketika kali pertama mereka membuat sarang dari atap ilalang rumah Sakum kini telah berbiak menjadi empat pasang. Andaikan alam tidak menyediakan pemangsa burung brondol maka jumlah mereka pasti sudah jauh lebih banyak.
 
Waktu kemarau kelompok burung brondol itu mencari makan jauh meninggalkan Dukuh Paruk ke tempat-tempat di mana rumput atau padi-padian masih bisa tumbuh. Mereka pergi menempuh bahaya menjadi mangsa alap-alap kala melintasi hamparan sawah kering yang sangat luas, karena pada saat seperti itu tak ada lagi makanan di sekitar sarang mereka. Pagi-pagi sekali mereka berangkat dan pulang ketika matahari sepenggalan. Sore mereka terbang kembali ke tempat yang sama, pulang ketika matahari hampir terbenam. Ketika pergi-pulang itulah mereka melintasi serombongan manusia yang sedang mondar-mandir di tengah sawah di sebelah barat Dukuh Paruk. Mobil mereka kelihatan jauh di tepi jalan besar.
 
Seorang anak Dukuh Paruk melihat rombongan itu. Dari tepi pedukuhan anak itu memperhatikan mereka dengan mata curiga. Lalu dia lari terbirit sambil berseru berulang-ulang,
 
"Ada tentara! Ada tentara! Mereka sudah sampai di sawah. Ada tentara!"
 
"He! Kamu bilang apa?" tanya Kartareja gugup.
 
"Ada tentara, Kek. Banyak. Lihat sendiri, Kek. Mereka sudah sampai di sawah!"
 
Kartareja berdiri beku dan kakinya gemetar. Wajahnya pasi seketika. Mungkinkah Rasus yang datang? Kalau benar mengapa banyak sekali temannya? Kartareja tidak percaya Rasus yang datang. Kemudian dia berjalan limbung ke sana kemari. "Kamu tidak habis berbuat sesuatu? Kalian tidak habis berbuat kesalahan?" tanya Kartareja kepada setiap orang yang dijumpainya. Di depan pintu rumah Srintil, Kartareja berseru keras,
 
"Srintil! Kamu tidak lupa lapor ke markas?"
 
"Apa, Kek? Lapor?" jawab Srintil ketika muncul di pintu. "Aku sudah bebas lapor. Ada apa?"
 
"Ada tentara datang! Ingat baik-baik, kamu habis berbuat apa?"
 
Wajah Srintil langsung pucat. Bibirnya gemetar.
 
"Ti... dak, Kek! Aku tidak berbuat apa-apa. Kemarin aku pergi ke pasar Dawuan membeli baju buat Goder."
 
"Nah! Boleh jadi mulutmu bocor di pasar."
 
"Oh, tidak, Kek. Untuk urusan semacam itu akulah yang paling berhati-hati."
 
Kartareja termenung. Dia bingung karena semua orang berkata tidak. Dukuh Paruk lengang. Semua orang bersembunyi di dalam gubuk masing-masing. Sakum yang sedang berada di luar, ditarik-tarik masuk oleh anaknya. Dukuh Paruk sungguh-sungguh hening sehingga desau angin ringan terdengar mendaulat suasana.
 
Akhirnya Kartareja pasrah. Dan dia tidak merasa perlu ikut bersembunyi. Muncul kesadarannya bahwa setelah Sakarya meninggal maka dialah orang yang dituakan di Dukuh Paruk. Dia merasa jadi anutan. Maka sambil bersedakap Kartareja berjalan ke tepi pedukuhan untuk meyakinkan diri siapakah tentara yang datang. Matanya menatap jauh. Dia dapat melihat jelas orang-orang yang hilir-mudik itu. Ada yang mengintip-intip melalui perkakas berkaki tiga. Ada yang memegang tongkat panjang yang ditegakkan dan ada pula yang mencatat-catat. Dan apa pun yang mereka lakukan Kartareja kemudian yakin bahwa mereka tidak sedang berjalan menuju Dukuh Paruk. Lalu Kartareja teringat suatu ketika di zaman Belanda. Kala itu ada priayi yang melakukan kegiatan seperti yang sedang diperhatikannya: pengukuran tanah!
 
"Anak itu bangsat! Anak itu asu buntung!" desis Kartareja seorang diri. "Mereka bukan tentara. Mereka priayi yang sedang mengukur tanah."
 
"He, Anak-anak. Kemarilah. Tidak ada apa-apa. Mereka bukan tentara. Mereka bukan sedang menuju kemari. Keluarlah kalian!"
 
Sepi, tak seorang pun berani muncul dari persembunyian. Baru beberapa menit kemudian satu-dua orang datang memenuhi panggilan Kartareja. Dan ternyata yang lain-lain muncul berbondong ke tepi pedukuhan. Anak-anak masih bergayut pada ujung kain emak masing-masing. Srintil datang dengan Goder di punggungnya.
 
"Lihat, mereka bukan tentara. Mereka sedang mengukur tanah. Kudengar sawah itu akan dilalui saluran pengairan. Bendungannya sedang dibangun di bukit sana."
 
Kartareja merasa mendapat kesempatan yang baik untuk menunjukkan kelebihan pengalamannya di depan sesama warga Dukuh Paruk. Dia menerangkan bahwa perkakas berkaki tiga itu bernama keker. Orang yang mengeker bernama mantri ukur. Tetapi Kartareja tidak tahu mengapa keker harus selalu dipayungi. "Entahlah, mungkin perkakas itu semacam jimat yang tidak boleh kena panas matahari," katanya.
 
"Dulu kita mengatakan mereka sedang klasiring ya, Kang?" kata Sakum. Bangga dia, karena bisa ikut menerangkan sesuatu kepada teman-temannya.
 
"Ya. Klasiring itu dilakukan untuk menentukan kelas dan sekaligus batas-batas tanah. Eh, mana anak yang tadi melolong-lolong ada tentara datang?"
 
Mata Kartareja menatap berkeliling. Tetapi anak yang dicarinya berdiri agak menjauh dan tidak tahu dirinya sedang dicari. Dia sedang asyik memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk dengan alat-alat pengukur tanah.
 
Di tengah sawah, seratus meter di sebelah barat Dukuh Paruk, Bajus memimpin teman-temannya mengukur dan membuat pancang-pancang. Tamir pada teodolit, Kusen memegang payung serta Diding pada tongkat skala. Beberapa lainnya adalah pembantu yang mengurus pematokan-pematokan. Mereka bekerja mengikuti alur parit besar; bekas rencana saluran irigasi tersier yang pernah dibuat pada masa pendudukan Jepang namun gagal diselesaikan. Bajus dan teman-temannya dikirim langsung dari Jakarta untuk mengawali pembangunan sebuah bendungan yang akan mengairi dua ribu lima ratus hektar sawah yang sebagian besar terletak di kecamatan Dawuan.
 
Pukul sepuluh tiga puluh. Di tengah pedusunan mungkin sinar matahari belum terlampau terik. Tetapi di tengah sawah panas sudah demikian memanggang. Panas yang langsung jatuh dari atas dan panas yang memantul dari bumi. Dari jauh udara di permukaan tanah kelihatan berbinar seperti riak-riak panas pada telaga yang mendidih. Bajus melihat wajah para anak buahnya sudah memerah dan punggung mereka sudah basah. Kemudian dia menyuruh semuanya beristirahat.
 
"Mari kita kembali ke mobil. Kita mencari minuman di Dawuan," ajak Bajus. Kusen, Diding dan yang lain mengikuti perintah. Tetapi Tamir masih asyik meneropong dengan teodolitnya. Demikian asyik sehingga Tamir tak peduli bahwa teodolitnya sudah tak berpayung lagi.
 
"Tamir!" seru Bajus. "Kamu tak mendengar kataku?"
 
"Nanti dulu, Pak. Ke sinilah kalau Pak Bajus mau lihat. Bukan main! Pak Bajus tidak akan percaya di daerah seperti ini ada barang bagus."
 
"Kamu ngomong apa, Tam?"
 
"Lihatlah sendiri, Pak. Nanti dibilang aku ngecap."
 
Tamir surut ke belakang dan tempatnya digantikan oleh Bajus. Mandor ini memejamkan mata kirinya. Mata kanan tepat di belakang lensa teodolit. Titik fokus yang sudah dikunci oleh Tamir jatuh pada wajah seorang ibu muda yang sedang menggendong anak.
 
"Bagaimana, Pak. Hebat, kan?"
 
"Iya, ya," jawab Bajus tanpa sedikit pun mengubah posisinya.
 
"Nah, aku bilang juga apa!"
 
"Periksa di peta, apa nama kampung itu."
 
"Aku sudah tahu," ujar Kusen dari belakang "Dukuh Paruk."
 
"Dukuh Paruk?"
 
"Ya, kenapa, Pak Bajus?"
 
Bajus tidak sempat menjawab karena perhatiannya sedang terpusat pada sebentuk wajah di tengah lensa teodolit. Dia melihat pesona klasik Jawa yang sudah jarang ditemui di kota-kota besar. Keseimbangan antara bahu dan leher serta kesempurnaan bentuk rahang. Dan rambut lebat yang sinomnya sedan diburai angin. Semuanya terbingkai keremajaan yan sedang berangkat menuju kematangan.
 
Sesekali mata itu tertuju lurus ke pusat lensa. Tetapi tentu saja subyek di sana tidak merasa dirinya sedang menjadi pusat perhatian. Bajus melihat mata di sana lain. Mata yang dibekali daya tarik luar biasa, mata dunia perempuan. Tetapi pada saat yang sama Bajus merasakan sesuatu sedang menyaput pesona mata itu. Mata yang kehilangan harga diri, mata indah yang seperti menyimpan ketakutan.
 
"Pak Bajus!" seru Tamir cengar-cengir. "Mau istirahat, kan?"
 
"Yaaah. Mari kita beristirahat."
 
"Bagaimana? Iya, kan?"
 
Bajus hanya tersenyum. Dan dalam benaknya masih terbias wajah klasik yang menerobos masuk menembus lensa teodolit. Adakalanya lelaki terkesan oleh perempuan lantaran dia sedang berada di luar lingkungan kesehariannya seperti yang terjadi pada para pekerja pengukur tanah itu. Adakalanya lelaki tunduk kepada naluri pemberian alam; kecenderungan berpetualang. Adakalanya pula seorang perempuan memang dibekali kelebihan-kelebihan tertentu sehingga kehidupan memberinya tempat pada wilayah perhatian lawan jenis. Dalam ukuran ini Srintil belum tergeser oleh siapa pun, setidaknya untuk wilayah kecamatan Dawuan atau sekitarnya.
 
Maka serta-merta Srintil menjadi urusan pertama dalam setiap pembicaraan di antara para pekerja di bawah Bajus. Sering kali teodolit bukan mengarah pada tongkat skala melainkan ke barisan manusia yang berjajar di tepi Dukuh Paruk. Fokusnya selalu saja jatuh ke wajah Srintil meski sedemikian jauh anak Dukuh Paruk itu belum tahu dirinya selalu menjadi pusat pengamatan. Tak kurang Bajus sendiri tidak bisa berbuat banyak bila bawahannya memainkan teodolit untuk tujuan yang bukan semestinya.
 
Pada hari ketiga ketika Bajus dan teman-temannya sedang berada di sebuah warung minuman di Dawuan, Tamir membuat pengakuan yang segar.
 
"Siapa yang percaya kepadaku ketika kemarin aku pergi ke Dukuh Paruk hendak buang hajat?"
 
"Bajingan. Jadi apa perlumu ke sana? Menemui perempuan itu?" tanya Bajus.
 
"Jangan marah dulu, Pak. Pokoknya aku memperoleh info penting. Aku tahu namanya: Srintil."
 
"Srintil? Nama yang aneh."
 
"Tak apa, kan? Yang penting bagaimana orangnya."
 
"Lalu?"
 
"Dia tidak punya suami. Ini!"
 
Semua diam seakan berita yang keluar dari mulut Tamir memerlukan kekhususan buat memahaminya. Dan Tamir cengar-cengir.
 
"Ya, andaikan benar dia tidak bersuami. Lalu kamu mau apa?" sela Diding.
 
"Ah berita apa pun memang tak penting bagimu kecuali berita pembayaran gaji. Namun siapa tahu Pak Bajus menyukai keteranganku. Siapa tahu, Pak."
 
"Hus! Aku memang perjaka lapuk. Aku memang yang tertua di antara kalian. Namun mestinya aku tidak harus menjadi sasaran untuk celoteh semacam ini."
 
Anehnya wajah Bajus memberi kesan yang berlawanan dengan makna kata-katanya. Senyumnya tersungging dan matanya berkilat.
 
"Nanti dulu, Mir. Mulutmu bisa nyinyir seperti itu, dari mana kamu mendapat keterangan?" tanya Kusen.
 
"Itu memang keahlianku yang boleh kamu cemburui. Tetapi baiklah. Ketika aku berpura-pura minta api, aku dilayani oleh seorang perempuan tua. Ramah sekali dia. Barangkali dia menangkap perasaanku karena aku sering melirik Srintil. Nah, kalau kamu tahu, perempuan itu langsung bocor mulutnya."
 
Tamir, Diding, Kusen dan yang lain tertawa. Hanya Bajus yang tetap diam karena dalam benaknya sedang terbias wajah Srintil.
 
"Eh, kedengarannya kalian semua sedang menggunjingkan Srintil?" kata pemilik warung sambil tersenyum. "Cantik, ya?"
 
"Lho. Ibu mengenal dia?"
 
"Di sini, siapa orangnya yang tidak mengenal Srintil. Bukan hanya karena cantiknya melainkan juga karena dia seorang ronggeng."
 
"Benar dia tidak bersuami?"
 
"Benar."
 
"Nah, aku heran. Orang seperti itu belum punya suami."
 
"Karena dia ronggeng," jawab pemilik warung datar.
 
"Bagaimana kalau aku..."
 
"Mengapa tidak. Dia ronggeng, kan? sampean semua mengerti ronggeng, kan?"
 
Semua tertawa lagi dan hanya Bajus pula yang tinggal diam. Dia hanya tersenyum ringan, tangannya menggaruk-garuk kepala. Bajus juga tetap bungkam ketika melihat Tamir bangkit melangkah ke ruang kosong dan mulai berjoget. Rupanya dia memang mengerti ronggeng. Anak-anak bertepuk tangan dan Tamir makin bersemangat. Kembali ke tempat duduk, Tamir mendekati Bajus.
 
"Pak, malam ini aku tidak ikut pulang ke penginapan. Aku dan Diding."
 
"He? Mengapa aku?" sela Diding.
 
"Sudahlah, nanti uang makanku buat kamu."
 
"Kamu tidak ikut kembali ke Eling-eling?"
 
"Satu malam saja, Pak. Ah, malah saya bisa bekerja gasik besok pagi. Percayalah, Pak."
 
"Mau ke Dukuh Paruk, kan? Bajul cilik kamu!"
 
"He... he... he."
 
Malam hari, bulan yang hampir bulat berlatar langit kemarau. Biru kelam. Langit seperti akan menelan segalanya kecuali apa-apa yang bercahaya. Bintang berkelip-kelip seakan selalu berusaha membebaskan diri dari cengkeraman gelap. Hanya bulan yang tenang mengambang. Bulan yang makin anggun dan berseri karena kelam tak mampu mendaulatnya.
 
Langit di atas pesawahan Dukuh Paruk dalam tatapan biasa adalah contoh wujud kekosongan. Awang-uwung, hampa. Namun dengan tatapan yang sungguh langit dalam kegelapan malam sama seperti keadaan siang hari, penuh kehidupan. Matra dinamika ekosistem sedang berlangsung dalam sunyi dan kekelaman. Berjuta serangga dari berbagai jenis terbang mengulang-ulang daur kehidupan kaumnya. Mereka akan menang atau akan kalah. Menang kalau mereka selamat bisa bertemu makanan dan kawin, kalah bila mereka bertemu pemangsa. Kelelawar beterbangan dengan lintasan yang berkelok-kelok tajam menangkap segala jenis serangga yang dijumpainya. Binatang mengirap ini bersaing dengan burung cabak yang terbang tidak kalah gesitnya. Rentang sayapnya yang membulat dan condong ke depan akan kelihatan sosoknya bila cabak terbang melintas garis pandang bulan.
 
Di bawah-sana tiga orang anak laki-laki merangkak-rangkak di tengah sawah diterangi sebuah obor. Anak-anak Sakum ini sedang mencari serangga. Belalang segala macam ditampung dengan bambu seruas. Juga jangkrik. Tetapi jangkrik sungu diistimewakan. Jantan jenis ini deriknya nyaring dan biasa dipelihara anak-anak. Siapa yang ingin memiliki jangkrik sungu tanpa harus kelayapan di malam hari boleh membelinya kepada Sakum besok pagi di pasar Dawuan. Dan belalang dalam ruas bambu itu besok akan disangrai dengan minyak jelantah dan garam. Pagi-pagi sarapan nasi thiwul dengan lauk sangrai belalang. Dukuh Paruk yang tidak pernah mengerti ilmu gizi mencukupi kebutuhan protein dengan belalang. Beri-beri dicegah dengan serangga.
 
Bagi anak-anak pada umumnya pekerjaan mencari jangkrik dan belalang adalah bagian dunia bocah semata, dunia permainan. Tidak demikian halnya bagi anak-anak Sakum. Ketiganya berada dalam kesadaran penuh bahwa jangkrik dan belalang adalah urusan perut bagi seisi rumah. Maka mereka bekerja, bukan bermain. Tekun dan bersungguh-sungguh. Mereka tak tertarik akan cantiknya bulan di atas kepala. Bahkan mereka tidak melihat dua orang yang melintas menuju Dukuh Paruk.
 
Tamir dan Diding melangkah makin dekat ke Dukuh Paruk. Dalam angan-angan Tamir, Dukuh Paruk pastilah semringah di malam hari, kesemringahan dan kemelaratan lokalisasi. Yang demikian ini Tamir sudah hafal, sangat hafal. Maka Tamir merasa tawar hati ketika memasuki Dukuh Paruk yang sepi, dan kering seperti sepah. Hanya derik puluhan jangkrik di gubuk Sakum. Lainnya, senyap. Biasanya di pemukiman yang melarat malam hari terdengar anak kecil menangis. Tetapi Dukuh Paruk tidak mempunyai anak kecil yang lahir sesudah geger 1965. Dukuh Paruk kehabisan daya semi.
 
"Mir! Ini kampung jin apa kampung orang? Kok seperti kuburan?"
 
"Mau ramai? Nanti di Planet Senen atau Bongkaran Tanah Abang."
 
"Ah, susahnya ikut anak muda mata perempuan." "Sudah kubilang, uang makanku buat kamu."
 
"Bajingan!"
 
"Hah?"
 
"Aku yang bajingan, Mir. Aku selalu takut gaji tidak utuh bila pulang ke rumah. Jadinya aku rela menjadi anjingmu asal aku bisa memperoleh uang prei."
 
Kedua pekerja dari Jakarta itu langsung menuju rumah Nyai Kartareja; perempuan tua yang ramah, yang tanpa diminta telah memberikan keterangan banyak tentang Srintil kepada Tamir. Rumah itu tidak beda dengan gubuk-gubuk lain, sepi. Sebuah lampu minyak tergantung dengan nyala sekecil mungkin. Kulo nuwun Tamir lama tidak berbalas. Tetapi dari dalam terdengar suara berbisik-bisik. Nyai Kartareja sedang meyakinkan diri siapa yang datang. Setelah mengenal suara di luar perempuan itu membuka pintu gubuknya. Kemudian nyala lampu dibesarkan.
 
"E, lha sampean. Mari, mari masuk. Wah ada priayi mau berkunjung ke gubuk di Dukuh Paruk."
 
"Ah, kedatangan kami tidak mengganggu, Nyai?"
 
"E, lha tidak. Dan ini teman sampean?"
 
"Ya, Nyai."
 
"Nah, masuk dan duduklah."
 
Nyai Kartareja masuk menemui suaminya. Berbicara kecil, kemudian keluar seorang diri. Tamir menyalakan rokok dan Diding diam karena tidak merokok, dia harus bersikap sehemat mungkin agar aman bila pulang ke rumah.
 
"Malam-malam begini datang ke Dukuh Paruk yang gelap dan terpencil. Aku jadi ingin tahu apa kiranya hajat sampean berdua," ujar Nyai Kartareja dengan keramahannya yang khas. Tamir tidak menjawab dengan suaranya melainkan dengan senyumnya. Komunikasi dengan isyarat senyum berlangsung demikian efektif sehingga sungguh tak lagi diperlukan kata-kata. Apalagi yang menjadi nyonya rumah adalah Nyai Kartareja yang tetap seorang seniman mucikari.
 
Dan Nyai Kartareja teringat pengalaman beberapa waktu yang lalu ketika menyampaikan maksud Marsusi kepada Srintil. Maka dia merasa kecil hati. Tetapi masalahnya siapa tahu. Tamunya kali ini adalah orang Jakarta, muda-muda dan lumayan tampan. Siapa tahu. Persoalannya tinggal mencari cara mempertemukan Srintil dengan kedua pemuda itu. Memanggilnya hampir tidak mungkin karena Srintil sangat mungkin akan menolak datang. Memberitahunya lebih dulu lalu membawa pemuda-pemuda itu ke rumah Srintil memberi kemungkinan gagal karena Srintil bisa menghindar. Yang paling jitu adalah cara pendadakan.
 
"Jadi aku sudah tahu maksud kalian. Yah, Anak muda! Maka marilah kita bersama ke rumah Srintil."
 
"Jauh, Nyai?"
 
"Hanya dua rumah dari sini."
 
Ah, rumah ilalang lagi. Tamir makin percaya diri. Tetapi pada saat yang sama pertanyaan itu berulang, mengapa seorang penghuni salah satu gubuk di Dukuh Paruk bernama Srintil. Bahkan Tamir percaya dirinya mampu menyediakan tempat yang lebih layak bagi perempuan yang berkepatutan itu. Lalu pikiran Tamir melambung, hatinya bernyanyi-nyanyi.
 
Nyai Kartareja masuk dan memanggil Srintil. Ada jawaban dari dalam bilik. Srintil sedang ngeloni Goder. Mulutnya masih berdesis untuk mengantar Goder ke alam tidur. Kemudian bangkit dengan lembut. Disanggulnya rambut yang tergerai.
 
"Ada apa, Nyai?" tanya Srintil. Nyai Kartareja kelihatan menata diri.
 
"Ada tamu, jenganten. Dua orang. Mereka sudah ada di luar. Mereka adalah priayi-priayi yang sedang mengukur tanah itu."
 
Hening, dan Srintil mendengar seekor nyamuk yang terbang di dekat telinganya. Suara jangkrik dari rumah Sakum terdengar jelas. Goder menggeliat tetapi matanya tetap tertutup. Srintil mengendurkan pundak dan menunduk.
 
"Mengapa Nyai membawa mereka kemari?"
 
"jenganten, aku tidak mengundang mereka datang. Tidak. Lalu mereka sekarang di sini. Apakah aku harus menyuruhnya pergi?"
 
"Duh, Pengeran... Suruhlah mereka pulang, Nyai. Katakan..."
 
"E, lha jangan begitu, jenganten. Tidak layak mengusir tamu sebelum kita berbicara kepada mereka. Ingat, jenganten. Mereka adalah priayi dari Jakarta. Apa tidak salah bila kita tidak menghormati mereka?"
 
Menyadari posisinya yang sudah menguntungkan Nyai Kartareja keluar meninggalkan Srintil yang terduduk dan mulai mengusap mata. Dengan suara yang sengaja ditinggikan agar Srintil bisa mendengar Nyai Kartareja menyilakan Tamir dan Diding masuk. Sementara di dalam biliknya sendiri Srintil masih mengusap air mata meski tanpa isak tangis.
 
Tidak sekali-dua Srintil menyesal mengapa dirinya bereksis sebagai perempuan. Perempuan yang demikian adanya sehingga sulit mendaulat dirinya sendiri. Perempuan yang demikian adanya sehingga mau tidak mau dirinya banyak bergantung kepada kelelakian. Dan kelelakian itu, ketelanjangannya sudah dikenal Srintil melalui kedirian Rasus yang liar dan kenyal seperti anak kambing. Melalui Marsusi atau puluhan lelaki lain. Bahkan dalam kelelakian, Srintil mengenal sisi kemandulan Waras dari Alaswangkal. Atau kesejatian Kapten Mortir yang utuh dalam kepribadiannya. Di mata Srintil hanya ada satu kelemahan Kapten Mortir. Mengapa perwira komandan rumah tahanan itu tak mampu mencegah laki-laki lain yang sering mengambil Srintil dari tahanan lain membawanya ke tempat pelesiran? Ya, di tempat pelesiran itu Srintil bertambah kaya akan wawasan kelelakian. Bahwa dalam ketelanjangannya laki-laki, umumnya, adalah manusia biasa dengan naluri kambing jantannya, dengan naluri bayi yang merengek, dengan keblingsatannya yang kadang cuma sebagai pelampiasan rasa tak percaya diri. Ingin disebut kuasa hanya karena rasa kurang yakin akan guna keberadaannya.
 
Kini kelelakian muncul lagi dalam diri dua orang pemuda dari Jakarta. Duh, Pengeran! Aku belum tahu harus bagaimana menghadapi laki-laki meski dulu bertahun-tahun aku merasa bangga menjadi pemangku nalurinya.
 
Seperti tak terkendali oleh kesadarannya, Srintil bangkit perlahan. Ditatapnya wajah Goder yang lelap dan damai. Lalu diambilnya kebaya yang baik untuk menutup badan atasnya yang hanya terbungkus kutang. Kainnya juga diganti dengan yang masih baru. Termangu sejenak, kemudian Srintil jongkok. Pada titik yang amat dirahasiakan Srintil mencungkil tanah. Sebuah kantung kecil dikeluarkan. Dari kantung itu Srintil mengambil kalung, gelang, giwang, dan cincin. Hampir dua ratus gram emas serta-merta menghias badannya.
 
Tetapi Srintil kelibatan ragu. Dengan memamerkan hartanya Srintil ingin berkata bahwa sebenarnya dia tidak melarat. Bukan kemelaratan yang berada di bawah atap ilalang gubuknya. Atau Srintil ingin mencari sesuatu untuk membentuk keberanian menghadapi kelelakian. Emas itu. Namun apakah tindakannya tidak mengundang bahaya? Bukankah laki-laki di luar itu belum dikenalnya? Entahlah, dan Srintil merasa tak kuasa berpikir lebih panjang lagi. Maka setelah mengusap mata Srintil melangkah ke luar. Dua wajah mendongak serempak. Yang satu tertunduk kembali, tetapi Tamir bertahan.
 
Mata Tamir lurus ke depan. Garis-garis wajahnya baur antara gairah berahi dan kegagapan. Mulutnya terbuka antara tertawa dan melongo. Sementara kepalanya yang masih menyimpan pertanyaan: mengapa ada kemolekan di tengah kemelaratan, kini Tamir menghadapi pertanyaan baru: mengapa ada kegemerlapan di bawah atap ilalang. Hati Tamir berdesir tak menentu. Dan bimbang, mengapa ada keramahan diiringi mata yang berkaca-kaca.
 
"O, silakan," ujar Srintil dalam suara yang tersaring di tenggorokan. Dan duduk di samping Nyai Kartareja yang tak kurang rasa herannya melihat Srintil mengenakan seluruh perhiasan yang selama ini sangat dirahasiakannya. Tetapi Nyai Kartareja tersenyum ceria karena yakin penampilan Srintil adalah bukti kegairahan.
 
"Nah, yang ingin sampean temui sudah muncul," kata Nyai Kartareja kepada Tamir dan Diding. "Maka, silakan. Aku ada urusan di rumahku sendiri."
 
"Nyai! Nyai harus menemaniku di sini," pinta Srintil sungguh-sungguh. Digapainya pundak perempuan tua itu.
 
"E, lha. Bagaimana jenganten ini. Kayak perawan sunthi saja."
 
"Aku bersungguh-sungguh, Nyai. Kalau Nyai keluar, aku ikut."
 
"E... Oh ya, baiklah. Aku mau ke belakang sebentar. Nanti aku kemari lagi."
 
"Betul lho, Nyai!"
 
"Aku bukan anak kecil. Percayalah, jenganten."
 
Terdengar bunyi seleret pintu bambu sorongan. Nyai Kartareja melangkah ke luar dan kemudian melingkar demikian rupa sehingga dua menit kemudian dia berada hanya beberapa jengkal dari dinding rumah Srintil. Telinga dipasang baik-baik. Nyai Kartareja tidak ingin satu kata pun terlepas dari pendengarannya.
 
Yang berada di dalam masih belum berhasil memecah kebekuan yang mendadak menjebak mereka. Diding masih menunduk dan Tamir yang biasa amat cekatan bila berhadapan dengan perempuan malah duduk gelisah. Kalimat pertama untuk diucapkan ternyata menjadi barang yang sulit ditemukan. Srintil sengaja diam karena tidak ingin berkata apa pun sebelum Nyai Kartareja datang. Tetapi lima, bahkan sepuluh menit lamanya perempuan itu tidak muncul lagi. Kelihatan Tamir yang hendak mengawali pembicaraan, namun niatnya hanya sampai kepada mimik. Greget-nya diselewengkan menjadi gerak mengambil rokok dan terus menyulutnya.
 
"Jadi... jadi Adik berdua ingin bertemu saya. Nah, sekarang sudah terlaksana, bukan?" ujar Srintil tiba-tiba. Kemandekan serta merta cair. Tamir tersenyum lebar. Diding mengangkat muka sekilas. Dan Tamir mendapat kesulitan baru ketika hendak menyambut kata-kata Srintil. Dia telah didahului disebut Adik. Mau membalasnya dengan Mbakyu atau Kakak? Ini sebuah rintangan psikologis bila dihubungkan dengan maksud kedatangan Tamir ke Dukuh Paruk. Atau inilah kemenangan kecil pertama yang dilakukan oleh Srintil atas kelelakian yang kini kembali menghadang.
 
"Ya... ya," jawab Tamir patah.
 
"Tetapi maafkan bila saya tak bisa menjamu Adik. Yah, beginilah keadaan saya. Adik melihat sendiri; sama sekali beda dengan keadaan kota, kan?"
 
"Ya... ya. Oh, tak mengapa. Anu. Kami mendengar sampean seorang ronggeng. Masih suka meronggeng?"
 
Pertanyaan Tamir yang tak terduga membuat jantung Srintil terpukul dan membuat dadanya menyesak.
 
"Anu, Dik. Itu dulu. Sekarang saya tidak lagi meronggeng. Dulu pun saya cuma ronggeng bobor, ronggeng yang jarang naik pentas."
 
"Jadi sampean sekarang tidak meronggeng lagi?" "Tidak."
 
"Ah, kenapa?"
 
"Tidak. Tidak."
 
"Ya, tetapi mengapa?"
 
"Pokoknya tidak."
 
"Ya... ya. Tetapi anu. Bagaimana bila... Maksudku, sampean bisa menduga kepentinganku datang kemari, kan?"
 
"Ya, saya tahu."
 
"Bagai..."
 
"Tidak, Dik."
 
Tamir terhenyak ke belakang. Hatinya buntu. Pandangan matanya berpindah-pindah tak menentu. Cuping hidungnya bergerak-gerak.
 
Ti... dak. Kata-kata itu berulang-ulang terdengar dalam hati Tamir. Tidak. Menurut pengalaman anak Jakarta itu bila perempuan sudah berkata tidak, dan hanya tidak, maka susah. Lain bila 'tidak' itu masih diikuti kata-kata lagi, masih berbuntut. Maka buntut itu, apa pun bunyinya, adalah sekadar prasyarat, sebuah tantangan yang harus ditundukkan. Kalau hanya tidak dan tidak?
 
"Anu, Mbakyu," kata Diding dengan suara rendah dan mapan. "Kedatangan kami kemari terutama memang ingin berjumpa Mbakyu. Lainnya tentu nomor dua."
 
"Ya, benar," tukas Tamir tangkas. Si dungu Diding secara tak terduga telah membantu melepaskannya dari kebuntuan. "Diding memang benar, kami terutama hanya ingin berjumpa. Soalnya siapa tahu kami harus minta bantuan sesuatu kepada warga Dukuh Paruk. Kami masih bekerja beberapa hari lagi di sekitar sini."
 
"Oh, Dik. Kali ini saya tak perlu berkata tidak. Namun apa kiranya yang bisa kami berikan? Kami tak punya apa-apa."
 
"Sekadar tempat berteduh pun jadilah. Di tengah sawah panasnya bukan main."
 
"O, ya. Kalau soal itu, bisa. Dukuh Paruk masih punya kerimbunan rumpun bambu, pohon nangka, pohon bungur dan banyak lagi. Silakan, Adik, silakan."
 
"Terima kasih, Mbakyu," sahut Diding. Tamir hanya tersenymn, menunduk dan menggelengkan kepala. Tawar. Keluhnya tersamar dalam desah napas yang panjang.
 
Melangkah di halaman Tamir dan Diding disambut oleh suara mencecet burung bence yang terbang cepat di udara. Di tepi dukuh mereka berpapasan dengan anak-anak Sakum yang baru pulang mencari serangga di sawah. Mereka ketakutan dan lari. Obornya membuat suara gemuruh.
 
Sampai di tengah sawah Diding tak kuasa lagi menahan tawanya. Moralnya naik sementara moral Tamir kacau-balau. Tamir tak bisa membuka mulut mendengar seloroh temannya.
 
"Mampus kamu, Mir. Menginap semalam di Dukuh Paruk? Bisa, bisa. Tetapi di rumah Nenek Kartareja!"
 
"Bajingan!"
 
"Tetapi jangan 1upa, Mir. Uang makanmu sudah menjadi milikku."
 
"Ambil semua, Kere!"
 
"E,jangan sewot, Bung. Malah saya minta tambah. Itu uang yang semula kamu sediakan buat Srintil. Wah, dia tidak butuh uangmu. Kamu lihat kalungnya? Gelangnya? Giwangnya?"
 
"Sudah. Tengik kamu!"
 
Di tengah malam buta ada gelak tawa di tengah sawah. Ada kekalahan yang dibawa berjalan dalam gelap. Dan dua pemuda Jakarta itu punya masalah yang tak terduga, menginap di mana malam ini?
 
 
Bagian Ketiga
 
 
Empat orang anak Sakum adalah bocah-bocah yang paling gembira meskipun mereka bersarang dalam gubuk paling kecil di Dukuh Paruk. Kemarau memberi mereka kesempatan yang luas untuk berburu serangga di malam hari. Hasilnya adalah nasi thiwul dan sangrai belalang serta jangkrik. Kadang mereka juga berburu burung kedasih. Unggas yang gemuk dan berlemak ini tidur dalam rumpun kecipir di malam hari. Hanya dengan modal obor dan kemampuan bergerak hati-hati seperti kucing anak-anak Sakum sering kali bisa menangkap tiga-empat ekor burung dalam satu malam.
 
Pagi hari ketika anak-anak lain masih meringkuk di balai-balai atau berjongkok lesu di dekat kencing mereka, anak-anak Sakum sudah berkeliaran di pekarangan. Ranting-ranting bambu dikumpulkan untuk kayu bakar, buah salam sisa kalong dan kampret dipungut dan langsung dikulum. Kemarau juga memberi arena bermain yang menyenangkan. Tanah pekarangan kering, halaman memadat dan rata, baik sekali untuk berbagai permainan. Pada tempat yang teduh dan masih lembab permukaan tanah adalah lapisan lumut yang lembut berwarna hijau kekuningan. Mata anak-anak Sakum yang awas sangat pintar menangkap makna pertanda alam yang sering kali tersamar. Bila ada tanah merekah di batas pekarangan, mereka akan menggalinya dan secara pasti akan memperoleh jamur barat atau jamur suing yang belum mekar. Bila ada tahi burung berserakan di tanah, mereka tahu pada malam hari ada perkutut atau terkuku menginap di atasnya dan mereka menyiapkan alat penangkap, tali penjerat atau getah keluwih.
 
Pagi ini anak-anak Sakum sedang bermain di tepi dukuh sambil menunggu ayah mereka pulang menjual jangkrik di pasar Dawuan. Mereka baru saja berhasil gemilang menggantungkan sebuah ayunan bambu pada sebuah dahan yang tumbuh mendatar. Teriakan-teriakan gembira dan gelak tawa. Ayunan berderit-derit menggoyang pepohonan. Makin jauh mengayun makin riuh gelak mereka. Suka-ria di tepi dukuh menarik perhatian anak-anak lain. Goder menarik-narik tangan Srintil ingin melihat. Srintil mengikutinya dari belakang. Sementara Goder berbaur dalam tawa riang anak-anak Sakum, Srintil duduk memperhatikannya.
 
Ayunan terus berderit-derit. Anak-anak Sakum silih berganti mengayun dan diayun. Oh, ya, ayunan! Di tempat duduknya Srintil jadi teringat kakeknya, Sakarya, yang sudah meninggal. Sekali waktu Srintil mendengar kakeknya berkata kepada orang-orang Dukuh Paruk bahwa kehidupan tidak maju ke depan dalam lintasan lurus, melainkan maju sambil mengayun ke kiri dan ke kanan dengan jarak yang sama jauhnya. Padahal nurani kehidupan tak pernah sekali pun bergeser dari kedudukannya di tengah. Apabila ayunan ke kanan bercorak hitam misalnya maka ayunan ke kiri dalam banyak hal adalah kebalikannya, putih.
 
Itu nasihat Sakarya kepada puak Dukuh Paruk. Tetapi pengetahuan semacam itu bagi orang Dukuh Paruk adalah ngelmu, bukan ilmu. Pemahamannya tidak pernah menjadikan orang di sana sampai kepada pengetahuan praktis. Tak pernah membumi dan selalu dibungkus dengan pandangan-pandangan mistik.
 
Maka Dukuh Paruk dan Srintil sendiri tidak akan mengerti bahwa mereka adalah korban yang jatuh ketika kehidupan mencapai puncak ayunan ke kiri dan kemudian hendak berbalik ke kanan. Ketika itulah terjadi pergeseran dan penjungkirbalikan nilai dan tatanannya. Andaikan nilai lama bisa bertahan bahkan menang maka ayunan ke kanan tertunda, Dukuh Paruk bisa selamat. Namun yang terjadi di tahun 1965 itu adalah kekalahan nilai dan tatanan lama. Nilai baru yang sesungguhnya selalu laten dan potensial muncul dengan gempita.
 
Atau Srintil tidak akan mampu mengerti bahwa kelimbungan luar biasa di dalam dirinya berakar pada kegempitaan nilai baru yang sedang sibuk menata diri di tengah kehidupan. Kesibukan yang penuh semangat sehingga suara nurani kehidupan tak terdengar lagi. Banyak kendali kecenderungan yang menantang nurani kehidupan melonggar. Kecenderungan laten yang akan segera melesat lari ketika kekang kendali mengendur.
 
Gejala ayunan kehidupan sebenarnya sudah lama merembes jauh ke pelosok. Srintil tidak mengerti bahwa makin banyaknya pesawat radio di Dawuan, atau kedatangan orang-orang Jakarta yang akan membangun sebuah bendungan adalah salah satu pertanda teriadinya ayunan itu. Pintu negeri yang semula terkunci bagi bantuan, modal serta banyak kultur luar kini terbuka lebar. Nilai-nilai kebangsaan yang dirumuskan dalam semangat swadaya serta konservasi kultur dan budaya sendiri, surut dalam sebuah pergulatan seru. Dan lagi-lagi nurani kehidupan sering terlangkahi.
 
"Mak!" seru Goder sambil menubruk pangkuan Srintil.
 
"E... ya? Apa, Nak?" jawab Srintil gagap.
 
"Bikin ayunan, Mak. Aku ingin punya ayunan."
 
"Ah, kau masih kecil, Nak. Nanti jatuh."
 
"Mak, bikin ayunan!" Goder mulai menuntut.
 
"Aku tidak bisa membuat ayunan bambu, Nak. Tetapi kalau ayunan kain Emak bisa."
 
"Buaian, Mak? Ya, aku mau berayun-ayun di buaian. Aku mau, Mak."
 
"Baik, Nak. Mari pulang, kita bikin buaian di rumah."
 
Ketika Goder berlari mendahului Srintil, yang kelihatan adalah citra kesegaran sebuah kecambah kehidupan. Goder melompat-lompat, kadang berbalik merangkul paha Srintil dan lari lagi sambil bersorak kegirangan. Wajah Srintil yang semenit lalu masih keruh berubah jernih. Oh, Srintil selalu merasa sangat beruntung karena Goder yang hijau-segar adalah miliknya meski dia tidak keluar dari rahim sendiri. Miliknya!
 
Srintil masih agak jauh dari gubuknya ketika dia melihat seorang lelaki berdiri menunggu di halaman. Makin dekat dia tahu siapa yang berdiri di sana, seorang pamong desa. Dan di tangannya ada sehelai kertas terlipat. Mendadak langkah Srintil tertahan-tahan. Bibirnya memucat seketika. Ingatannya melayang ke rumah tahanan di kota Eling-eling.
 
"A... a... ada apa, Pak? Su... surat untuk saya?"
 
"Ya, oh bukan. Untuk Goder," kata pamong desa Pecikalan yang wilayahnya meliputi Dukuh Paruk.
 
"Goder?" tanya Srintil masih gemetar.
 
"Ya. Tetapi mestilah sampean yang harus mewakilinya. Ini urusan tanah yang terkena jalur pengairan."
 
"Oh, ya. Saya memang punya tanah secuil yang saya atas namakan Goder. Jadi bagaimana, Pak?"
 
"Pagi ini sampean harus berkumpul di balai desa Pecikalan. Ada rapat yang akan melaksanakan pembayaran ganti rugi. Nah, inilah suratnya. Eh, kenapa sampean gemetar?"
 
"Ah, tidak, Pak. Tidak."
 
Pak Pamong tersenyum yang dibalas dengan senyum rendah diri seorang yang masih menyimpan sisa rasa menjadi aib kehidupan. Pamong tua menikmati senyum seorang yang masih saja cantik. Srintil menikmati senyum kehidupan yang sudah lama jarang dirasakannya. Tetapi Goder menarik-narik tangan Srintil dan masih menuntut dibuatkan sebuah ayunan.
 
"Cepat, ya. Orang lain sudah mulai datang di balai
desa," kata pamong itu sambil melangkah pergi.
 
"Ya. Ya, Pak. Aku segera ke sana."
 
"Ayo, Mak. Bikin ayunan. Cepat, Mak."
 
"Kita tidak jadi membuat ayunan, Nak. Kamu dan aku akan pergi ke balai desa."
 
"Tidak jadi, Mak? Tidak jadi?"
 
Bibir Goder bergerak-gerak hendak menumpahkan tangis. Air matanya sudah mengambang. Srintil cepat meraup tubuh kecil itu dan mengangkatnya ke dada. Goder diciuminya dengan lembut.
 
"Jangan menangis, Nak. Kamu akan memakai baju baru dan bersamaku akan pergi ke balai desa. Kamu satu-satunya anak Dukuh Paruk yang diundang. Kamulah satu-satunya anak yang punya sawah."
 
"Di balai desa ada jajanan, Mak?"
 
"Ah, tidak. Tetapi kita bisa mampir ke pasar Dawuan. Kamu ingin apa?"
 
"Meniran, Mak."
 
"Baik, nanti kita beli yang banyak."
 
"Ondol-ondol."
 
"Ya, ya."
 
"Balon, Mak. Balon."
 
"Boleh."
 
"Anu, Mak. Anu, Mak. Jangkrik."
 
"Ah, jangkrik tinggal minta kepada Paman Sakum."
 
"Es!"
 
"Nah, ayo kita cepat berdandan."
 
Selain di pasar Dawuan maka baru kali inilah Srintil berada di tengah rapat yang dihadiri banyak orang. Dulu ketika masih meronggeng orang banyak yang berkumpul semua tunduk di bawah pesonanya. Perasaan mereka, khayalan mereka, menjadi bulan-bulanan alunan tembang dan lenggang-lenggok berahinya. Jantung mereka menjadi permainan lirikan mata dan pacak gulunya. Dan orang-orang terpenting yang sedang berkumpul di balai desa itu adalah mereka yang pernah merengek minta belas kasihnya.
 
Kini semuanya terbalik dengan semena-mena. Ketika Srintil memasuki balai desa banyak perempuan yang berpindah tempat duduk, menjauh. Banyak lelaki dengan gagahnya menipu diri dalam kepura-puraan, kecuali pamong yang tadi mengundang Srintil yang menyilakannya duduk. Lainnya hanya menatap dengan cara demikian rupa sehingga Srintil merasakan sebagai runcingnya ranting bambu yang menghunjam dada. Oh, tetapi di sana ada seorang priayi yang melihatnya dengan mata yang lunak. Srintil tahu dia adalah salah seorang yang sering dilihatnya mengukur tanah sawah di sebelah barat Dukuh Paruk.
 
Srintil duduk sambil memangku Goder. Terus menunduk, hampir tak pernah bergerak. Perasaan hati yang berpusar-pusar hanya bisa ditenangkan oleh kehangatan tubuh Goder yang sedang dipangkunya. Kain kebayanya sangat bersahaja. Srintil sama sekali tidak ingin keiihatan menonjol. Penampilan yang merendah hendaklah diartikan sebagai pengakuan atas sebuah kesalahan hidup yang terlanjur. Atan permohonan dalam kebisuan untuk dimengerti. Atau ucapan tanpa kata-kata bahwa hendaknya semua cukuplah sudah, jangan lagi ada tatapan mata yang mengiris hati, jangan lagi ada cibiran yang meremukkan jiwa.
 
Bajus duduk di samping lurah Pecikalan. Antara keduanya sudah terjadi beberapa kali pertemuan. Pertama, ketika Bajus baru hendak mulai mengukur tanah-tanah sawah yang terletak dalam wilayah desa Pecikalan. Kedua, di kantor kecamatan ketika keduanya kebetulan punya urusan dengan Pak Camat. Pertemuan ketiga sudah bersifat pribadi di rumah lurah. Waktu itu Bajus berterus terang masih bujangan, sambil tersenyum dan mata bercahaya.
 
Waktu itu lurah Pecikalan yang kuno mencoba menangkap makna kata dan suasana. Ada laki-laki tanpa diminta telah mengaku masih bujangan. Ada mata bersinar-sinar dan ada senyum yang menyimpan sesuatu. Lalu mengapa semua orang di wilayah Dawuan masih saja berpikir dalam pola lama bahwa di sana hanya ada satu lubuk di mana semua air mengalir ke sana. Sepanjang menyangkut petualangan berahi, Dukuh Paruk adalah lubuk dan Srintil adalah ikannya. Oh, ya. Bajus dan teman-temannya sedang mengukur tanah sawah yang dekat sekali dengan Dukuh Paruk. Mestinya dia sudah melihat ikan yang elok di lubuknya.
 
Lurah Pecikalan yang meski kuno tetapi kenal betul akan Srintil, kenal sosoknya dalam arti yang paling harfiah, hanya tersenyum. Dan seorang seperti lurah Pecikalan tidak bisa melepaskan diri dari sebuah nilai kuno bahwa seorang penguasa kecil wajib asok glondbong pengareng-areng kepada penguasa besar. Upeti. Apabila Bajus yang dianggapnya penguasa besar karena datang dari Jakarta mengaku bujangan maka lurah Pecikalan mengerti apa yang dikehendakinya. Dan lurah Pecikalan tidak mempunyai satu pun nilai yang bisa dijadikan pegangan untuk menyalahkan orang dari Jakarta itu.
 
Setelah semua pemilik sawah datang maka acara pembayaran ganti rugi dimulai. Lurah Pecikalan mengawalinya dengan pidato. Adalah kejayaan kekuasaan yang menyebabkan tak satu kali pun terdengar pertanyaan atau usulan tentang harga ganti rugi. Juga semua bungkam ketika lurah berkata bahwa uang ganti rugi akan dipotong sekian persen untuk biaya perbaikan balai desa, sekian persen untuk membeli seragam hansip, sekian persen biaya administrasi agraria, sekian persen lain-lain. Semuanya menjadi empat puluh persen. Sebelumnya sudah beredar bisik-bisik bahwa hanya mereka yang bersangkutan dengan geger 1965 akan menyanggah ketentuan itu.
 
Srintil sungguh tidak tertarik mendengar persen-persen itu, tidak juga jumlah uang yang akan diterimanya atas nama Goder. Yang amat diinginkannya adalah cepat keluar dan terbebas dari pandangan mata orang banyak, kembali ke Dukuh Paruk dan bersembunyi dalam dunia Goder. Tetapi panggilan untuknya tidak juga datang, bahkan ketika matahari sudah jauh tergelincir dan hanya tinggal dua orang yang belum mendapat bagian. Akhirnya Srintil sadar dia akan mendapat giliran paling akhir. Tentu saja, dari sekian banyak orang hanya akulah bekas tahanan. Itu pikiran Srintil dan itu pula nilai kecongkakan kenisbian masa.
 
Akhirnya tinggal Srintil bersama Goder. Lurah Pecikalan menyuruh tukang-tukang jagal uang ganti rugi membereskan hasil potongan di ruang lain. Sekali lagi, tentu saja. Seorang bekas tahanan tidak akan diperlakukan sama dengan orang lain. Maka Srintil akan diperlakukan secara khusus. Mungkin uangnya akan dipotong lebih banyak. Atau siapa tahu, Srintil akan dimintai keterangan macam-macam atau persyaratan macam-macam. Itu dugaan semua orang.
 
"Srintil," kata lurah Pecikalan lirih, lirih sekali. Toh Srintil terkejut bukan main. Wajahnya putih. Goder ditekan ke dadanya yang berdenyut hebat. Dan Pak Lurah malah terkekeh.
 
"Jangan takut seperti itu, jenganten. Dengar. Aku dan Pak Bajus ini akan berbicara dengan kamu. Beliau ini jauh-jauh datang dari Jakarta. Mungkin saja, aku tidak tahu persis, beliau membutuhkan teman. Begitu, Pak Bajus? Oh, aku hampir lupa. Ini uang ganti rugi untuk tanah si Goder. Atas nasihat Pak Bajus uangmu tak dipotong apa pun."
 
Bajus terbatuk. Memutar ke samping untuk memperlihatkan sasmita kepada lurah Pecikalan. Laki-laki tua itu tanggap lalu bangkit.
 
"Nah, aku minta kamu mematuhi Pak Bajus. Yah, tidak boleh tidak orang seperti kamu harus patuh. Silakan." Dan lurah Pecikalan melangkah ke luar.
 
Bajus kembali terbatuk. Cengar-cengir sebentar lalu menyuruh Srintil pindah ke kursi yang lebih dekat. Tangan Bajus mencubit pipi Goder. Kata pertama yang keluar sungguh di luar dugaan Srintil.
 
"Ini bukan anakmu, kan?"
 
"Ya, Pak," jawab Srintil masih tetap menunduk.
 
"Aku sudah tahu banyak hal tentang kamu. Cobalah angkat mukamu. Kita berbicara seperti biasa."
 
"Ya, Pak."
 
"Begini, Srin. Tadi Pak Lurah berkata seperti itu. Ada benarnya sepanjang tidak diartikan secara berlebihan. Aku memang ingin berkenalan dengan kamu. Jangan khawatir, aku belum punya istri. Bagaimana?"
 
"Tetapi, Pak..."
 
"Bagaimana?"
 
"Jadi Bapak..."
 
"Tidak usah sebut aku begitu. Mas!"
 
"Oh, Pak. Eh, Mas. Jadi Mas sudah tahu siapa aku. Aku takut, Mas. Dan Mas tidak pantas bergaul dengan seorang bekas tahanan."
 
"Sudahlah. Nah, kali ini cukup sekian. Besok atau lusa aku akan datang ke Dukuh Paruk. Boleh, kan?"
 
"Untuk apa, Mas?"
 
"Yang jelas bukan untuk menginap atau semacam itu. Percayalah. Bagaimana?"
 
"Boleh, Mas. Tetapi aku takut berbuat salah."
 
"Ya, aku mengerti perasaanmu. Untuk ini akulah yang bertanggung jawab."
 
Ada sebuah titik keberanian terbit di hati Srintil. Seperti sebuah bintang kecil muncul di ufuk langit timur ketika alam yang terbentang adalah kegulitaan sempurna. Tetapi Srintil belum percaya. Maka ditatapnya wajah Bajus sejenak. Ada keramahan, ada pertanda pengakuan bahwa Srintil masih diakui sebagai warga kehidupan. Dan ada senyum, senyum kelelakian. Srintil ingin surut. Pengalaman dengan kelelakian yang telanjang adalah sejarahnya yang paling getir. Namun wajah Srintil cerah kembali ketika tangan Bajus lagi-lagi menggamit pipi Goder. Itu bukan sikap kelelakian telanjang, melainkan sepercik kemanusiaan yang betapapun kecilnya terasa amat mahal bagi Srintil.
 
Keluar dari balai desa Srintil berjalan cepat. Kalau bukan karena Goder menagih janji maka Srintil pasti akan langsung pulang. Tetapi karena Goder minta balon dan es maka Srintil mampir ke sebuah warung. Dari sana Srintil meneruskan perjalanan. Tiba-tiba saja dia kurang bernafsu melayani Goder yang berbicara macam-macam.
 
kannya bersuka-ria seorang diri di halaman. Rekaman pertemuannya dengan Bajus berputar kembali dalam gambar yang demikian jelas. Dan Srintil masih kurang percaya bahwa peristiwa itu baru terjadi kurang dari satu jam yang lalu; pertemuan yang jauh lebih berharga daripada sejumlah uang yang masih berada di balik setagennya.
 
Duh, Pengeran, ada apa lagi dengan kelelakian. Besok atau lusa dia akan datang. Aku harus bagaimana? Bajus akan datang sebagai warga kehidupan atau mewakili dunianya sendiri? Entahlah. Namun aku tidak percaya tak ada pamrih. Kemudian Srintil tertegun karena merasa telah berbuat sesuatu di luar wewenangnya; menjatuhkan vonis bersalah terhadap orang yang punya pamrih. Srintil cepat-cepat berusaha menghapus kecurigaannya terhadap maksud kedatangan Bajus. Namun pada saat yang sama timbul angan-angan baru yang sama-sama menakutkan. Yakni bila Bajus datang dengan tujuan yang sejati. Seorang lelaki bujangan ingin berkenalan dengan seorang perempuan tanpa suami; maka bila tidak ada maksud petualangan, tinggal satu makna yang bisa diterjemahkan. Dan Srintil merasa ngeri terhadap angan-angan indah yang sekejap melintas dalam hatinya. Nelangsa dan takut.
 
Nelangsa. Karena Srintil tak bisa membebaskan diri dari perasaan tidak berkelayakan menerima kesejatian. "Duh Pengeran, andaikan aku bukan seorang bekas tahanan." Srintil mengisak. Merebahkan diri ke samping dengan pinggul melintir karena kaki Srintil masih dalam posisi ongkang-ongkang. Ketika pikiran terhenti dan tak mampu menembus ketidakberdayaan maka angan-angan tentang masa lalu, seribu kenangan, muncul silih berganti. Tentang rumah tahanan di kota Eling-eling, di mana resminya Srintil diberi tugas membantu bagian dapur. Tentang kuali raksasa yang digunakan untuk mengolah kangkung dan genjer hanya dengan bumbu garam untuk lauk grontol, rebus biji jagung. Atau sikap sesama tahanan perempuan yang iri hati sebab Srintil mempunyai handuk bagus, sabun mandi, dan di bawah tikar tempat tidurnya ada cermin serta pupur.
 
Kemudian muncul bayangan Bajus. Oh, dialah orang luar pertama yang bersikap wajar. Ya. Srintil baru bisa memastikan sekarang bahwa yang dimintanya dari kehidupan ini adalah kewajaran yang bisa diterima secara umum dan mendasar. Tetapi mengapa kewajaran yang datang melalui penampilan Bajus jadi menakutkan?
 
Matahari melintas makin jauh ke barat. Angin mengalir membuat desah lembut ketika menyelinap celah atap ilalang. Derit ayunan bambu di samping rumah Sakum dan tawa riang Goder yang sedang bermain balon karet di halaman. Jasad dan jiwa Srintil yang lemah dan lelah menuntut istirahat. Sekejap saja Srintil sudah berada dalam alam antah-berantah. Kupingnya mendengar irama calung yang sangat bergairah. Di hadapannya terlihat beribu-ribu pasang mata yang menatap kagum. Srintil menantang mereka dengan lenggang-lenggok. Suaranya adalah sugesti berahi yang tersamar dalam tembang. Wakul kayu cepone wadhah pengaron, kapanane ketemu padha dhewekan... Tetapi entah mengapa kemudian penonton bubar kocar-kacir. Rentetan tembakan. Srintil lari meninggalkan arena pentas. Dan sebuah tangan besi mencekal tengkuknya. Dia ingin berteriak namun tangan besi itu mencekik lehernya kuat-kuat. Srintil hanya bisa meronta-ronta. Ketika terasa tangan besi itu mengendur Srintil melenguh seperti ternak dipotong.
 
"Eh, lha! Tidur siang kok mengigau. Bangun, jenganten. Bangun. Lihat ini anakmu jatuh ke comberan. Ayo bangun."
 
Srintil menggelinjang. Bangun lalu duduk linglung. Terengah-engah. Matanya blingsatan masih menampakkan sisa ketakutan. Dahi dan tengkuknya basah.
 
"Ada apa, jenganten, mimpi buruk? Eh, lha. Wong habis menerima uang kok malah mengigau. Ini lihat. Anakmu habis masuk comberan dan sudah saya basuh kaki dan tangannya."
 
Srintil masih linglung dan hanya sekejap melihat Goder yang sedang dibopong Nyai Kartareja. Tanpa berkata sepatah pun Srintil bangkit dan masuk ke dapur. Dengan gayung diciduknya air dari tempayan untuk membasuh muka. Segelas air di atas meja ditenggaknya habis.
 
"Sekarang katakan, jenganten. Mimpi apa. Digigit ular barangkali?" tanya Nyai Kartareja sambil menyerahkan Goder kepada Srintil.
 
"Sudahlah, Nyai. Ketakutanku terbawa ke dalam mimpi."
 
"Takut? E, lha. sampean masih saja berkata begitu. Zaman sudah aman, jenganten. Jadi apa lagi yang sampean takutkan?"
 
"Kapan-kapan dia mau datang kemari, Nyai. Aku takut. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
 
"Dia siapa?"
 
"Pak Bajus."
 
"Pak Bajus yang suka memimpin orang mengukur tanah?"
 
Srintil mengangguk. Dan Nyai Kartareja terpaksa percaya bahwa Srintil sedang menghadapi kebimbangan. Tak ada kepura-puraan pada wajahnya.
 
"Eh, lha. Aku jadi tidak mengerti, jenganten. Mengapa sampean sekarang takut dengan setiap lelaki yang datang. sampean menolak Marsusi. Tamir juga sampean tolak. Lalu sekarang sampean takut menghadapi Bajus. Aku tidak mengerti, jenganten."
 
"Aku juga tidak mengerti, Nyai. Namun untuk menjawab Marsusi atau Tamir, gampang saja. Tidak! Nah, Nyai. Aku tak sanggup berkata seperti itu kepada Pak Bajus. Entahlah, Nyai. Harus bagaimanakah aku ini."
 
"Kenapa begitu, jenganten?"
 
"Nyai, aku melihat, aku merasa, Pak Bajus tidak ingin main-main. Nyai..."
 
Nyai Kartareja memperhatikan dengan saksama garis-garis ekspresi pada wajah Srintil. Ada sesuatu yang berakar dari kedalaman jiwanya. Sedikit demi sedikit dibangunnya pemahaman tentang apa yang sedang menjadi angan-angan Srintil. Tidak sulit bagi Nyai Kartareja buat berpikir sampai kepada kesimpulan yang jitu. Tersenymn, kemudian digamitnya pundak Srintil.
 
"Wah iya, jenganten. sampean masih muda. sampean baru dua puluh tiga tahun dan cantik. Sungguh tidak aneh bila ada lelaki menginginkan sampean."
 
"Dan Mas Bajus masih bujangan."
 
"Nah!"
 
"Tetapi, Nyai. Aku bekas ronggeng. Aku bukan perempuan ,somahan, perempuan rumah tangga. Orang tidak akan percaya bahwa aku meski bekas seorang ronggeng akan mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik. Nyai, siapa pun tidak akan percaya."
 
"Eh, lha belum tentu, jenganten. Buktinya, Pak Bajus itu. Bila dia tak percaya sampean bisa menjadi perempuan somahan mengapa dia ingin bersungguh-sungguh dengan sampean?"
 
"Entahlah, Nyai. Tetapi bisa saja sekarang dia percaya karena sesuatunya belum menghadapi ujian. Aku takut sekali waktu datang ujian aku harus menghadapi kenyataan pahit, ketidakpercayaan itu. Bila sampai terjadi demikian, Nyai, sia-sialah semuanya. Aku bisa lebih sengsara daripada sekarang."
 
"jenganten, andaikan aku adalah sampean, maka aku tidak akan berpikir sejauh itu. Aku hanya akan berpikir bagaimana menggunakan kesempatan yang mungkin amat langka ini. Pak Bajus bujangan dan priayi. Dia orang jauh sehingga sampean bisa menempuh kehidupan baru di tempat yang baru pula. Dan seperti kata sampean sendiri, Pak Bajus kelihatan bukan hendak bermain-main. Apa lagi, jenganten?"
 
"Ya, Nyai. Tetapi aku harus bagaimana?"
 
Nyai Kartareja tertegun. Baginya Srintil adalah sebuah sosok tanpa aling-aling. Perempuan itu tahu segalanya, tahu bagaimana dulu Srintil menghadapi laki-laki, puluhan laki-laki yang ia sukai. Srintil pernah menjadi gowok bagi Waras dari Alaswangkal. Gowok adalah perempuan yang mengajari laki-laki tentang caranya menjadi lelaki. Maka Nyai Kartareja amat yakin bahwa mencari jawaban bagi pertanyam Srintil sama mudahnya dengan mengedipkan mata.
 
"Eh, lha. sampean ini cantik. sampean mempunyai pakaian yang bagus serta mempunyai perhiasan emas. Mandi keramas, matut salira secantik mungkin lalu bermanja kepada tamu yang akan datang itu. Masa iya nenek bangka ini harus mengulangi pelajaran yang kuberikan kepada sampean sepuluh tahun yang lalu?"
 
Srintil melengos dengan sengit. Jawaban yang diucapkan oleh Nyai Kartareja sedikit pun tidak menyentuh kebimbangan dalam hatinya. Kenyataan yang pahit; seorang yang hingga menjadi nenek tetap hidup di Dukuh Paruk dan sekian tahun menjadi semang Srintil tak mampu menggapai akar kepelikannya. Srintil mengeluh dan mendesah. Dia ingin kembali merenung seorang diri. Dan dia tahu cara yang baik untuk menyuruh Nyai Kartareja menyingkir: selembar uang.-bp-
 
 
***
 
 
 
Dukuh Paruk sesudah geger komunis 1965 adalah Dukuh Paruk yang sudah dibakar dan hanya tersisa puing-puingnya. Apabila dulu beberapa rumah sudah beratap genting atau seng dengan penerangan lampu pompa maka sekarang semua rumah sama, gubuk beratap ilalang dengan penerangan pelita di malam hari. Tak ada tembang, tak ada calung, dan tak ada lelaki luar yang datang karena tak ada satu pun lelaki yang rela dikatakan berhubungan dengan ronggeng yang baru pulang dari tahanan. Boleh jadi Marsusi adalah kekecualian karena dia pernah berusaha menghubungi Srintil melalui Nyai Kartareja. Tetapi Marsusi tidak akan berani seperti dulu, membawa motornya masuk ke Dukuh Paruk.
 
Meskipun Dukuh Paruk selalu paling terbelakang namun dulu dia mandiri. Dia menyatu dengan ketenaran irama calung dan ronggeng. Dan ketika indang ronggeng ada pada diri Srintil semua orang di sana bangga disebut sebagai orang Dukuh Paruk. Lalu apa yang kemudian terjadi adalah bukti kebenaran kata-kata mendiang Sakarya. Bahwa zaman berjalan sambil mengayun ke kiri dan ke kanan. Setelah Dukuh Paruk mencapai puncak kebanggaan kini zaman mengayunkannya ke kurun yang membawa serba kebalikannya. Orang Dukuh Paruk merasa sukar berjalan dengan kepala tegak apalagi bila sedang berada di luar tanah airnya. Orang Dukuh Paruk tidak ingin berbuat sesuatu yang bisa diartikan sebagai penampilan rasa bangga. Dalam segala urusan mereka ingin memberi kesan sedang meniti nasib dengan penuh penyesalan serta rasa bersalah. Bukan salah yang kepalang tanggung tetapi salah karena merasa seolah-olah ikut mengguncang kehidupan.
 
Apabila kebanyakan orang Dukuh Paruk mengidap perasaan demikian maka yang terjadi pada diri Srintil beberapa kali kelipatannya. Dia, inisalnya, dengan kesadaran penuh lebih suka bersarang di dalam gubuk kecil meskipun sebenarnya dia mampu membangun atau membeli sebuah rumah yang layak. Sebuah kalung atau salah satu gelangnya cukup untuk membeli sebuah rumah kayu beratap genting. Namun Srintil tidak akan melakukannya. Tatapan mata semua orang menuntut setiap manusia Dukuh Paruk memperlihatkan penyesalan dan keprihatinan.
 
Dulu Sakum sering bertembang di malam hari. Kalau perut seisi rumah kenyang Sakum akan bertembang lagu-lagu dolanan yang gembira dan kadang kocak. Kalau sehari tak ketemu makanan Sakum biasa membawakan kidung yang ngelangut menusuk dasar jiwa. Kini keadaan rumah Sakum hanya bisa diperbandingkan dengan kebun tembakau atau palawija di pelataran kali. Pada malam hari puluhan jangkrik berderik mengadu kekuatan suara. Jangkrik yang kecil bersuara kering nyaring menyakitkan gendang telinga, yang besar bersuara berat dan lebih enak didengar. Sementara itu penghuni gubuk, Sakum anak-beranak, meringkuk berdesakan seperti anak ayam kehujanan di emper rumah.
 
Di gubuk lain Srintil kelihatan sudah memejamkan mata tetapi sama sekali belum tidur. Ketika Goder sudah lelap Srintil merasa melayang-layang seorang diri dalam dunia tanpa pijakan. Besok atau lusa adalah hari-hari yang kedatangannya amat menggelisahkan. Kadang Srintil ingin kembali bisa merengek seperti bayi. Kadang ingin bisa berdendang lagu asmara seperti gadis muda. Tetapi kadang dia mendambakan menjadi bekicot yang sewaktu-waktu bisa bersembunyi dengan aman dalam rumah kapurnya yang keras. Lamban dan diam, asyik dengan dirinya sendiri, tak peduli dengan apa pun di sekitarnya karena yang terpenting adalah selamat dan tidak repot.
 
Burung celepuk menggeram dari pepohonan di atas makam Ki Secamenggala yang sudah lama tidak terawat. Gema suaranya membuat Srintil merasa kecil dan makin kecil. Dia meringkuk di bawah selimut kainnya. Srintil benar-benar ingin menjadi bekicot yang ingin mengundurkan diri ke dalam rumah labirin, melupakan segalanya dan tidur. Tetapi kebimbangan tak bisa diajak berdamai. Dia mengusik, terus mengusik. Srintil mengalah dan pelupuh bambu berderit ketika dia bangkit.
 
Ada kenangan bawah sadar yang menarik Srintil berjalan ke bilik sebelah. Membuka pintunya perlahan-lahan kemudian Srintil melangkah masuk dan berhenti tepat di pinggir balai-balai. Neneknya, Nyai Sakarya, sedang tidur. Kempis-kempis dan renta.
 
"Nek," ujar Srintil lirih sekali. Entah mengapa tiba-tiba hatinya diamuk nelangsa. Air matanya meleleh.
 
"Nek."
 
"Oh, eh siapa? Srintil, kenapa engkau, Cucuku Wong Ayu?"
 
"Nek."
 
"Ya, Cucuku. Eh, engkau menangis?"
 
"Nek. Aku mau tidur di sini bersama Nenek."
 
"Oalah. Mari, Cucuku, mari. Oalah eman, eman, Cucuku. Ada apa rupanya?"
 
Srintil tidak menjawab tetapi langsung merebahkan diri, melipat tubuh sekecil mungkin dalam pelukan Nyai Sakarya yang ringkih dan apek. Ada setitik kesejukan. Srintil surut dua puluh tahun ke belakang kala dia selalu mencari perlindungan pada haribaan Nyai Sakarya bila hati sedang sedih dan nelangsa.
 
Sesungguhnya Srintil sadar neneknya tidak mampu memberikan sesuatu untuk menyelesaikan kebimbangannya, namun belaian tangan perempuan tua itu bisa meredam kegelisahan. Nyai Sakarya sendiri tidak mendesak Srintil mengutarakan perasaannya karena pertanyaan yang berulang-ulang hanya dijawab dengan sedu-sedan. Seorang perempuan yang sudah tujuh puluh tahun menjadi warga kehidupan; Nyai Sakarya mengerti ada keruwetan dalam hati cucunya. Dan pastilah keruwetan itu terjadi pada pusat wilayah pribadi Srintil sehingga Nyai Sakarya merasa tidak mampu berbuat sesuatu kecuali membelai rambut cucunya. Lama-lama Srintil berhenti mengisak. Beberapa kali terdengar desah panjang sebelum napas Srintil berubah lembut dan teratur. Seperti orang yang lama berjalan di bawah terik matahari lalu mencapai kerindangan sebuah pohon besar. Sejuk dan teduh-nyaman. Sejenak Srintil lepas dari kebimbangan. Berangkat tidur diantar oleh belaian nenek adalah tidur seorang cucu yang dimanjakan. Buat sementara Srintil terbebas dari kungkungan keberadaannya.
 
Pagi-pagi halaman dan tanah pekarangan di Dukuh Paruk berhias mosaik dedaunan yang jatuh semalam. Daun nangka luruh dengan warna kuning tua kemerahan. Tetapi daun ketapang benar-benar berwarna merah. Di bagian-bagian yang tidak terkena terik matahari lumut dan beberapa jenis rumput masih hidup memberi corak hijau lembut. Di bawah rumpun bambu berserakan daunnya yang gugur, cokelat dan kuning tua. Keremangan pagi memberi penyinaran yang tepat sehingga mosaik alam tampak demikian hidup. Dari hamparan daun-daun gugur itu sesekali terbias kilau embun. Kadang terlihat uap tipis mengambang dari pangkal batang pisang yang sudah ditebang.
 
Adalah keajaiban hati yang mampu menyimpan perasaan yang berubah-ubah. Bila malam hati Srintil masih dicekam kebimbangan maka pada pagi hari segala kegalauan rasa sudah mengendap. Barangkali Srintil tetap tidak merasa pasti apa yang harus dilakukannya. Namun dia sudah berbuat sesuatu yang ternyata membuat Nyai Kartareja tersenyum-senyum di belakang rumah. Srintil sedang membakar ikatan gagang padi buat keramas. Namun sebelum pergi ke pancuran Srintil kelihatan berjalan menuju rumah Sakum.
 
"Masih menjual jangkrik di pasar Dawuan, Kang?" tanya Srintil kepada Sakum yang sedang menata ruas-ruas bambu berisi dagangan, jangkrik.
 
"Lha iya. Mau apa lagi, jenganten. Untung ada jangkrik!"
 
"Ya. Aku mau minta tolong, Kang. Belikan gula dan bubuk kopi yang bagus. Juga pepaya dan jeruk. Mau, Kang?"
 
Sakum diam sejenak. Kedua matanya yang keropos bergerak-gerak. Sakum yang memiliki kepekaan luar biasa menangkap kelainan suasana. Memang bukan sekali-dua Srintil minta tolong dibelikan sesuatu tetapi biasanyakelepon atau ondol-ondol buat Goder. Kadang juga ketupat. Kali ini adalah gula, kopi, dan buah-buahan. Lebih dari itu Sakum merasa suara Srintil keluar dari jiwa yang dalam.
 
"Mau, Kang? Ini uangnya."
 
"Tentu saja mau, jenganten," jawab Sakum yang cengar-cengir.
 
"Ada tamu ya! Siapa?"
 
"Kok kamu tahu, Kang?"
 
"Ya! sampean sudah kenal sejak bocah siapa Kang Sakum."
 
Benar, Kang. Ada orang mau bertamu ke rumahku."
 
"He... he. Marsusi, ya?"
 
"Salah. Orang Jakarta, Kang."
 
"Orang Jakarta? Ah, ya, di pasar Dawuan orang berkata sekarang ini banyak priayi Jakarta berdatangan. Nah, jenganten, andaikan sampean masih meronggeng. Bukan main!"
 
"Aku tidak akan meronggeng lagi, Kang. Aku sudah tua."
 
"Iya! Si Sakum tahu sampean bukan lagi seorang ronggeng. Bukan karena sudah tua. sampean masib muda. Tetapi si Sakum setiap hari mendengar suara sampean, bukan lagi suara ronggeng. Tidak bisa tidak sekarang Dukuh Paruk tanpa ronggeng."
 
Ada tekanan yang khas dan pasti pada kata-kata Sakum. Sekarang Dukuh Paruk tanpa ronggeng. Mula-mula Srintil agak terkejut mendengarnya. Matanya membulat dan kedua alisnya naik pertanda Srintil sedang berusaha keras memahami kata-kata si mata keropos. Memahami apa yang terucap dan apa yang tersembunyi di baliknya. Lalu Srintil maju selangkah dan berbisik di dekat telinga Sakum.
 
"Betulkah aku bukan lagi seorang ronggeng, Kang?"
 
"Betul! Andaikan dipaksa meronggeng pun sampean bakal tidak laku. Burung indang telah terbang dari kurungan. Indang ronggeng kini tidak ada pada tubuh sampean."
 
Kedua pundak Srintil jatuh. Napas lega berembus dengan bebas dan lepas. Kata-kata Sakum terdengar sebagai mantra sakti yang telah membebaskan Srintil dari beban moral yang teramat berat dan Srintil tak kuasa menahan air matanya.
 
"Lho, sampean menangis?"
 
"Aku tidak menangis, Kang. Tidak."
 
"Jangan bohong. Aku mendengar napas orang menangis. Percuma, jenganten. Jangan menangis. Ditangisi pun indang ronggeng takkan kembali."
 
"Jangan salah duga, Kang. Aku menangis bukan karena sedih tetapi karena senang."
 
"He... he. Lha iya. Lebih baik nrimo pandum saja. Dan bergembira karena akan ada tamu orang Jakarta."
 
"Kang?"
 
"Eh, mana uangnya. Aku mau berangkat, nanti kesiangan."
 
Srintil menyerabkan uangnya. Lalu diperhatikannya Sakum yang berangkat menuju pasar Dawuan. Meski buta kedua matanya Sakum dapat mengenali jalan yang akan dilaluinya seperti dia mengenal setiap benda di ujung jari. Kemudian Srintil meneruskan maksudnya mandi di pancuran. Selama melangkah ke sana Srintil tidak mendengar suara anak-anak Sakum yang sudah heboh dengan ayunan bambunya. Tidak didengarnya suara burung-burung. Di dalam telinga Srintil hanya terdengar suara kecapi Wirsiter dan Ciplak, penjaja musik yang selalu membawakan asmara dahana.
 
Ketika sedang mandi kata-kata Sakum terus mengiang di telinga Srintil; dia bukan lagi ronggeng. Duh, Pengeran, alangkah enak didengar. Sekarang baru Sakum seorang yang mengatakan aku bukan ronggeng. Aku akan membuktikan diri sehingga nanti semua orang berkata sama seperti Sakum.
 
Dan masih di pancuran itu Srintil mulai membuktikan diri siapa dia sekarang. Ketika masih meronggeng Srintil selalu mandi telanjang dan tenang saja bila ada mata laki-laki mengintipnya, pura-pura tidak merasa sedang diintip atau bahkan sengaja demi mempermainkan jantung laki-laki. Itu dulu. Kini Srintil mandi dengan kain petelesan sehingga hanya dari dada ke atas yang terbuka. Dulu Srintil sering mandi sambil greyengan, sekarang dia mandi dengan tertib dan khidmat.
 
Citra seorang perempuan kebanyakan, itulah yang ingin digapai oleh Srintil sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. Srintil sudah lama memikirkannya, lama sekali. Tetapi baru di pancuran itulah dia melaksanakan dalam tindakan setelah Sakum mengatakan dengan sungguh-sungguh bahwa Srintil sudah ditinggal indang ronggeng.
 
Atau bahkan sebenarnya sudah lama Srintil mempertanyakan kembali konsep keperempuanannya yang sekian lama diyakini sebagai bagian dari kebenaran. Bahwa keperempuanan berada pada piring timbangan yang satu dan piring timbangan yang lain berisi kelelakian. Itu yang utama. Dan bahwa seorang perempuan tertentu adalah istri lelaki tertentu adalah nomor dua. Dalam pengertian ini Srintil merasa bangga menjadi ronggeng karena seorang ronggeng adalah dinginnya air bagi panasnya api kelelakian. Dia adalah pemangku naluri kelelakian, bukan hanya pemangku naluri seorang laki-laki. Urusan kelelakian seperti demikian adanya jauh lebih luas daripada urusan seorang lelaki. Maka dulu Srintil berpendapat tugas seorang ronggeng dalam kehidupan lebih mulia daripada tugas seorang istri.
 
Kemudian Srintil sendiri yang merasakan kepahitan sejarah hidup yang ditempuhnya sebagai perempuan milik umum. Dia ingin membalik pengertian semula; menjadi istri laki-laki tertentu adalah inti keberimbangan antara keperempuanan dan kelelakian. Maka tugas seorang istri lebih mulia daripada tugas seorang ronggeng. Dan pagi ini Srintil mendengar Sakum berkata bahwa dia bukan lagi ronggeng.
 
Pulang dari pancuran Srintil menengok Goder, ternyata masih tidur. Kemudian ke dapur. Mulai pagi ini Srintil akan mengambil alih segala urusan dapur yang semula diserahkan kepada neneknya, Nyai Sakarya. Seorang perempuan somahan adalah perempuan yang mengerti dan mau mengurusi keperluan dapur. Srintil akan melakukannya dengan segala senang hati.
 
Di pasar Dawuan Sakum menarik perhatian orang karena berbelanja buah-buahan dalam jumlah yang banyak. Orang tidak percaya dari uang penjualan jangkrik Sakum bisa berbelanja sebanyak itu. Biasanya Sakum hanya membeli sedikit minyak kelapa, setengah botol minyak tanah, singkong, dan kelapa. Kali ini ada jeruk dan pepaya.
 
"Hayah, Kang Sakum," ujar Babah Gemuk dari tempat dagangannya,
 
"kamu belanja-belanja. Kamu banyak duit sekalang. Dapat nomel buntut, ya?"
 
"Buntut jangkrik, Bah?" Sakum balik bertanya dengan seloroh.
 
"Nomel buntut. Apa olang Dukuh Paluk tidak doyan buntutan?"
 
"Tidak, Bah. Orang Dukuh Paruk tidak punya uang."
 
"Nah, itu kamu belanja-belanja? Uang dali mana?"
 
"Ini Srintil yang titip, Bah. Kalau aku, mana punya uang."
 
"E, iya. Hayah. Slintil sudah lama tidak kelihatan
di pasal. Pagimana dia?"
 
"Apa tidak tahu Srintil baru pulang dari tahanan?"
 
"Saya tahu, saya tahu. Tetapi sekalang dia di lumah. Suluh kemali dia. Hayah. Saya ada balang bagus-bagus. Ada pupul dali Palis, ada gincu dali Hong Kong, ada tas dali Singapula. Hayah, banyak balang bagus."
 
"Ada jangklik dali Amelika!" jawab Sakum dengan tawa. Orang-orang yang mendengar ikut tertawa. "Aku tidak main-main. Suluh Slintil datang kemali. Dia masih cantik, kan?"
 
"Cantik memang miliknya, Bah."
 
"Naaa. Apa aku kata. Katakan sama dia. Bila datang kemali ada hadiah dali Babah Gemuk. He... he... he..."
 
"Tidak bisa, Bah. Srintil akan menerima tamu orang Jakarta. Yang kubawa ini jeruk dan pepaya, akan digunakan Srintil untuk menyuguh tamunya." Sakum berlalu menjinjing bawaannya yang berat.
 
Babah Gemuk sudah lupa apa yang terjadi beberapa detik berselang. Dia mulai sibuk melayani pembeli. Tetapi para perempuan mulai berceloteh.
 
"Memang untung jadi orang cantik. Biar habis ditahan, biar tinggal dalam gubuk terpencil di Dukuh Paruk, masih ada saja lelaki yang mencarinya. Tamu Srintil kali ini malah orang Jakarta."
 
"Memang. Dan salahmu sendiri, Mbakyu, kenapa mau jadi orang tidak cantik. Bibir bergantungan dan hidung seperti buah salak."
 
"Iya. Untung suamiku bodoh sehingga aku sempat melahirkan anak-anak."
 
"Suamimu tidak bodoh, Mbakyu. Dia hanya melarat. Coba kalau dia punya uang. Pasti dia tidak sudi punya istri sampean."
 
"Lalu suamimu?"
 
"Dia suamiku bila di rumah. Bila di luar saya tidak tahu."
 
"Iya. Aku sebenarnya juga tidak tahu apa yang dilakukan suami di rumah selagi aku di pasar begini. Tetapi aku tak pernah berpikir macam-macam. Aku tak mau sakit menahun."
 
"Dalam kehidupan ini, Mbakyu, ada perempuan-perempuan semacam Srintil. Entah mengapa."
 
"Iya, Boleh jadi enak jadi perempuan macam dia. Tidak pernah susah-susah bekerja tetapi dapat uang."
 
"Mbakyu iri, ya!"
 
"Kadang ya, kadang tidak. Iri bila sedang menghadapi kerepotan macam-macam dan suami banyak tingkah. Tetapi tidak iri bila aku sedang sadar awak ini buruk. Punya suami sudah untung!"
 
"Tetapi, Mbakyu, coba lihat tetangga kita penjual kain batik itu. Di pasar Dawuan ini pasti dialah yang paling kewes, anak orang kaya pula. Suaminya, Mbakyu. Sudah jelek, kerjanya cuma memikat burung perkutut. Kadang malah mengambil uang istrinya buat berjudi. Mbakyu, sampean mau berkata apa tentang perempuan seperti tetangga kita itu?"
 
"Gampang. Tentu saja dia perempuan bodoh. Karena dia tidak menyadari dirinya yang bisa bersanding dengan laki-laki yang lebih pantas. Misalnya aku..."
 
"Mbakyu, kok keluarga mereka tenang saja?"
 
"Bila demikian maka yang diperlukan perempuan seperti itu hanya seorang lelaki yang menjadi ayah anak-anaknya. Itu saja. Tetapi bagaimanapun juga suaminya adalah lelaki asu buntung, mau enaknya saja!"
 
"Nah, Mbakyu. Bagaimana tentang seorang suami yang gagah, punya duit, tetapi istrinya royal?"
 
"Itu perempuannya yang asu buntung!"
 
"Wah! Jadi yang benar mana?"
 
"Yang benar? Ya kita ini. Kita memang buruk tetapi punya suami dan anak-anak. Dan suami kita tidak nyeleweng karena mereka melarat. Lho iya! Kita beruntung karena kita nrimo pandum."
 
"Jadi sampean tidak iri dengan Srintil?"
 
"Yah, tidak."
 
"Tidak mengeluh karena sampean punya hidung seperti buah salak?"
 
"Hus!"
 
Cekikikan yang renyah terdengar dari sudut pasar. Renyahnya kehidupan bersahaja dan penuh kerelaan. Hidup ini dihayati seperti apa adanya.-bp-
 
 
***
 
 
 
Rasus bimbang ketika mendapat cuti tiga hari sebelum dia bersama batalionnya diterbangkan ke Kalimantan Barat untuk bertugas di sana. Hampir semua temannya pulang kampung; yang sudah kawin pulang berpamitan kepada anak-istri, yang masih bujangan pulang hendak minta restu kepada orang tua. Rasus sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kedua orang tuanya mati termakan racun bongkrek ketika Rasus masih sangat bocah. Nenek yang terpaksa berperan sebagai satu-satunya orang tua sudah meninggal lebih dari dua tahun yang lalu.
 
Dalam suasana biasa sebetulnya Rasus sudah berhasil membangun simbol pengganti orang tua. Untuk menentramkan hati kadang Rasus meyakinkan diri bahwa orang tuanya adalah kehidupan di mana dia menjadi salah seorang warganya. Kadang dia meyakini bahwa ayahnya bernama Divisi ke-7 Diponegoro dan ibunya adalah Batalion PQR. Saudara-saudaranya adalah seragam hijau dan bedil bersama amunisinya. Namun ketika melihat teman-temannya bertebaran pulang ke rumah masing-masing, simbol yang dibangun sedikit demi sedikit mendadak mandul. Divisi ke-7 Diponegoro dan batalionnya adalah orang tua yang baru dikenal sejak Rasus masuk tentara. Dia tidak menyimpan kenangan masa lalu, masa kanak-kanak yang penuh tawa dan tangis. Divisi dan batalion tidak menyediakan daun gadung buat bermain layang-layang, tidak memberikan tanah teduh di bawah pohon nangka sebagai arena bermain.
 
Dukuh Paruk dan hanya Dukuh Paruk. Meski sudah tidak ada orang tua atau kakek-nenek di sana, namun Dukuh Paruk masih mengundang kerinduan. Dulu, demi kesetiaan kepada Dukuh Paruk, Rasus rela dipukul komandan hingga pingsan. Demi Dukuh Paruk, Rasus pernah menempuh risiko besar dengan menerobos masuk rumah tahanan guna menemui seorang warga Dukuh Paruk yang sedang menjalani pengucilan. Bahwa dia yang dikucil bernama Stintil tidaklah utama. Tanah airnya yang kecil terpencil sudah diketahui Rasus dalam keadaan yang lebih merana. Bila dia kembali ke sana Rasus bukan hanya akan bertemu kumbang tahi yang beterbangan di pagi hari dan perut anak-anak yang cacingan. Rasus bukan hanya akan bertemu dengan wajah-wajah yang pucat serta serapah cabul. Kini Dukuh Paruk akan menyambutnya pula dengan atap-atap ilalang, kebisuan dan ketakutan yang bersembunyi di balik mata orang-orang sepuaknya.
 
Tetapi Rasus merasa tak mampu ingkar bahwa Dukuh Paruk adalah ibunya yang paling sah. Dukuh Paruk adalah sejarahnya sendiri yang paling pantas dibaca kembali ketika dia mendapat cuti tiga hari. Ke sanalah Rasus sedang melangkah setelah turun dari bus di Dawuan untuk berkangen-kangenan dengan pertiwinya yang kecil. Rasus ingin melihat rahim yang telah melahirkannya sebelum berangkat ke Kalimantan Barat entah untuk berapa lamanya.
 
Mencapai pematang panjang yang lurus menuju Dukuh Paruk, Rasus melihat seorang laki-laki berjalan jauh di depan. Dalam jarak beberapa puluh meter Rasus tidak bisa mengenali siapa laki-laki itu. Tetapi makin dekat makin kelihatan langkah kaki laki-laki itu meraba-raba.
 
"Kang Sakum, tunggu!"
 
Sakum serta-merta menghentikan langkah. Ingatannya bekerja untuk mengenali siapa pemilik suara yang memanggilnya. Laki-laki buta itu kelihatan ragu karena sudah lama tidak mendengar getar suara seperti yang baru didengarnya.
 
"Kang Sakum! Dari mana kau?"
 
"Eh? Rasus, Mas Rasus?"
 
"Iya, Kang."
 
"Waduh, Pak Tentara. sampean masih mau kembali ke Dukuh Paruk? Saya kira sudah lupa karena sampean sudah jadi tentara."
 
"Ah, masa begitu. Kucing saja tak pernah lupa di mana dia dilahirkan, apalagi saya."
 
"Syukur, kalau begitu, Mas. Sejuk hati orang Dukuh Paruk bila sampean pulang. Apalagi sekarang, Kang Sakarya sudah meninggal."
 
"Meninggal? Innalillahi. Kapan?"
 
"Hampir seratus hari."
 
Rasus menggelengkan kepala dan sejenak tak bisa meneruskan bicaranya. Dukuh Paruk yang merana kini bahkan ditinggal oleh tetuanya.
 
"Dan sampean mendengar Srintii sudah kembali?" sambung Sakum.
 
"Oh, jadi begitu? Syukurlah. Bagaimana dia sekarang?"
 
"Bagaimana? Dulu sekali saya sudah bilang pada sampean. Ambillah dia menjadi istri sampean. Nah, hari ini rupanya Srintil mau punya tamu. Katanya orang Jakarta. Ini jeruk dan pepaya adalah titipan Srintil, saya kira untuk menjamu tamunya nanti."
 
"Oh, jadi begitu. Masih sering menerima tamu dia?"
 
"Tidak pernah, Mas. Kemarin dulu saya dengar ada tamu, juga orang dari Jakarta. Tetapi Srintil tidak melayaninya. Kali ini entahlah. Pokoknya, ambil saja dia, Mas!"
 
Rasus tersenyum karena tak bisa menanggapi kata-kata Sakum. Digelengkan kepalanya buat mengusir pikiran macam-macam. Lalu dipandangnya ruas-ruas bambu yang dibawa Sakum. Ada jalan keluar untuk mengalihkan pembicaraan.
 
"Kamu berjualan jangkrik di pasar, Kang?"
 
"Lha iya. Untung anak-anak saya sudah pintar mencari jangkrik. Kalau tidak entah apa jadinya. Calung tak ada lagi. Ronggeng juga tidak ada lagi. Srintil kini bukan ronggeng. Dia sudah tidak mungkin kembali meronggeng. Indangnya sudah terbang. Itu pasti. sampean lihat sendiri nanti, suara Srintil bukan suara ronggeng seperti dulu. Mungkin juga perilakunya. Aku kan tidak bisa melihatnya. Sekarang ini aku tak pernah mendengar Srintil tertawa. Apalagi tembang ronggeng. Oh, kini tak ada orang Dukuh Paruk yang berani bertembang lagu-lagu ronggeng."
 
Sakum terus berbicara seakan ingin mengatakan segalanya tentang Dukuh Paruk, tentang Srintil. Tentang keris Kiai Jaran Guyang yang sudah lenyap. Keris itu yang suatu ketika diserahkan oleh Rasus kepada Srintil ternyata adalah pusaka para ronggeng Dukuh Paruk dari kurun ke kurun.
 
Ketika pembicaraan Sakum sampai kepada masalah Kiai Jaran Guyang ada kenangan menyentak masuk ke dalam hati Rasus. Dulu, keris itu diberikan Rasus kepada Srintil sebagai pernyataan kedekatan antara dua bocah Dukuh Paruk. Ketika itu Srintil yang baru menapaki pintu dunia ronggeng adalah segalanya bagi Rasus. Dia bukan hanya teman bermain. Pada diri Srintil, Rasus melihat bayang-bayang Emak yang tidak pernah dilihatnya sepanjang hidup. Emak yang lenyap entah ke mana sesudah dirawat di sebuah klinik setelah termakan racun tempe bongkrek.
 
Emak yang mati kemudian mayatnya dicincang-cincang dalam suatu upaya penyelidikan racun bongkrek, atau Emak yang sembuh dan hidup tetapi kemudian dibawa lari oleh mantri yang merawatnya entah ke mana. Kedua versi cerita sama baurnya. Kedua-duanya dahulu membuat kekacauan luar biasa dalam jiwa Rasus muda; mala petaka jiwa yang hanya tawar oleh sosok dan perilaku Srintil. Kemudian jiwa Rasus mendapat bencana buat kali kedua setelah Dukuh Paruk menobatkan Srintil menjadi ronggeng, perempuan milik semua laki-laki. Rasus tak mungkin bisa melihat bayang-bayang emaknya pada diri seorang ronggeng. Rasus yang hancur minggat meninggalkan Dukuh Paruk karena dia merasa tak punya dunia lagi di sana. Srintil yang menjadi ronggeng adalah Srintil yang berdaulat atas dunianya sendiri dan terhalang oleh jarak psikologis yang Rasus amat sulit menembusnya.
 
"Eh. sampean diam saja, Pak Tentara?"
 
"Ah, tidak, Kang. Ayolah kita terus. Aku sudah ingin segera sampai ke Dukuh Paruk."
 
Di rumahnya yang bertiang delapan potong bambu Srintil sudah kehabisan pekerjaan. Dapur sudah beres namun dia sungguh tidak ingin makan. Halaman sekitar rumah sudah disapu. Meja kursi bersahaja yang di sana-sini tersisa bekas terbakar sudah dilap. Neneknya sedang pergi ke rumah Tampi, menitipkan Goder. Seorang diri di rumah, Srintil berjalan hilir-mudik tak menentu. Kadang duduk sebentar lalu bangkit lagi. Beberapa kali Srintil menatap wajah sendiri dalam sebuah cermin kecil. Dia ingin selalu yakin bahwa bedak dan gincunya tidak berlebihan agar tidak dikatakan mirip ronggeng. Sanggulnya ditata meniru sanggul istri Kapten Mortir yang telah beberapa kali dilihatnya. Istri perwira itu cantik sekali, amat serasi bila sedang berjalan berdampingan dengan suaminya. Cara memakai kain pun meniru istri Kapten Mortir, tidak menyolok dalam hal pamer bentuk tubuh. Rapi. Srintil meninggalkan cara lama, memakai kain tinggi-tinggi agar betisnya berperan sebagai pemikat mata lelaki.
 
Setiap kali mata Srintil menatap lorong yang akan dilalui Sakum pulang dari pasar. Ketinggian matahari makin menggelisahkan hatinya. Dan Sakum tidak kunjung pulang. Apakah si buta itu terperosok ke dalam selokan? Atau celaka terlindas andong? Akhirnya Srintil duduk, pasrah dan rela menunggu apa saja yang paling pertama akan terjadi. Tetapi baru sejenak duduk Srintil mendengar heboh anak-anak Sakum yang menyambut ayah mereka pulang. Srintil bangkit. Dan duh, Pengeran, siapa tentara yang berjalan di samping Sakum. Darah Srintit lenyap dari permukaan kulit. Matanya berkunang-kunang. Kesadaran pertama yang memercik dalam hati Srintil adalah dirinya akan kembali ditahan. Tentara itu datang untuk mengambilnya.
 
Tetapi mata Srintil terbuka lebar ketika melihat tentara itu berlaku amat santun terhadap anak-anak Sakum. Duh, Pengeran, Rasus. Tidak bisa salah anak kambing yang liar itu datang. Srintil berhenti bernapas, berdiri tanpa gerak. Wajahnya tegang. Matanya tak berkedip dan kedua tungkainya bergetar. Kemudian Srintil duduk kembali. Lemas. Pipinya bernoda garis basah dan turun sejajar.
 
Duh, Gusti. Srintil melihat tanpa daya Rasus yang berjalan gagah tetapi hanya menoleh sejenak ke arah gubuknya. Jeruji bambu menghalang pandangan Rasus atas seorang perempuan muda yang sedang duduk lemas. Atau Rasus sengaja tidak ingin melihatku? Duh, Gusti.
 
Tidak jauh dari rumah Srintil, Rasus disergap oleh suami-istri Kartareja. Oh, mereka kangen-kangenan dengan mesra. Nyai Kartareja menepuk-nepuk pundak Rasus.
 
"Eh, lha, Cucuku Wong Bagus. Tambah gagah saja sampean ini. Mari singgah dulu."
 
"Ya," sambung Kartareja. "Lagi pula mau ke mana lagi. Nenekmu sudah mati. Malah gubuknya hampir roboh."
 
Rasus tercengang. Tetapi sesaat kemudian dia tersenyum, tawar. Langkahnya tidak gagah lagi ketika Rasus meneruskan perjalanan.
 
"Nanti aku akan kemari lagi. Sekarang aku mau melihat gubuk Nenek, gubukku."
 
Semua mata di Dukuh Paruk menatap ke sana ketika Rasus berjalan makin lambat dan kemudian berhenti di depan gubuk neneknya. Dia tidak segera masuk. Ditatapnya gubuk itu sambil termangu. Atapnya sudah tertutup daun-daun bambu yang jatuh dan mengering lalu melapuk. Ada beringin kecil mulai tumbuh di pinggir atap, akarnya seakan siap meremas keseluruhan gubuk yang sudah condong itu. Galur rumah rayap naik dari tanah sampai ke bubungan. Dinding bambunya yang sudah bolong di sana-sini tersaput hijau lumut.
 
Pintu dorongan berderak patah ketika Rasus menyorongnya agar terbuka. Rumah rayap berhamburan jatuh. Rasus harus menyipitkan mata agar tanah dan serpih-serpih kecil tidak melumpuhkan pandangannya. Lantai rumah hijau oleh lumut serta berlubang-lubang oleh gangsir yang bersarang. Seekor si kaki seribu berjalan lambat di dekat tiang kayu yang mulai ringsek. Rasus membersihkan muka yang terjaring ramat ketika melangkah masuk.
 
Sebuah dunia kecil telah lama berakhir dan kini tinggal remahnya. Sebuah lincak yang dulu menjadi tempat tidur Rasus pun kini telah menjadi remah. Di atas pelupuhnya bertaburan segala tahi, dari tahi ngengat, tahi cicak sampai tahi tikus. Rasus mencoba membersihkannya dengan topi lapangan yang bertengger di kepala. Tidak bisa bersih sempurna, namun Rasus menurunkan ransel untuk diletakkan di atas lincak itu yang berderik hebat ketika Rasus menindih dengan tubuhnya.
 
Berbantal ransel Rasus berbaring menengadah. Matanya tertutup seakan tak kuasa lebih lama menatap sarang tua yang lebih lima belas tahun dihuninya, rahim yang telah menetaskannya menjadi warga kehidupan. Ada keresek kadal lari di atas atap yang penuh sampah kering. Sesaat kemudian terdengar kegaduban di kayu bubungan. Seekor tikus mencicit dan sia-sia membebaskan diri dari gigitan ular ubi yang mulai menggulungnya.
 
Rasus terus memejamkan mata. Boleh jadi demi menahan tetes air matanya. Atau demi seribu kenangan yang hidup kembali dengan jelasnya. Mungkin juga demi ingatannya kepada Srintil yang mendadak muncul di depan mata. Kemarin ketika berangkat dari tempat tugasnya Rasus tidak menduga akan bertemu Srintil di Dukuh Paruk karena menyangka dia masih dalam tahanan.
 
Anak-anak merasa heran ada tentara masuk bahkan tiduran di dalam gubuk suwung. Mereka datang dan berdiri berkeliling di halaman, berbisik-bisik dan ada yang mengintip ke dalam. Tetapi anak Sakum, yang terbesar di antara belasan anak itu dengan bangga menerangkan kepada teman-temannya siapa tentara yang berada di dalam itu. Semua tercengang hampir tak percaya bahwa Rasus sama seperti mereka, anak Dukuh Paruk yang sebenar-benarnya.
 
"Jadi Pak Tentara itu saudara kita juga. Dulu, inilah rumahnya," kata anak Sakum. Wajah semua anak berseri-seri.
 
Beruntung Rasus mendengar cakap anak-anak itu sehingga pikiran yang sedang mengawang perlahan-lahan mengendap kembali. Ya, anak-anak. Kasihan mereka tidak mengenal siapa aku, pikir Rasus. Dia bangun lalu berjalan ke luar dengan senyum. Tetapi semua anak hendak berlari dan baru berhenti ketika Rasus memanggil mereka berulang-ulang. "Kemarilah, Anak-anak. Aku ingin bicara dengan kalian."
 
Anak-anak berhimpun kembali. Dengan canggung mereka berbalik berjalan mendekati Rasus. Namun Rasus sendiri bimbang hendak berbicara tentang apa dengan anak-anak yang bertelanjang badan itu.
 
"Ah, begini, Anak-anak. Sekarang sedang musim permainan apa?"
 
Tak ada yang menjawab. Tetapi seorang anak yang memegang layang-layang daun gadung menggerakkan tangannya.
 
"Ya, sekarang kemarau. Kalian suka main layang-layang?"
 
"Ya, Pak."
 
Rasus menghitung anak-anak itu. Lelaki ada delapan, perempuan tiga. Anak lelaki yang paling besar disuruh maju.
 
"Kamu lari ke Dawuan membeli delapan layang-layang dengan benangnya. Ini uang. Kalian yang perempuan suka main apa?"
 
Tak ada jawaban.
 
"Baik. Kalian boleh bermain bola karet. Belilah tiga buah, ini uangnya."
 
Ada kegembiraan luar biasa di halaman gubuk kosong itu. Anak-anak perempuan lari berlompatan setelah menerima uang dari tangan Rasus. Yang laki-laki berjingkrakan karena sebentar lagi mereka akan memiliki sebuah layang-layang kertas, bukan layang-layang daun gadung yang bertali rami batang pisang. Rasus masuk ke gubuk dan mengambil pisau tentara dari dalam ransel.
 
"Mari, Anak-anak, aku pun masih suka bermain. Lihatlah."
 
Mata Rasus berkeliling mencari bahan sasaran. Sebuah batang pisang kepok. Pisaunya dilempar ke sana, menghunjam masuk sampai ke gagangnya. Mata anak-anak terbeliak. Mulut mereka membentuk bulatan. Sedetik kemudian sorak-sorai mereka meledak. Rasus mengulang permainannya beberapa kali lagi. Kadang dia melemparkan pisaunya setelah lebih dulu membuat gerakan jungkir balik di udara. Anak-anak kelihatan menahan napas. Mereka sulit percaya balawa tentara yang tangkas itu benar-benar orang Dukuh Paruk. Terakhir Rasus memegang pisau pada ujungnya lalu menjatuhkannya lurus ke tanah. Pada saat terakhir kakinya mengayun menendang gagang pisau itu dengan sepatunya. Sekali lagi batang pisang kepok di sana merasakan tusukan yang keras dan jitu. Kali ini anak-anak membisu. Mulut mereka terkunci oleh rasa kagum. Anak-anak meminta Rasus meneruskan permainannya. Namun dengan halus Rasus menolak. Tiba-tiba saja semangatnya jatuh. Rasus teringat seorang teman yang pernah bermain pisau seperti itu. Bedanya bukan batang pisang yang dijadikan sasaran, melainkan seorang manusia yang terikat kedua tangannya. Rasus memejamkan mata tanpa dimengerti oleh anak-anak yang mengelilinginya.
 
Anak Sakum yang berlari ke pasar Dawuan untuk membeli layang-layang telah kembali. Delapan layangan lengkap dengan benangnya diserahkan kepada Rasus.
 
"Bagi saja, seorang satu."
 
Rasus melepas sepatu dan bajunya lalu menggiring anak-anak ke sawah di utara pedukuhan. Angin kemarau bertiup dari tenggara, mengapungkan delapan layang-layang aneka warna tinggi di udara. Kegembiraan siang itu adalah ceria yang sudah sekian lama tidak terjadi di Dukuh Paruk. Rasus sendiri tidak ikut turun ke sawah. Dia berdiri bersilang tangan di tepi dukuh, menatap anak-anak dengan wajah berseri, menatap bagian masa lalunya yang paling mengesankan.
 
Satu-satu orang dewasa berdatangan, berdiri mengelilingi Rasus. Mereka terlarut dalam kekangenan dan keakraban yang menyatu ditambah dengan ceria anak-anak yang sedang bermain layang-layang di tengah sawah. Lama-kelamaan hampir semua orang Dukuh Paruk muncul di tepi pedukuhan itu. Dalam diam dan dengan pandangan mata mereka menyatakan bangga mempunyai Rasus yang masih tetap berhati Dukuh Paruk, terbukti dengan keakrabannya yang tanpa cela terhadap anak-anak itu.
 
Rasus memutar tubuh membelakangi sawah agar bisa melayani percakapan orang-orang sepuaknya. Dan dia tidak melihat Srintil. Hati ingin bertanya di mana dia, tetapi bibirnya tak mau bicara. Rasus hanya bisa menduga-duga, Srintil sedang menerima tamunya, orang Jakarta. Siapa tahu.
 
Tidak. Srintil masih duduk seorang diri. Dia sedang merasakan perihnya hati yang terbelah, ditarik oleh dua kekuatan yang saling berlawanan arah. Dari balik dinding berjeruji bambu Srintil melihat orang-orang yang berjalan hendak menemui Rasus. Bahkan sesudah menggeser kursinya Srintil dapat melihat Rasus sedang dikerumuni oleh orang-orang Dukuh Paruk. Di antara semua warga Dukuh Paruk akulah yang mempunyai catatan paling pribadi tentang Rasus. Dan mudah-mudahan dia pun tidak menghapus catatan itu di hatinya. Tetapi mengapa aku tetap di sini?
 
Sudah beberapa kali Srintil mencoba melepaskan diri dari kungkungan khayali agar dapat segera lari menjelang Rasus. Namun setiap kali hendak bangkit rasa takut menghenyakkannya kembali ke kursi. Diketahuinya Sakum telah mengatakan banyak hal kepada Rasus. Dan dia sudah tahu bahwa hari ini atau besok akan datang seseorang dari Jakarta ke rumah Srintil. Dalam kebimbangan hati Srintil sadar bahwa tanpa sengaja telah tercipta jarak tertentu antara dirinya dengan Rasus justru ketika keduanya sangat berdekatan.
 
Mengapa dalam kehidupan ini sering terjadi letupan di luar kendali kesadaran ketika suatu ketegangan telah mencapai titik kritisnya. Seperti letupan polong orok-orok kering menyebar biji, begitu mendadak sehingga sulit diterka waktunya secara tepat. Tiba-tiba sebuah motivasi praktis menggugah Srintil bangkit. Entah kapan lagi aku dapat melihat anak liar itu kembali ke Dukuh Paruk. Aku harus menemuinya, sekarang!
 
Srintil berdiri diam sejenak. Matanya mengambang dan bibirnya lurus rapat. Kemudian dia bergerak setengah berlari menuju orang-orang yang sedang mengerumuni Rasus. Beberapa pasang mata melihat kedatangannya. Beberapa mulut siap berkata sesuatu namun semuanya hanya berhenti sampai pada niat. Tentang sejarah hubungan antara Srintil dan Rasus, Dukuh Paruk sudah mengetahuinya. Bukan hanya tahu sosok lahir serta sifat hubungan itu, melainkan sampai pada rohnya. Dulu sebagian nilai Dukuh Paruk tidak menghendaki hubungan terjadi lebih lanjut antara Srintil dan Rasus karena perkawinan antara keduanya akan membahayakan sendi utama kehidupan pedukuhan itu: ronggeng.
 
Kini zaman telah membawa perubahan besar. Dukuh Paruk baru saja dihukum oleh sejarah sehingga kini dalam keadaan yang paling kocar-kacir. Dukuh Paruk telah kehilangan harga dirinya, kebanggaannya dan kamituanya. Dalam keguncangan seperti ini Dukuh Paruk hanya mempunyai sisa harapan pada Rasus. Dia tentara, dengan demikian sangat dekat dengan kekuasaan. Atau dalam wawasan Dukuh Paruk tentara adalah kekuasaan itu sendiri. Maka Rasus yang tentara adalah harapan perlindungan, dan panutan. Dan Rasus hanya bisa memenuhi harapan itu bila dia tetap tinggal di Dukuh Paruk. Kunci utamanya terletak pada kesetiaan Rasus kepada tanah airnya yang kecil itu.
 
Semua orang diam menunggu adakah pertanda kesetiaan Rasus terhadap Dukuh Paruk. Sikapnya terhadap Srintil adalah sasmita yang paling sah untuk mengukur sampai di mana rasa senasib-sepenanggungan Rasus terhadap puaknya yang sedang berada dalam puncak kesengsaraan. Karena Srintil adalah titik yang paling layak untuk menambat agar Rasus tetap berada di Dukuh Paruk untuk dijadikan pelindung dan pengayoman.
 
Jelas sekali Rasus tidak siap berhadapan dengan Srintil. Dia kelihatan gugup melihat Srintil yang melangkah makin dekat dengan mata sayu dan mulut sedikit terbuka. Tetapi tiba-tiba Srintil mengubah arah jalannya. Dia membelok menyerbu Tampi. Goder yang sedang berada di punggung Tampi didaulat kemudian dipeluknya erat-erat. Tangisnya tertahan-tahan.
 
Rasus tahu, Srintil tahu, semua orang tahu makna bahasa suasana. Tanpa sepotong kata pun semua mengerti siapa mengharap, siapa diharap, dan buat apa harapan. Mereka juga menyadari Srintil adalah duta Dukuh Paruk yang memikul tugas mempertahankan putra terbaiknya agar sebisa-bisa tidak pergi lagi meninggalkan puak. Dukuh Paruk sangat berharap kedua anak kesayangannya bermanis-manis lagi seperti ketika keduanya masih amat belia. Dan Dukuh Paruk sangat yakin Srintil lebih dari berkelayakan menjadi istri Rasus.
 
Sebuah rapat akbar yang penuh makna tetapi berlangsung bisu. Hanya ada pundak-pundak kaum telaki yang jatuh, serta kaum perempuan yang mengusap mata. Rasus yang berdiri beku dan Srintil yang terus mengisak sambil merapatkan Goder ke dadanya. Dukuh Paruk diam menanti peruntungan. Orangnya satu per satu pergi meninggalkan Srintil dan Rasus. Mereka ingin membantu proses lahirnya sebuah harapan dengan menciptakan suasana pribadi bagi dua anak manusia yang didamba mampu dan mau memangku kelestarian Dukuh Paruk. Orang Dukuh Paruk kemudian melihat dengan perhatian penuh ketika akhirnya Rasus bergerak. Srintil dibimbing pada pundaknya. Keduanya berjalan lambat-lambat menuju rumah Srintil. Mulut mereka lestari rapat.
 
Sampai di rumah Rasus mendudukkan Srintil di atas lincak. Dia sendiri mengambil kursi lalu menjatuhkan diri tanpa semangat. Diperhatikannya Srintil yang masih sibuk dengan air matanya. Sosoknya yang sudah matang sempurna, cambang halus yang menghias kedua tepi pipinya, masih seperti delapan tahun yang lalu ketika Srintil baru enam belas tahun. Ketika itu beberapa malam Srintil dan Rasus tidur bersama di rumah Nenek yang kini sudah menjadi gubuk doyong. Srintil juga masih ingat betul waktu itu suatu pagi dia mendapati Rasus telah lenyap tanpa pamit.
 
Serpih-serpih kenangan yang melintas bersama dalam hati Srintil dan Rasus malah membuat keduanya makin tenggelam dalam diam. Boleh jadi kebisuan makin berkepanjangan bila Nyai Sakarya tidak muncul dari dalam.
 
"Kudengar si Rasus datang. Kaukah itu, Wong Bagus?"
 
"Ah, ya, Nek. Aku Rasus."
 
"Mataku tidak awas lagi. Kau baik-baik saja?"
 
"Beginilah, Nek. Aku sehat sehingga bisa kembali melihat Dukuh Paruk."
 
"Mestinya kamu sudah gagah sekarang. Sudah punya istri?"
 
"Ah, Nek. Belum. Aku belum bertemu jodoh rupanya."
 
"Bukan begitu, Wong Bagus. Kamu hanya tidak nrimo pandum. Sejak kanak-kanak kamu sudah dipertemukan dengan jodohmu. Dukuh Paruk sudah memberikan pertanda Srintil adalah jodohmu. Dan kamu tidak menyukai pepesthen ini?"
 
"Nek!..."
 
Srintil bangkit hendak menghentikan ucapan Nyai Sakarya. Namun gerakannya terhenti pada sikap setengah berdiri. Lalu duduk lagi dan tersedu lagi. Rasus pun terkejut sehingga sukar baginya menanggapi ucapan Nyai Sakarya. Dia hanya tercengang, menatap wajah nenek Srintil itu dengan mata tak berkedip. Rasus merasa seperti seekor laron yang terbang menabrak ramat laba-laba. Tidak. Rasus merasa seperti burung yang hinggap di atas cabang berlumur getah keluwih. Ah, tidak juga. Dia merasa seperti seorang anak yang berjingkat-jingkat membuat jalan pintas melalui kebun orang untuk menghindari jalan memutar yang lebih panjang. Tetapi tiba-tiba si empunya kebun menegurnya dari belakang dengan senyum sambil menunjukkan jalan benar yang harus ditempuhnya.
 
"Eh, Cucuku Wong Bagus dan Wong Ayu. Aku hanya mengutarakan perasaan seorang nenek tua. Rasa, Cucuku. Memang, rasanya kalian sudah diperjodohkan oleh Dukuh Paruk sendiri. Namun hendaknya kalian jangan salah mengerti. Sebab ternyata dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak menyukai pandum."
 
"Nek, sudahlah. Aku malu, Nek," ujar Srintil di antara isaknya. "Lebih baik, Nek, tolong antarkan Goder ini ke rumah Tampi."
 
Nyai Sakarya menurut lalu mengambil Goder dari tangan Srintil. Wajahnya tenang sempurna, tak terlihat kesan dia baru saja berkata tentang perkara yang dalam sehingga mengguncang dua hati manusia. Rasus masih diam. Mata dan garis-garis wajahnya adalah gambar kebuntuan. Duduknya gelisah.
 
"Kang, maafkan nenekku, ya," kata Srintil lirih sekali. "Nenekku sudah tua sekali sehingga dia lupa bahwa seorang seperti aku ini harus gedhe rumangsane harus tahu diri. Berangan yang bukan-bukan sungguh memalukan. Kang, aku malu kepadamu."
 
Rasus menggeleng-gelengkan kepala tanpa makna yang jelas. Senyumnya sama dengan gambar keseluruhan wajahnya; kebuntuan. Dan boleh jadi Rasus tidak sadar sepenuhnya ketika dia bergumam,
 
"Persoalannya hanya karena sampai hari ini aku belum pernah memikirkan tentang kawin, dan tentang siapa yang mungkin akan kukawini. Bahkan tentang dirimu, Srin. Aku baru tahu bahwa kau sudah kembali karena Kang Sakum mengatakannya kepadaku tadi pagi."
 
"Ya, Kang. Aku pun tidak akan berani berkhayal bahwa diriku bisa menjadi alasan kepulanganmu kemari. Sekarang ini apalah arti diriku, Kang."
 
"Ah, Srin. Sesungguhnya kau tak perlu terus berkata dengan nada seperti itu. Zaman memang selalu berubah-ubah. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Lebih baik kita bersyukur. Kita selamat dan kita sudah kembali ke rumah sendiri. Kemudian, Srin, aku minta diri. Aku belum mandi sejak kemarin sore."
 
"Kang?"
 
"Aku masih sehari dan semalam di sini."
 
"Kang, nanti dulu. Aku punya jeruk dan pepaya."
 
"Jangan, jangan. Aku sudah tahu engkau punya jeruk dan pepaya. Tetapi aku mau mandi sekarang. Ke pancuran."
 
'Jeruk dan pepaya' malah membuat Srintil sulit berkata-kata. Dia hanya mampu membuka mulut ketika melihat Rasus melangkahi pintu. Pundaknya yang kokoh amat berkesan di hati Srintil.
 
"Kapan kau kemari lagi, Kang?"
 
Rasus tak menjawab. Menoleh pun tidak. Dia sudah didaulat oleh Kartareja dan istrinya. Ada puting beliung berkisar-kisar dalam dada Srintil, runcing dan menukik menusuk jantungnya. Duh, Pangeran, kehidupan ini penuh manusia. Tetapi mengapa aku tinggal seorang diri?
 
Sementara Srintil masuk dan menelungkupkan diri di kamar, Rasus berjalan sambil menunduk menuju gubuk doyong. Sampai di halaman lagi-lagi Rasus berdiri buat menatap bekas sarangnya di masa kanak-kanak. Lalu masuk. Hanya dengan ketrampilan yang khas maka pintu gubuk itu tidak roboh ketika dibuka. Dikeluarkannya perlengkapan mandi dari dalam ransel kemudian Rasus keluar menuju pancuran.
 
Keadaannya masih utuh seperti dulu ketika Rasus mandi di pancuran itu sehari sekali, ketika sebagai anak-anak dia mulai belajar membedakan tubuh lelaki dan tubuh perempuan. Juga masih seperti dulu bila kemarau pancuran mengecil tetapi lebih bening. Batu besar dan pipih yang menjadi penumpu air pancuran mungkin tak tergeser semili pun. Air yang jatuh merupakan batang kristal lengkung. Tepat di permukaan batu kristal itu pecah menjadi ribuan percik air yang melompat divergen. Dan sinar matahari yang menembus celah pepohonan jatuh di atas ribuan percik lalu terbias menjadi bianglala.
 
Sayang jiwa Rasus berada dalam keadaan kurang peka terhadap keindahan di pancuran. Dia hanya ingin membersihkan diri dari daki yang membuat badannya terasa kurang segar. Ketika pulang ke gubuk Rasus melihat Nyai Kartareja sudah di sana. Ada dua piring, satu berisi nasi dan yang lain lauknya.
 
"Bila pulang ke Dukuh Paruk jangan khawatir soal makan. Sudah ada yang siap olah-olah, ngumbah-umbah, dan melumah. He... he. Ah, maafkan saya. Ini ada kiriman dari Srintil. Hanya dia yang sampai saat ini mampu menanak nasi. Dan jangan takut, karena tak ada apa-apanya. Aku tidak menaruh pekasih di situ."
 
"Ada pekasihnya pun akan saya makan, Nyai. Aku memang sudah lapar."
 
"Nah Srintil akan berhenti menangis bila sampean mau makan. Silakan. Aku mau mengambil airnya." Rasus tersenyum melihat ulah Nyai Kartareja berjalan cepat dan girang seperti anak kecil. Handuk disampirkannya pada pelepah pisang di halaman. Baju dan celananya diganti, dan menyisir rambut. Sebuah kain sarung digelar di atas tanah dekat lincak. Rasus bersembahyang.
 
Nyai Kartareja datang lagi bukan hanya membawa gelas dan teko, melainkan juga jeruk dan pepaya yang sudah dikupas.
 
"Yang ini juga tidak saya guna-gunai, dan Srintil akan menangis lagi bila sampean tak man memakannya."
 
"Nasi dan lauknya akan saya makan dengan segala senang hati. Tetapi jeruk dan pepaya akan saya makan dengan sungkan."
 
"Ah, aku tahu. Memang Srintil membeli buah-buahan ini semula bukan untuk sampean. Nah, soalnya dia tidak tahu sampean mau pulang hari ini. Bila tahu bisa jadi Srintil bahkan membeli juga sate dan gulai kambing khusus buat sampean. Siapa pun lainnya tidak lagi penting, tidak juga bakal tamunya orang Jakarta itu."
 
"Kau memang pintar bicara, Nyai. Baiklah. Sekarang kembalilah ke rumah Srintil. Katakan kepadanya aku sangat berterima kasih."
 
Anak-anak masih bersuka-ria dengan permainan yang selama hidup baru mereka miliki, layang-layang kertas. Rasus seorang diri jongkok memperhatikan anak-anak Dukuh Paruk yang sedang menikmati kegembiraan. Badannya terasa segar sesudah mandi, apalagi dengan perut berisi sepiring nasi dan buah-buahan. Kegembiraan di tengah sawah mengimbas ke dalam hati Rasus; dia tersenyum bila melihat anak-anak bertingkah lucu karena riang. Kepala Rasus kadang memiring ke kiri atau ke kanan mengikuti lenggang-lenggok layangan di angkasa. Apabila angin mereda anak-anak tanpa aba-aba serempak berseru, simpe-simpe undangna barat gedhe, tak upahi banyu tape, ora entong nggo mengke. Iramanya tinggi dan datar. Karena anak-anak itu berseru berulang-ulang bibir Rasus komat-kamit mengikuti paduan suara. Ketika tersadar Rasus tersenyum. Lucu, seorang tentara merasa terlalu jauh masuk kembali ke dalam dunia anak-anak.
 
Rasus bangkit lalu berjalan ke barat tanpa tujuan yang pasti. Matanya menangkap tiga titik yang bergerak sepanjang pematang yang menuju Dukuh Paruk. Makin lama ketiga titik itu jelas menjadi sosok manusia. Yang terdepan mengenakan topi helm, baju dan celananya berwarna terang. Dua yang di belakang masing-masing memakai topi lapangan, berjaket. Sekilas Rasus bisa memastikan mereka adalah orang luar. Dan sekilas pula Rasus menduga mereka adalah laki-laki yang akan bertamu ke rumah Srintil. Dalam hati Rasus terasa ada garis batas hegemoni yang terlangkahi. Ada batas keakuan Dukuh Paruk yang terlintasi; suatu dorongan primitif yang mengusik harga diri seperti seekor binatang yang siap berlaga ketika wilayah pribadinya dijamah binatang lain. Lama sekali Rasus berdiri tegang, matanya menatap tajam ke depan. Napasnya makin pendek ketika kepastian makin jelas bahwa ketiga laki-laki itu menuju ke rumah Srintil. Tubuh Rasus bergoyang ingin bergerak ke depan. Tetapi tiba-tiba Rasus berbalik dan berjalan setengah berlari menuju sawah. Diambilnya tali layang-layang dari tangan seorang anak, lalu memainkannya penuh semangat. Kebimbangannya adalah lenggang-lenggok delapan layang-layang yang meliuk-liuk tinggi di angkasa. Anak-anak bersorai riuh. Rasus tersenyum. Senyum paling sulit yang dia lakukan selama dua puluh enam tahun usianya.
 
Bajus datang bersama Tamir dan Diding. Dengan datang bertiga Bajus ingin memberi tekanan kepada kata-katanya sendiri kemarin bahwa dia hanya ingin berkenalan dengan Srintil. Tamir yang mengucap salam dibalas oleh Nyai Sakarya. Dari dalam biliknya Srintil mendengar percakapan di luar. Dan tahu tamunya telah datang. Bantal dipeluknya makin erat dan tubuhnya makin menyatu dengan tikar pandan. Suara Nyai Sakarya terdengar galau di telinganya.
 
"Wong Ayu, bangun. Tamumu sudah datang." Srintil hanya menggerak-gerakkan kakinya.
 
"Bangun, Cucuku. Itu lho, mereka sudah duduk di depan."
 
Terdengar keluh tertahan ketika Srintil menggeliat dan duduk di pinggir balai-balai. Matanya merah menatap kosong ke depan. Tanpa merapikan rambut yang tergerai ke depan Srintil berdiri dan melangkah. Geraknya seperti didorong oleh kekuatan di luar dirinya. Di depan ketiga orang tamunya Srintil berusaha tersenyum. Tetapi tiga laki-laki itu pertama-tama menyambutnya dengan kernyitan alis. Mereka memperoleh kesan kuat, Srintil tidak siap menerima tamu.
 
"Selamat datang, Pak Bajus. Juga sampean berdua," suara Srintil parau.
 
"Terima kasih. Ah, tetapi nanti dulu. Engkau pucat sekali. Sakit?" kata Bajus.
 
"Hanya kurang enak badan, Pak. Boleh jadi karena kemarin saya berpanasan ketika pulang dari balai desa."
 
"Tetapi kamu sakit," kata Bajus sambil menyender ke belakang. Terlihat kesan dia kecewa.
 
"Begini, Pak," sela Tamir. "Nanti kita sekalian singgah ke dokter agar Mbakyu ini bisa berobat."
 
Diam. Bajus mengangguk-angguk kosong. Srintil kelihatan bingung mendengar ucapan Tamir. Dia merasa ada sebuah rencana yang melibatkan dirinya telah disusun oleh Bajus dan kedua temannya.
 
"Sebetulnya, Srin. Kami bertiga ingin mengajakmu berjalan-jalan ke kota Eling-eling. Mobilku cukup buat kita berempat."
 
"Ah, Pak..."
 
"Hanya berjalan-jalan. Atau nonton film bila kamu suka. Kamu percaya akan kata-kataku kemarin, bukan?"
 
"Yang bagaimana, Pak? Oh ya, aku ingat."
 
"Ya. Aku tidak bermaksud berbuat yang macam-macam. Bukan seperti Tamir ketika datang kemari beberapa hari yang lalu. Tengik dia. Tetapi bila bersamaku dia harus jinak."
 
"Benar, Mbakyu. Maafkan saya yang sembrono kemarin. Sekarang saya sudah jinak."
 
"Terima kasih, Pak. Tetapi Bapak melihat sendiri saya tidak mungkin pergi."
 
"Maksudku, bagaimana bila kita sekalian mampir berobat?"
 
"Maaf, saya tidak biasa minum obat. Saya biasa minum jamu."
 
"Nah, kita ke depot jamu," ujar Tamir.
 
"Tidak. Biarlah saya sendiri besok membelinya di pasar Dawuan. Badanku sungguh terasa tidak enak. Bila pergi jauh-jauh saya khawatir akan menjadi sakit sungguh-sungguh."
 
"Yah, bagaimanapun juga Srintil memang benar," kata Bajus. "Memang dia tidak sehat. Jadi kita tidak usah pergi ke mana pun. Kita ngobrol saja di sini."
 
Tamir nyengir, senyumnya pahit. Srintil juga tersenyum namun hanya kedua sudut bibirnya yang meruncing.
 
"Nanti sajalah bila semuanya baik, kita bisa pergi ke pantai selatan atau nonton. Kamu mau bukan, Srin?"
 
"Anu, Pak. Entahlah. Saya takut. Ah, orang seperti saya ini harus tenang di rumah. Rumangsa!"
 
"Aku sudah mengerti mengapa demikian perasaanmu. Tetapi rasanya kamu tak perlu memperturutkan perasaan itu. Apalagi takut. Dan tentang perkenalanku dengan kamu secara tidak langsung aku sudah memberi tahu kepada camat dan polisi. Sudahlah, pokoknya aku tidak ingin membuatmu mendapat kesulitan apa pun."
 
"Setuju, Pak. Nah, sekarang, ketika Mbakyu Srintil ini sedang sakit apakah kita akan menyulitkan dia dengan cara mengajak ngobrol kosong?" kata Tamir dan tertawa lebar.
 
"Tentu saja tidak. Karena sudah kenal maka apa salahnya kita bercakap sebentar."
 
Namun ngobrol yang dikehendaki oleh Bajus tidak berjalan lancar. Hampir setengah jam lamanya Srintil hanya menjadi pendengar. Wajahnya lestari pucat dan matanya kuyu. Kegelisahan hatinya tidak bisa disembunyikan. Di mata ketiga tamunya Srintil benar-benar kelihatan sakit. Ketika tamu-tamunya minta diri Srintil mengantar mereka sampai ke pintu, tanpa basa-basi kecuali sebuah senyum tipis. Perilaku sederhana itu adalah ketidaksengajaan yang memperkuat pernyataan Sakum bahwa Srintil bukan lagi seorang ronggeng yang biasanya menggunakan senjata senyum untuk menundukkan hati laki-laki.
 
Malam hari Rasus berada di rumah Sakum setelah makan malam seadanya di rumah Kartareja. Gubuknya yang doyong ditinggalkan. Beruntung Rasus menemukan sebuah pelita tua, mengisinya dengan sedikit minyak di rumah tetangga lalu menyalakannya. Gubuk yang selalu gelap sejak kematian Nenek Rasus beberapa tahun yang lalu kini berisi cahaya kelip-kelip. Sakum hanya tinggal bersama istri dan anaknya yang paling kecil. Tiga orang anaknya yang lebih besar sedang mencari serangga di sawah. Tak ada meja-kursi. Rasus dan Sakum duduk di atas lincak. Kepala Sakum diliputi asap rokoknya yang mengepul tiada henti.
 
"Bagaimana, Mas Tentara. sampean sudah pikirkan kata-kata saya kemarin?" tanya Sakum.
 
"Kawin?"
 
"Ya. Kan sampean sudah cukup usia. Dan Srintil itu, lho!"
 
Rasus mendesah. Pertanyaan Sakum adalah masalah yang tiba-tiba saja menghadang sejak beberapa jam yang lalu. Rasus merasa tidak mudah menjawabnya atau menyingkirkannya begitu saja.
 
"Entahlah, Kang."
 
Rasus mendesah lagi. Mata Sakum yang keropos berkedip cepat. Dan aneh, Sakum kelihatan tidak terganggu oleh asap tebal yang mengelilingi wajahnya.
 
"Tetapi sampean sudah percaya bahwa Srintil bukan ronggeng lagi, bukan?"
 
Sosok Srintil tiba-tiba muncul demikian jelas di mata Rasus. Srintil sekarang. Tubuh yang matang penuh dan kediriannya yang jelas sudah berubah. Srintil yang menangis karena tidak tahu lagi siapa dirinya dan Srintil yang kelihatan ingin meraih tempat yang paling sempit sekalipun di tengah kehidupan. Dan Srintil yang telah ikut berperan dalam membentuk sejarah Rasus sendiri. Mata Srintil yang telah kehilangan daya tantang; mataharinya telah berubah menjadi bulan yang redup. Senyumnya tidak lagi seperti lambaian berahi; kumbang yang liar telah berubah menjadi kupu-kupu yang jinak memelas.
 
"Ah, kok diam, Pak Tentara?" tanya Sakum mengetuk hati Rasus.
 
"Ya, Kang Sakum. Aku tidak bisa bicara apa-apa."
 
"Tidak bisa berkata apa-apa. Mengapa, Mas Tentara?"
 
"Anu, Kang. Lusa saya akan berangkat tugas ke Kalimantan. Pokoknya saya tidak bisa apa-apa."
 
"Tetapi..."
 
"Tidak ada tetapi. Aku mungkin lama di luar Jawa. Mungkin satu, dua, atau entah berapa tahun. Dengan demikian..."
 
"Mbok begini saja. Tugas ya tugas. Tetapi sampean harus merasa kasihan terhadap kami di Dukuh Paruk. Berjanjilah suatu saat nanti sampean akan mengawini Srintil. Yang demikian itu sudah lebih dari cukup buat membesarkan hati bukan hanya Srintil, melainkan semua orang Dukuh Paruk. Lagi pula apakah perasaanku salah bahwa sampean masih suka terhadap Srintil?"
 
Rasus tersentak ke belakang. Pelupuh yang berderit membuat Sakum tersenyum dan menanti. Namun lama, sekali Rasus hanya mendesah dan mengeluh. Ketika akhirnya Rasus membuka mulut kata-katanya sudah melompat jauh ke lain persoalan.
 
"Sudah ya, Kang. Saya mau berkeliling dulu. Banyak rumah saudara yang belum saya kunjungi."
 
"Oh, benar. sampean harus mengunjungi semua orang di sini. Tetapi hari masih sore. Tinggallah lebih lama bersamaku di sini."
 
"Terima kasih, Kang."
 
"Baiklah. Mau ke rumah Srintil juga, kan?"
 
"Bagaimana nanti sajalah."
 
"Harus. Soalnya sampean tidak bisa berharap akan terjadi hal seperti dulu lagi. Srintil tidak akan menyusul sampean malam-malam dan menyelinap tidur satu lincak."
 
Terkilas sebuah senyum di wajah Rasus. Dan lenyap. Kegelapan menelan senyum dan sosok Rasus sekaligus. Ada sosok yang bergerak dalam gulita dan ada jiwa yang merayap-rayap, meraba tanpa pedoman. Rasus hendak masuk ke rumah Darkim tetapi urung. Rumah Kastaliput hendak dimasukinya juga namun tidak jadi. Demikian juga rumah Wiryadasim. Di depan rumah Srintil, Rasus menghentikan langkah. Berdiri diam seperti batang pisang di sampingnya. Di langit hanya ada taburan bintang karena bulan baru akan terbit tengah malam nanti. Tetapi ada kalong samar-samar terbang ke selatan. Burung bence melintas dan menciap. Itu burung maling. Dan tidak peduli maling atau Rasus yang bergerak dalam kegelapan burung itu akan berteriak-teriak.
 
"Dengar, Anakku. Ada bence. Maka tidurlah," kata Srintil.
 
"Bence, Mak?"
 
"Ya. Bila ada bence suka ada maling."
 
"Maling, Mak?"
 
"Ya. Maling itu orang jahat."
 
"Tamu-tamu tadi sore bukan maling, Mak?"
 
"Bukan, bukan."
 
"Tentara itu juga bukan maling?"
 
"Bukan. Dia orang baik."
 
"Orang baik. Jadi bagaimana?"
 
"Baik ya bak Tidak nakal. Suka menolong."
 
"Suka membelikan layang-layang?"
 
"Ya, ya."
 
"Tetapi aku tidak dibelikannya, Mak."
 
"Kamu masih kecil. Kamu belum bisa bermain layang-layang."
 
"Emak suka orang yang baik, ya?"
 
"Tentu. Maka kamu kelak harus jadi orang yang baik."
 
"Jadi tentara?"
 
"Wah, hebat. Emak suka sekali bila kamu kelak jadi tentara."
 
"Emak suka tentara, ya?"
 
Srintil menelan ludah. Seseorang yang sedang berdiri dalam kegelapan di dekat batang pisang juga menelan ludah. Ditahannya batuk yang mulai menggelitik tenggorokan. Sementara Srintil menarik Goder ke dalam pelukannya Rasus bergerak perlahan-lahan dan menjauh. Burung bence kembali melintas dan berteriak. Dan Rasus mempercepat langkahnya, pulang.
 
Hingga sinar bulan datang mengusir kegelapan di Dukuh Paruk, Rasus masih tergolek gelisah di atas lincak. Dari tempatnya berbaring Rasus melihat remang pepohonan yang makin jelas, bambu muda menjulang dan kadang melentur oleh angin malam yang kering dan dingin. Sesekali Rasus menyadari dirinya sedang membuktikan kebenaran kata-kata Sakum bahwa Srintil tak mungkin datang menyusulnya; hal yang seharusnya terjadi bila Srintil masih seorang ronggeng. Dan hingga jauh malam memang tak ada orang datang. Rasus lega. Rasus ingin tidur. Rasa kantuk mulai terasa merayapi denyut nadinya, namun serta-merta lenyap kembali ketika dalam telinga Rasus berdenging kembali ucapan Sakum, "Apakah perasaanku salah bahwa sampean masih suka terhadap Srintil?"
 
Pelita kecil yang tercantel pada tiang kayu lapuk tinggal memiliki tetes terakhir minyaknya. Tetes minyak itu melembabkan sumbu kain, merembes naik menerobos selongsong logam dan sampailah ke batas nyala. Setiap molekul minyak tersambar panas lalu melepas tenaga yang dikandungnya menjadi bunga api. Nyala itu tinggal sebesar gabah. Kelap-kelip makin mengecil, kehilangan runcingnya sedikit demi sedikit. Wamanya yang kuning kemerahan perlahan-lahan berubah biru, di pusatnya ada titik pijar membara. Lambat-laun segala bentuk di sekeliling pelita mulai kehilangan sosoknya. Nyala yang tinggal titik pijar biru mulai bergetar. Dan padam.
 
Dari tempat Rasus berbaring terdengar suara desah yang dalam. Gubuk doyong itu mendaulat segumpal kegelapan dari jamahan sinar bulan yang temaram. Rasus terkurung di dalamnya, gelisah karena selalu gagal mengembalikan perasaan dari pengembaraannya. Kalau bukan karena kebuntuan maka pengembaraan rasa akan berkepanjangan. Ketika bulan mulai turun di belahan langit barat Rasus memejamkan mata. Dinginnya udara di malam kemarau.
 
Sepinya dukuh terpencil yang sedang lelap, tanpa sedikit pun terasa pertanda kehidupan manusia. Hanya suara puluhan jangkrik di rumah Sakum. Dan tikus yang berkejaran di atas atap yang berlapis sampah kering. Rasus tidur tidak sampai dua jam. Mimpi-mimpi buruk yang menyeramkan mendorongnya kembali ke alam jaga. Kepalanya berpusing ketika dia mencoba duduk. Termangu dan memijit-mijit tengkuknya yang terasa panas dan kaku. Melalui dinding bambu yang sudah menerawang Rasus melihat langit di timur mulai benderang. Di barat bulan hampir menyentuh rumpun bambu, pucat seakan takut tertangkap basah oleh matahari. Rasus mengambil perlengkapan mandi lalu keluar menuju pancuran.
 
Seekor kumbang tahi melintas di depannya dengan dengung yang berat. Masih seperti dulu ketika Rasus seorang bocah. Ada burung sikatan mencecet di atas pancuran. Ada kelelawar di mulut lubang kayu sengon lalu merayap masuk. Lebah madu berdengung mengelilingi kerimbunan pohon bungur yang sedang berbunga. Rasus bertekad melawan udara dingin lalu berjongkok di bawah pancuran. Beberapa kali dia berbangkis setelah air sedingin embun menyiram dahinya yang panas. Pulang ke rumah Rasus mengenakan seragam hijaunya lalu menggelar kain sarung di tanah untuk bersembahyang dan berdoa. Dia ingin memperoleh keyakinan bahwa keputusan yang mendadak diambilnya untuk meninggalkan Dukuh Paruk pagi buta saat itu juga adalah hal yang terbaik terutama bagi dirinya sendiri.
 
Sepatu dikenakan, ikat pinggang dipasang. Topi lapangan disambar dari ujung lincak. Ransel yang sudah tertutup rapi disandangnya di pundak. Dan Rasus keluar dari gubuk doyong tanpa menoleh ke belakang. Langkahnya cepat dan pasti menuju lurus rumah Kartareja. Diketuknya pintu gubuk yang masih sepi itu.
 
"Kek, keluar sebentar. Aku, Rasus, mau minta diri."
 
"Eh, Cucuku?"
 
"Ya, Kek."
 
"Mau berangkat sekarang?"
 
Kartareja membuka pintu tetapi Rasus tidak mau masuk. Dia ingin berbicara di luar dan kelihatan begitu tergesa.
 
"Kukira sampean masih sehari lagi tinggal di sini. Mengapa tergesa amat? Ada urusan penting lainnya?"
 
"Tidak juga, Kek. Aku memerlukan persiapan sebelum berangkat ke luar Jawa. Jadi aku harus berangkat dari sini sepagi mungkin."
 
"Ah, Cucuku. Sesungguhnya aku ingin berbicara dengan sampean. Tadi malam kutunggu sampean tidak datang. Pembicaraan hanya untuk aku dan sampean."
 
"Sekarang ini kita hanya berdual Kek."
 
"Ya. Tetapi ini pembicaraan penting. Yah, tak mengapalah bila sampean menghendakinya. Cucuku, sesungguhnya aku ingin bertanya, bagaimana hubungan sampean dengan Srintil. Maafkan aku, Wong Bagus. Soalnya hal ini perlu kusampaikan kepada sampean."
 
Rasus menjatuhkan pundak dan menunduk. Dia kelihatan sulit menemukan kata-kata.
 
"Kek, tadi malam Kang Sakum sudah bertanya demikian kepadaku. Aku tak bisa berkata apa-apa sebab aku akan segera berangkat ke tempat yang jauh dan entah kapan kembali. Maka begini saja, Kek. Bila ada lelaki baik-baik yang berniat mengambil Srintil maka bantulah keduanya. Tetapi bila ada lelaki yang datang hanya untuk bermain-main, tolong katakan kepada Srintil sekarang dia tidak boleh berperilaku seperti dahulu. Aku yang melarangnya, Kek."
 
Kartareja mengangguk-angguk, mencoba memahami kata-kata Rasus yang bersayap. Sesungguhnya dia menghendaki sebuah ketegasan. Tetapi ketika Kartareja hendak berkata sesuatu Rasus sudah mengulurkan tangan minta bersalaman, lalu berbalik dengan langkah seorang tentara. Kartareja hanya bisa mengikutinya dengan pandangan. Rasus makin jauh, makin tenggelam, dalam keremangan pagi. Dan lenyap di balik rumpun-rumpun bambu.
 
Bagian Keempat
 
 
Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah kecamatan Dawuan berubah gemuruh oleh deru truk-truk besar berwarna kuning serta buldoser dari berbagai jenis dan ukuran. Truk-truk kuning mengangkut tanah yang dikeruk dari bukit-bukit untuk menimbun wilayah-wilayah rendah yang akan dilalui jalur pengairan. Buldoser menggali arau meratakan tanah siang malam, kadang tidak berhenti selama dua puluh empat jam. Orang Dawuan dan sekitarnya berkesempatan melihat para pekerja yang kebanyakan berasal dari daerah lain; melihat pakaiannya, ulahnya, keseronokannya. Mereka juga melihat orang Jepang dan Prancis yang selalu menarik perhatian, terutama bagi anak-anak.
 
Dawuan bergairah. Apalagi para pekerja proyek sering memutar film di lapangan, gratis. Warung-warung yang buka siang dan malam muncul di mana-mana. Persentuhan nilai kota dan desa berlangsung amat intensif terutama di kalangan para pekerja muda serta para remaja setempat. Dan pada kenyataannya nilai kota yang mendesak dan menggurui nilai desa. Anak muda Dawuan mulai meniru gaya, perilaku serta pakaian para pekerja. Mereka mulai berbicara dalam dialek Jakarta.
 
Kegairahan Dawuan merembes juga ke Dukuh Paruk. Kini anak-anak di sana senang bermain teras batang pisang yang dibuat traktor-traktoran, buldoser atau truk pengangkut tanah. Nyai Kartareja membuka warung kecil-kecilan menjual pecel dan kelapa muda. Siang hari banyak pekerja beristirahat di warungnya, demi pecel atau demi seorang perempuan muda yang sudah sering menjadi buah-bibir di antara mereka.
 
Tidak jarang Srintil dikunjungi oleh orang-orang proyek, baik siang maupun malam hari. Dalam batas tertentu Srintil merasa senang. Melalui pertemuan-pertemuan semacam itu dia memperoleh sarana penyiaran tentang siapa dirinya sekarang. Tetapi sebenarnya Nyai Kartareja-lah yang lebih banyak menerangkan bahwa Srintil sekarang lain. Dia tidak lagi mau melayani petualangan. Dia sudah ada yang menghadapinya dengan sungguh-sungguh, Bajus, orang yang bukan sekadar pekerja rendahan pada proyek pembangunan irigasi.
 
Pada mulanya Srintil risi dengan celoteh Nyai Kartareja. Seakan Nyai Kartareja ikut mempercepat punahnya angan-angan Srintil terhadap seorang laki-laki muda yang tak mungkin begitu saja lenyap dari angannya. Tidak. Srintil tak ingin angan-angan itu mati meski dia juga tidak tahu bagaimana cara menghidupkannya. Biarlah angan-angan itu menjadi umbi gadung yang seakan kering dan mati ketika kemarau. Atau semacam pepenget yang selalu saja membawa kelembutan setiap kali dia mengenangkannya. Srintil juga sudah menerima pesan lewat Kakek Kartareja; dia boleh berhubungan dengan laki-laki yang baik dan sekali-kali jangan berurusan dengan lelaki petualang. Pesan yang indah bukan hanya karena isinya, melainkan terutama karena dia datang dari Rasus. Indah, namun sekaligus menyembunyikan teka-teki tersamar. Mungkin Rasus setuju bila Srintil diambil oleh laki-laki yang sungguh membutuhkannya sebagai ibu rumah tangga. Namun apa yang mungkin terjadi bila Rasus kembali dari tugas dan mendapatkan Srintil masih seorang diri? Mereka-reka jawaban atas pertanyaan itu selalu membuat Srintil berdebar, kadang tersenyum seorang diri dan kadang mengeluh karena menahan rasa cemas.
 
Kemudian, celoteh Nyai Kartareja seperti demikian adanya, berkembang menjadi kenyataan. Bajus dengan teratur mengunjungi Srintil, tetap dengan warna tanpa petualangan. Kadang Bajus datang bersama teman dan kadang dia mengundang Kartareja ikut duduk-duduk di rumah Srintil. Segalanya menjadi lugas dan terbuka. Pada kunjungannya yang kesekian pada suatu pagi hari Minggu, Bajus sudah bisa mengajak Srintil ke luar Dukuh Paruk tanpa seorang pun memandangnya dengan tanda tanya. Dengan Goder bersama mereka maka Bajus dan Srintil tidak bisa tidak terkesan sedang memperlihatkan sketsa sebuah rumah tangga. Bertemu lurah Pecikalan di dekat balai desa laki-laki tua itu tersenyum ramah. Bertemu dengan priayi-priayi kecamatan di Dawuan mereka mengangguk dan sumeh. Srintil seperti meneguk air dari gayung setelah menempuh perjalanan panjang melintasi sawah yang kerontang. Dia merasa perlahan-lahan muncul ke permukaan setelah sekian lama tenggelam dalam sisi aib sejarah kemanusiaan.
 
Dalam mobil di sisi Bajus, Srintil duduk diam. Tatapan matanya lurus ke depan. Goder yang dipangkunya juga tak bergeming. Namun sementara Goder tegang karena baru kali pertama naik mobil, Srintil diam karena sedang merasakan adanya arus balik di dalam jiwanya. Matanya merah. Anehnya, senyum Srintil serta-merta merekah manakala Bajus mengajaknya berbicara.
 
"Kita ke Eling-eling. Sekadar jalan-jalan. Kamu man, bukan?"
 
"Terserahlah. Oh, tetapi nanti dulu. Kalau Mas mau, jangan ke Eling-eling."
 
"Kenapa?"
 
"Ah, sebenarnya tidak mengapa. Aku hanya belum berani ke sana."
 
"Teringat masa lalu?"
 
"Nah, Mas sudah mengerti. Dua tahun tinggal di kota Eling-eling sebagai tahanan, sungguh tidak enak buat dikenang kembali."
 
"Baik. Kita ke pantai selatan saja. Sudah lama juga aku tidak melihat laut. Bagaimana?"
 
Srintil mengangguk dan tersenyum. Pantai selatan adalah tempat yang jauh dari Dukuh Paruk. Boleh jadi satu atau dua orang di sana bisa mengenal Srintil sebagai ronggeng atau bekas tahanan. Namun kemungkinannya jauh lebih kecil daripada di kota Eling-eling.
 
Makin jauh dari Dawuan Srintil kelihatan semakin santai. Mula-mula Srintil hanya berbicara kepada Goder, memperkenalkan ini-itu kepadanya. Lalu ketawanya pecah ketika mendengar Goder minta dibelikan kuda penarik andong seperti yang baru dilihatnya. Tertawa lagi setelah Goder bertanya karung yang dibawa orang di pinggir jalan tadi tidak berisi kepala manusia. Bajus tersenyum-senyum dan sesekali ikut menggoda Goder. "Kaleng yang dipikul orang itu berisi ular naga," katanya sambil menunjuk laki-laki pedagang kerupuk yang berjalan di depan. Goder membeliakkan mata. Srintil dan Bajus tertawa bersama.
 
Sampai di pantai Bajus memilih tempat yang agak terpencil buat memarkir jipnya. Itu bukan tempat yang terbaik. Namun itulah pilihannya karena Bajus ingin memperoleh suasana yang lebih pribadi, tidak terlalu banyak dilihat oleh pengunjung lain. Goder tidak berani melepas rangkulannya terhadap Srintil. Laut adalah kedahsyatan pertama yang pernah dilihatnya.
 
Mata Srintil lurus ke depan, ke tengah laut yang berbingkai langit. Ombak yang susul-menyusul dan pecah di pantai, perahu nelayan yang timbul-tenggelam diayun gelombang atau binatang-binatang kecil yang merayap-rayap di batas pantai adalah bukan pemandangan biasa bagi Srintil. Atau: kesibukan para anak dan istri nelayan yang sedang memilih-milah ikan menurut jenisnya, ubur-ubur diberi wadah sendiri, semuanya tidak berhasil menyita perhatian Srintil.
 
Matanya masih lurus ke tengah laut. Mata sedang menjadi duta batinnya menerobos ketersempitan dan keterbatasan. Sukmanya lolos dan mengembara dalam sesaat buat membaca laut biru, langit biru, Nusakambangan hijau dan ombak yang bergulung putih. Mendadak nuraninya sendiri bertindak menjadi guru bijak dan memberi tahu bahwa ada selera agung di balik keserasian yang mahadalam dan kini tergelar luas di hadapannya. Selera agung yang transendental terhadap segala citakarsa manusia dan karena keagungannya manusi diminta runduk oleh suara bening di dalam jiwa. Runduk dalam cita dan perilaku, runduk dalam karsa dan karya. Dan kemudian Srintil dengan nilai kemanusiaannya sendiri merasa selera agung, meski tanpa sepatah kata jua, membuka pintunya bagi segala manusia dan kepada tiap-tiap jiwa untuk masuk dan menyelaraskan diri kepadanya. Atau membiarkan segala manusia dan tiap-tiap jiwa menempuh jalan lain satu-satunya, jalan keakuan dan keangkuhan manusia yang sesungguhnya terlampau lemah buat menciptakan keselarasan hidup bahkan keselarasan dirinya.
 
Ketika titik jernih mulai mengembang dalam hati Srintil ada suara memanggilnya dari samping belakang. Srintil menoleh. Pada saat yang sama kamera di tangan Bajus berdecik. Detik yang sempurna tepat. Kamera bukan hanya merekam sosok seorang perempuan muda, melainkan juga citra manusia bebas emosi dan hatinya mulai menyentuh kedamaian yang dalam. Bajus tersenyum lebar tanpa sadar sedikit pun bahwa dirinya yang amatir secara kebetulan baru saja bertindak sebagai seorang juru potret profesional. Kelak dia sendiri heran melihat hasil kerjanya. Dalam hal normal pencahayaan, sudut pandang maupun perspektif obyek keberhasilannya tidak bisa dikatakan menyolok. Tetapi bahwa foto itu berbicara banyak dalam bahasa jiwa - suatu prestasi fotografi yang sulit terjadi - hanya foto itu sendiri yang bisa mengiyakannya.
 
Puas berpanas dan berangin-angin Bajus mengajak Srintil bersama Goder berjalan mencari tempat yang teduh di sekitar mobil. Di sana Bajus membuat beberapa potret lagi. Sekali Srintil diambil gambarnya ketika duduk di bumper mobil, sekali ketika dia duduk di jok depan memangku Goder. Lalu Bajus pergi dan kembali membawa tiga ikat rambutan dan tiga botol minuman. Bajus memperhatikan tertib jemari Srintil ketika mengupas rambutan. Juga ketika Srintil mengulum daging buah yang putih dan lembut itu. Samar-samar terlihat pertanda gejolak rasa pada wajah Bajus. Namun Bajus sendiri yang segera menumpasnya dengan cara secepatnya memalingkan muka dan mengutuk diri sesengit mungkin.
 
Hampir tengah hari Bajus menghidupkan mesin jipnya hendak pulang. Srintil sudah membeli jajanan, pepaya dan selai pisang, tetapi Bajus yang membayarnya. Lepas dari daerah pantai Bajus membelokkan jipnya, masuk ke halaman sebuah penginapan. Sejenak Srintil tertegun. Teringat olehnya ke tempat semacam inilah dulu dia sering dibawa oleh 'laki-laki' itu dari tahanan. Apabila benar Bajus mempunyai tujuan erotik Srintil sudah siap menolaknya.
 
"Kita makan dulu," kata Bajus. "Di situ nasi gorengnya enak," sambungnya sambil menunjuk sebuah warung agak tersembunyi di samping losmen. Bajus yang tidak menaruh perhatian ketika Srintil menarik napas lega berjalan paling dulu menuju warung. Srintil membopong Goder lalu mengikutinya di belakang. Kebanyakan kursi sudah diduduki oleh pembeli dan Bajus kehilangan tempat kesayangannya.
 
"Kamu juga suka nasi goreng?"
 
"Suka, Mas."
 
"Kita pesan tiga. Apa minumnya?"
 
"Terserah, Mas."
 
"Air jeruk?"
 
Srintil mengangguk. Seorang pelayan yang berpakaian kenes datang dan berbicara dengan Bajus. Diam-diam Srintil memperhatikan bagaimana cara Bajus menghadapi pelayan yang jelas dipasang sebagai burung pemikat itu. Dia cantik dan kelihatan sudah mengenal Bajus. Namun Srintil harus mengakui sikap Bajus nyaris tanpa cela; dia hanya berbicara seperlunya dengan bahasa dan cara yang lugas pula. Srintil malu.-bp-
 
 
***
 
 
Kegairahan yang mewarnai wilayah kecamatan Dawuan sudah berlangsung hampir lima bulan. Truk dan buldoser sudah menjadi pemandangan biasa. Juga tingkah-laku orang-orang kota yang bekerja di proyek pembangunan bendungan dan jaringan pengairan. Bisa jadi yang masih menarik perhatian orang adalah hadirnya orang-orang Jepang dan Prancis. Suatu kali mereka menciptakan suasana kocak ketika mereka mencoba makan pecel di sebuah warung. Mereka blingsatan dengan air mata bercucuran karena lidah mereka tersengat oleh pedasnya cabai.
 
Dukuh Paruk terimbas gairah. Bukan hanya Nyai Kartareja yang diberi kesempatan berdagang pecel dan laris; hampir semua laki-laki Dukuh Paruk mendapat pekerjaan. Mereka dibayar secara patut untuk pekerjaan membantu tukang batu, penggalian-penggalian tanah atau ngemplek, yakni menutup tanggul baru dengan lapisan rumput. Kesibukan Dawuan memberi kesan bahwa mala petaka tihun 1965 sudah mulai terlupakan. Penggal sejarah baru sedang merayap datang.
 
Srintil merasakan perubahan itu dari wajah-wajah yang dilihatnya sehari-hari. Kadar kecurigaan tidak lagi menjadi warna utama pada setiap pasang mata. Dan kenyataan bahwa Srintil sering digandeng oleh orang yang punya peran penting dalam pembangunan pengairan, Bajus, mempengaruhi pandangan orang kepadanya. Orang-orang sekecamatan Dawuan hanya mempunyai wawasan yang sederhana. Bajus itu orang proyek. Proyek itu milik pemerintah, jadi Bajus orang pemerintah. Apabila Bajus menggandeng Srintil maka orang-orang sekecamatan Dawuan hanya bisa memberikan satu makna; Srintil sudah digandeng pemerintah. Bekas tahanan politik atau bukan nyatanya Srintil sudah dipakai oleh pemerintah. Jadi keberadaan Srintil tentulah sudah positif.
 
Dan ada beberapa foto di rumah Srintil yang mempertegas tentang siapa dan bagaimana dia. Orang-orang melihat dengan mata berseri foto-foto yang memperlihatkan Srintil sedang duduk di bumper mobil Bajus dan foto Srintil ketika dia kelihatan begitu mapan di jok depan mobil itu. Kebanggaan Srintil muncul pada senyumnya. Namun ada satu hal yang membuatnya kurang puas di hati. Mengapakah foto kebanggaan itu mesti menempel pada dinding anyaman bambu di bawah atap ilalang?
 
Selayaknya dia menempel pada dinding tembok yang putih atau setidaknya pada dinding kayu dengan cat biru samar. Ah, ya. Apalagi bila Srintlil teringat celoteh orang banyak; dirinya sepenuhnya pantas menjadi ibu rumah tangga pada keluarga yang memiliki sebuah mobil. Srintil teringat perhiasan-perhiasan emasnya. Jumlahnya cukup untuk menjadikannya tinggal dalam sebuah rumah kayu yang kuat, bahkan kalau mau, berdinding tembok. Sebagai bekas tahanan politik Srintil memang masih amat takut memperlihatkan suatu bentuk kebanggaan meski yang paling samar sekalipun. Takut dikatakan ora rumangsa, tidak tahu-diri sebagai orang yang pernah disangkutpautkan dengan perkara kesalahan hidup yang amat besar.
 
Tetapi ketakutan dalam hati Srintil mulai terkikis bilamana dia berhadapan dengan nilai sejati kehidupan kampung, keselarasan. Apabila dia menghendaki sebuah rumah yang pantas maka itulah upaya mencapai keselarasan antara diri dengan kehendak sejarah. Dalam kehidupan yang sedang bergairah Srintil mendengar bisikan yang jelas, "Kamu sekarang tidak pantas lagi bersarang dalam sebuah gubuk ilalang."
 
Ketika yakin dirinya sudah didikte oleh sejarah maka Srintil mengajak Kartareja berbicara. Sengaja dipilihnya saat yang sepi sehingga tak seorang pun mendengar pembicaraan itu.
 
"Kek, apakah tidak salah bila aku ingin membeli rumah yang agak pantas? Apakah tindakan semacam itu tidak menyinggung perasaan orang banyak?"
 
Kartareja tidak mampu segera menjawab. Kartareja sudah cukup lama membaca obah-mosiking zaman, maka dia sudah yakin tak ada aral apa pun bagi niat Srintil. Boleh jadi masalahnya menjadi lain bila Srintil tidak cantik. Kecantikan itu tidak bisa ditampik dan dia perhiasan sejarah sendiri. Maka meskipun sama-sama bekas tahanan tidak bisa tidak Srintil memperoleh tempat yang khas. Kartareja tidak heran bila kehidupan sendiri sudah memberikan sasmita restu bagi Srintil yang menginginkan sebuah rumah baru.
 
Namun Kartareja memendam kekecewaan, mengapa yang memberikan motivasi kegairahan Srintil adalah Bajus. Mengapa bukan Rasus? Adalah sangat citrawi bagi Kartareja dan semua warga puak bila anak Dukuh Paruk sendiri yang memberi dorongan kemudian membawa Srintil ke dalam kehidupan baru. Kehidupan tanpa rasa takut dan sekaligus membersihkan Dukuh Paruk dari bekas-bekas luka akibat geger komunis 1965.
 
"Kakek diam, apakah Kakek tidak setuju?"
 
"Oh, bukan. Bukan. Aku setuju, Wong Ayu. Masalahnya, adakah kamu mendengar seseorang hendak menjual rumah?" kata Kartareja berkelit dengan bagus.
 
"Memang belum, Kek. Itulah. Bila Kakek setuju, maka Kakek juga yang akan aku mintai tolong mencarikannya."
 
"Aku?"
 
"Ya, Kek. Kalau bukan Kakek, siapa lagi?"
 
"Memang benar, Cucuku. Tetapi lebih dulu kita harus minta izin lurah. Yah, sebaiknya kita hati-hati. Misalkan lurah tidak setuju, maka apa boleh buat, aku pun tidak akan setuju kamu membeli rumah baru."
 
"Aku hanya menurut kepada Kakek. Yang jelas aku sudah ingin keluar dari gubuk ilalang. Malu, Kek. Malu bila Mas Bajus berkunjung."
 
"Aku mengerti, Wong Ayu. Maka baiklah. Kamu sediakan saja biayanya. Nanti akan kucoba bertanya dulu kepada Pak Lurah."
 
Lurah Pecikalan yang tua dan kuno sesungguhnya merasa malu bila ada priayi proyek seperti Bajus masuk ke tengah kemelaratan Dukuh Paruk. Terang kemelaratan di pedukuhan terpencil itu secara resmi bisa dihubungkan dengan kemampuannya sebagai kepala desa. Maka tanpa mengingat Dukuh Paruk yang sekali waktu dihubungkan dengan keberingasan orang-orang komunis, lurah Pecikalan menyetujui keinginan Srintil yang disampaikan lewat Kartareja. Bahkan lurah tua itu memberi keterangan tentang beberapa orang yang hendak menjual rumah. Mereka adalah para penerima uang ganti rugi tanah dan bermaksud membangun rumah baru yang permanen.
 
Tidak sampai sebulan Srintil sudah mendapat rumah yang akan dibelinya, sebuah rumah berkerangka kayu jati bekas milik seorang petani kaya di Dawuan. Pemboyongan rumah itu melibatkan semua orang Dukuh Paruk, tak terkecuali Sakum yang keropos kedua matanya. Bajus yang mengetahui hal itu beberapa hari kemudian mengirim lima orang tukang batu dengan kelengkapan secukupnya. Hanya dalam enam minggu semuanya selesai; buat kali pertama di Dukuh Paruk berdiri sebuah rumah kayu jati berdinding tembok dan berlantai semen, lengkap dengan kakus dan sumur. Srintil mengisinya dengan tempat tidur terbaik yang bisa dibeli di Dawuan serta perabotan lain. Dan sebuah lampu pompa. Malam hari rumah Srintil benderang sehingga setiap saat orang bisa melihat tiga buah foto tertempel di tembok ruang depan.
 
Srintil merasa hampir berhasil meraih dirinya kembali. Lihatlah ketika senyum itu menciptakan lekuk bagus di kedua ujung bibir, tanpa hambatan rasa takut. Cahaya temaram mulai muncul di wajah Srintil, mengusir sedikit demi sedikit sikapnya yang mudah gugup, peka dan begitu cepat merasa cemas. Meski belum bisa dikatakan ceria namun kerenyahan tingkah sudah terlihat setiap hari. Bila seorang diri menghaadapi foto-foto itu Srintil merasa terbang bersama burung branjangan yang berkicau riang di ketinggian langit di atas sawah luas di sekitar Dukuh Paruk. Matanya menatap luasnya bumi, jauh lebih luas daripada Dukuh Paruk yang kusam dan terasing. Dan sejuta kali lebih luas daripada kompleks rumah tahanan di kota Eling-eling. Dari kebebasan di awang-awang Srintil mudah sekali menikmati kuningnya kembang waru, merahnya kembang soka dan ungunya kembang kecipir. Awan-gemawan mengirimkan irama kecapi petikan jari Wirsiter dan asmara dahana yang bergetar bersih melalui pita suara Ciplak.
 
Ketika terbang bersama burung branjangan itu pula Srintil mendapati dirinya berada pada inti kelembagaan perempuan; bukan perempuan lawan timbangan laki-laki dalam makna primitif, perempuan milik umum. Dia merasa ada lelaki tertentu di sampingnya, laki-laki yang akan membuatnya disebut sebagai perempuan somahan, perempuan rumah tangga. Memang laki-laki itu bukan dia yang paling banyak membuat catatan yang berkesan di hati. Dia bukan Rasus, melainkan Bajus. Tak mengapa. Srintil sudah banyak belajar dan tahu bahwa cita tak selamanya sejajar dengan garis pepesthen, suratan takdir.
 
Dan Srintil tidak bisa menolak kenyataan bahwa Bajus makin lama membuat Rasus tersisih dari hatinya. Bajus yang sama sekali belum memperlihatkan hal-hal yang tidak disukainya. Perkenalan selama lima bulan dengan orang proyek itu adalah harapan. Selama itu Bajus sungguh belum pernah menyentuh kulitnya, belum pernah berbicara tentang hal-hal erotik baik langsung maupun tersamar. Sopan dan ramah seperti seorang priayi sejati. Ditambah dengan kenyataan Bajus membantu banyak sekali dalam pembangunan rumah Srintil maka mahkota Dukuh Paruk itu hanya bisa menarik satu nalar, Bajus adalah lelaki yang baik dan bersungguh-sungguh. Dia bukan laki-laki dari dunia petualangan, dunia yang Srintil bertekad ingin meninggalkannya.
 
Tetapi juga, belum sekali pun Bajus membicarakan - meski hanya melalui ungkapan yang tidak langsung - tentang perkawinan. Suatu penantian yang demikian lekat dalam jiwa sebagai benalu mencengkeram dahan kayu. Kadang Srintil merasa tidak sabar menunggu sampai mulut Bajus mengeluarkan kata-kata lamaran atau semacam itu. Lalu setiap kali Srintil membunuh sendiri ketidaksabarannya dengan kesadaran seorang perempuan kampung. Perempuan adalah bubu yang bila sudah dipasang hanya bisa menunggu ikan masuk. Selamanya bubu tak akan mengejar ikan atau memaksanya masuk ke dalamnya.
 
Hanya nyinyir Nyai Kartareja yang suatu kali menyingkap perasaan Srintil.
 
"Nah, rumah bagus sudah dibangun. Sir sudah dibangun. Sekarang aku mau bertanya, jenganten. Kapan kiranya di Dukuh Paruk ini diadakan hajat besar?"
 
"Jangan bertanya soal itu, Nyai. Aku malu. Dan aku tidak tahu," jawab Srintil gugup. Pipinya merona merah.
 
"Maafkan aku, jenganten. Soalnya aku hanya ingin tahu. Semua orang di sini ingin segera melihat sampean bersanding. Wajar, kan? Soalnya, apa lagi yang kurang. Semuanya sudah pantas."
 
"Entahlah, Nyai."
 
Srintil tidak meneruskan kata-katanya. Menunduk dan diam. Tiba-tiba saja dia merasa ada sepotong sejarah yang hilang. Seakan dia adalah perawan suci kemarin sore yang belum mengerti laki-laki, sehingga Srintil merasa amat canggung menghadapinya. Nyai Kartareja menangkap kebimbangan yang tergambar pada wajah Srintil.
 
"Eh, lha, jenganten. Mbok sampean jangan membiarkan diri terkatung-katung. Segala keinginan harus disetiari. sampean tidak lupa ngasrep pada hari kelahiran?"
 
Srintil diam.
 
"Sampean tidak lupa berpuasa Senin-Kamis?"
 
Srintil masih diam. Oh, kamu, Nyai Kartareja. Jangankan ngasrep dan puasa Senin-Kamis. Setiap saat aku memohon kepada Tuhan, kiranya segera datang laki-laki yang suka mengawiniku. Laki-laki kepada siapa aku akan membuktikan diri dengan sepenuh hati bahwa aku sekarang lain dengan aku yang dahulu. Laki-laki yang akan membuat diriku mendapat sebutan yang sangat kudamba: ibu rumah tangga.
"Eh, lha, barangkali begini, jenganten. Biasa. Dalam urusan semacam ini hampir selalu diperlukan seorang perantara. Nah, aku akan melaksanakan pekerjaan semacam itu bila jenganten menghendakinya. Atau, kita ini orang Dukuh Paruk. Kita yakin segala hal yang kita citakan harus diikhtiarkan dengan japa-mantra, dengan srana dan dengan upaya. Soal upaya sampean sendiri bisa melakukannya. Srana berupa susuk masih ada pada tubuh sampean. Tetapi soal japa-mantra, ah. sampean tidak bisa meninggalkan Nyai Kartareja."
 
"Nyai!" kata Srintil cepat dan keras. "Jangan lagi bicara soal susuk dan pekasih. Susukmu pasti sudah luruh karena aku sudah melanggar larangan-laranganmu. Dan aku tidak ingin kawin lantaran mantra pekasih. Aku ingin kawin seperti semua orang kawin. Itu saja."
 
"Eh, lha. Misalkan memang demikian yang sampean kehendaki. Toh sampean tidak bisa menyepelekan arti peran perantara. Eh, lha, aku ini sudah tua, jenganten. Ketika sampean merasa sedang terkatung seperti sekarang, sampean pasti memerlukan seorang perantara. Nah, sekarang aku ingin sampean berkata kapan kiranya aku atau suamiku harus menemui Pak Bajus. Beliau akan kami ajak berbincang dengan bijak tentang kemungkinan perkawinan sampean berdua. Bagaimana?"
 
"Jangan, Nyai," kata Srintil lirih setelah lama terdiam. "Bagaimana juga aku harus sabar menunggu. Barangkali perhatian Mas Bajus sekarang ini sedang tercurah kepada pekerjaannya. Barangkali. Atau entahlah. Yang jelas aku malu, Nyai."
 
Nyai Kartareja mengerti apa yang dimaksud oleh Srintil. Malu yang hampir selalu muncul ketika seorang bekas tahanan politik seperti Srintil hendak menampilkan perikeberadaannya. Dan malu sebab takut dikatakan sebagai bubu yang memanggil-manggil ikan.
 
Februari 1971 adalah mangsa kasanga dalam pranata mangsa yang dianut oleh orang Dukuh Paruk. Sepanjang hari, bahkan kadang juga pada waktu malam, udara terasa sangar, panas. Angin sering bertiup amat kencang merontokkan dedaunan, mematahkan pelepah pisang dan mematahkan batang bambu muda. Di sawah tanaman padi yang sedang berbunga melewati saat kritis. Penyerbukan bisa gagal karena angin yang terlalu kencang. Bila hujan turun curahnya jatuh dalam butiran-butiran besar.
 
Di Dukuh Paruk angin kencang menyapu pepohonan dan rumpun-rumpun bambu dengan suara mendesau. Batang pohon dan bambu bergesekan menciptakan derit yang nyaring. Dahan dan ranting kering berjatuhan. Atap-atap ilalang tersingkap. Orang-orang mulai merasakan gatalnya miang bambu yang beterbangan bersama angin.
 
Pukul empat sore angin mereda. Sementara anak-anak Dukuh Paruk bertebaran di pekarangan-pekarangan mencari kayu kering yang jatuh, Srintil bersama Nyai Kartareja siap berangkat ke Dawuan. Kemarin Bajus mengirim pesan bahwa Srintil diminta menemaninya mengikuti rapat orang-orang proyek pembangunan pengairan di sebuah tempat peristirahatan dekat kota Eling-eling. Maka Goder diminta jangan dibawa serta. Dan karena waktu yang mendesak Srintil ditunggu Bajus di Dawuan. Nyai Kartareja disuruh menemani Srintil sampai ke kota kecamatan itu.
 
Srintil berdandan setelah mengingat-ingat dengan saksama bagaimana istri Kapten Mortir berkain kebaya, merias wajah, dan menata sangggul. Nyai Kartareja membantu. Perempuan tua itu bukan hanya mengerti bagaimana menyanggul ronggeng. Dia tahu pula tata cara perempuan priayi. Artinya, sanggul tidak boleh terlalu tinggi, tidak perlu pamer keindahan tengkuk. Perhiasan Srintil tinggal tidak seberapa. Tetapi subang ceplik-nya melekat indah pada lembut daun telinganya yang lebar.
 
Dulu Nyai Kartareja adalah induk semang Srintil. Dia mendapatkan uang dengan cara menjual Srintil dalam arti mendekati sebenarnya. Segala kehendak didiktekannya kepada Srintil dengan gaya seorang majikan kepada kacungnya. Sekarang sepenuhnya terbalik. Ketika berjalan mengiringkan Srintil, Nyai Kartareja tidak bisa merasa lain kecuali sedang melaksanakan tugas seorang inang. Dia memang tetap mengharapkan uang dari Srintil tetapi tidak bisa menentukan sendiri apalagi memaksanya. Yang diharapkan sekadar belas kasih atau pengertian Srintil.
 
Dari jauh terlihat sebuah jip berhenti di jalan besar di ujung pematang. Srintil mempercepat langkah. Orang-orang yang berpapasan hanya disapa seperlunya. Dan kepolosan senyum orang-orang itu menandakan mereka bukan sekadar memahami ketergesaan Srintil. Nyai Kartareja benar ketika dia berkata bahwa semua orang Dukuh Paruk memandang dengan penuh harap hubungan antara Srintil dan Bajus.
 
Di ujung pematang Srintil dijemput oleh tatapan mata dan senyum Bajus yang sudah berpakaian rapi. Yang ditatap hanya bisa tersipu.
 
"Apa Mas tidak malu membawaku ke tempat rapat?" kata Srintil lirih.
 
"Ah, dengar, Pak Bajus," sela Nyai Kartareja. "Cucuku ini pantas dibawa ke mana saja. Iya, kan?"
"Memang, Nyai. Kalau tidak, mengapa aku mau bersusah-susah. Apalagi rapat kali ini akan dihadiri orang-orang penting dari Jakarta."
 
"Eh, lha. Dengar, jenganten. sampean akan berhimpun dengan orang-orang penting. Di Dukuh Paruk, bahkan di Dawuan hanya sampean yang memiliki keberuntungan seperti ini."
 
Srintil tertunduk malu. Dan tetap tidak membuka mulut ketika naik ke dalam mobil yang sudah dibukakan pintunya oleh Bajus. Mesin hidup dan mobil bergerak meninggalkan Nyai Kartareja yang termangu seorang diri. "Oh kamu, Srintil. Kamu anak Santayib yang mati termakan racun tempe bongkrek. Kamu cucu Sakarya. Siapa mengira akan demikian beruntung nasibmu, digandeng laki-laki yang punya mobil."
 
Di dalam mobil yang sedang melaju beberapa kali Bajus mencuri pandang ke samping. Ya. Semula Bajus bermaksud singgah ke rumah rias di kota Eling-eling untuk memoles Srintil. Kini secara pasti Bajus merasa tidak perlu melaksanakan niat semula. Srintil ternyata sudah pintar mematut dirinya. Bajus malah membalik pikiran. Daripada memoles Srintil dengan sentuhan rias gaya kota maka pastilah Srintil akan kehilangan daya pikatnya yang khas. Bunga sakura memang cantik, bunga tulip juga cantik. Orang-orang kota sudah mengerti. Sekarang mereka harus mengakui bahwa bunga lembayung pun mempunyai kecantikan tersendiri. Kecantikan yang tak ada referensinya pada wajah patung Venus atau Dewi Aphrodite, melainkan pada wajah Pradnya Paramita.
 
"Kita mampir sebentar ke rumah pondokanku," ujar Bajus menjelang masuk ke kota Eling-eling. "Ada mapku ketinggalan. Aku terlalu tergesa tadi."
 
Srintil tersenyum. Boleh juga. Aku ingin melihat rumah sewa Mas Bajus.
 
Bajus tinggal seorang diri dalam rumah gedung yang dikontraknya selama dua tahun. Tidak terlalu besar namun keadaannya membuktikan kemampuan keuangan si penyewa. Srintil duduk di ruang tamu sementara Bajus masuk ke dalam. Entahlah, Srintil merasakan keinginan yang kuat untuk membersihkan lantai yang mungkin sudah dua hari tidak terkena sapu. Dan pot-pot tanaman yang kering sehingga bunganya kelihatan layu. Angan-angan Srintil mengembang tak tertahan. Ya, kelak akan kubereskan semuanya. Mas Bajus akan melihat bukti bahwa bekas ronggeng atau bekas tahanan pun bisa menjadi istri yang baik, dan bisa lebih baik daripada perempuan bukan bekas ronggeng atau perempuan bukan bekas tahanan. Ya. Orang seperti Mas Bajus yang tidak mau berbuat sembrono sebelum ada ikatan perkawinan, yang membantu membuatkan rumah baru, yang sering membawaku bertamasya, dan yang mengangkat martabatku di mata semua orang, pastilah laki-laki yang amat layak menerima pengabdianku sepenuh hati. Bahkan andaikata Mas Bajus bukan orang proyek dan tidak mempunyai sebuah mobil maka dia tetap berhak mendapat balas budi berupa kesetiaanku sepanjang hayat. Persoalannya sekarang, kapankah aku akan resmi menjadi istri Mas Bajus?
 
"Eh, melamun? Ayo berangkat," kata Bajus yang sudah beberapa saat lamanya menatap Srintil dari ambang pintu tengah tanpa disadari oleh yang bersangkutan.
 
Srintil tergagap, lalu bangkit dan berjalan mendahului Bajus. Dia merasa seakan tersentak mendadak dari alam mimpi yang amat mengesankan. Diremasnya kuat-kuat tali tas tangannya. Dikutuki dalam diam dirinya yang telah berangan tinggi.
 
"Rapat nanti mungkin baru berakhir lepas tengah malam. Sesudah itu ada pesta," kata Bajus ketika baru mengeluarkan mobil dari halaman rumah. "Dalam rapat itu kukira tak ada perempuan yang hadir. Baru dalam pesta nanti kamu lihat, kamu bukan satu-satunya perempuan."
 
"Mereka istri para pejabat yang sedang rapat, Mas?"
 
"Ya dan bukan. Yang masih bujangan seperti saya ini mana mungkin membawa istri, paling-paling calon istri atau pacar."
 
Srintil tersenyum.
 
"Lalu pukul berapa kita mau pulang, Mas?"
 
"Tergantung. Mungkin saja menjelang pagi. Atau kita menginap saja. Kamu mau, kan? Percayalah, aku tidak akan memasuki kamarmu."
 
"Ya, aku percaya. Tetapi kita pulang saja. Menjelang pagi pun jadilah."
 
"Kita lihat bagaimana nanti. Syukur bila semuanya selesai sebelum pagi."
 
Hanya diperlukan waktu seperempat jam dari kota Eling-eling ke daerah berhawa sejuk di kaki gunung di sebelah utaranya. Bajus membelokkan mobilnya ke halaman sebuah vila mungil yang ternyata kemudian sudah disewanya. Srintil diajaknya masuk. Di ruang istirahat penunggu vila sudah menyiapkan minuman-minuman serta buah-buahan. Srintil diberi tahu di mana dia bisa beristirahat, dan di mana letak kamar mandi. Bajus langsung kelihatan sibuk mengeluarkan map dan buku agenda. Sebuah pemutar pita kaset diambil dari kamar lain. Srintil diajari bagaimana menghidupkannya. Majalah-majalah disodorkan dan Bajus lupa atau tidak mengerti bahwa Srintil buta huruf.
 
"Selama aku mengikuti rapat di hotel seberang jalan itu kamu beristirahat dulu di sini. Bila memerlukan sesuatu panggil saja penunggu vila di kamar belakang."
 
"Berapa lama, Mas?"
 
"Pokoknya lama. Tetapi bila sedang beristirahat aku akan kemari. Dan setiap kali ada kesempatan aku akan menengokmu di sini."
 
Srintil berseri-seri dan tersenyum ketika mengantar Bajus sampai ke teras. Dipandangnya laki-laki yang mulai mengakar di hatinya dengan perasaan lembut yang menyapu hati. Bajus menyeberang jalan, membelok ke kiri kemudian masuk ke halaman sebuah hotel yang besar dan megah. Ada kain rentang terpampang di teras hotel itu, tetapi Srintil tidak mengerti tulisan apa di sana. Dan sosok Bajus menghilang di balik taman bunga di halaman hotel.
 
Pukul tujuh malam Srintil melihat belasan mobil berdatangan. Hatinya mulai ragu dan bertanya apakah benar dirinya berkelayakan muncul di tengah orang-orang penting itu. Di dalam kamar Srintil mencari keyakinan diri pada cermin. Masih biasa seperti yang dilihatnya saban hari. Dia sering mendengar orang berkata dirinya cantik. Seberapa cantik? Cantik menurut orang kampung apakah juga cantik menurut orang-orang penting yang sedang menghadiri rapat itu? Kalau ya, tak mengapa. Tetapi kalau tidak, Srintil merasa hanya akan menjadi sasaran cemooh.
 
Keluar ke kamar istirahat Srintil duduk gelisah. Melihat banyak buah-buahan tetapi dia tidak ingin makan, tidak ingin minum. Ah, tetapi buah duku boleh juga. Srintil mengambilnya beberapa butir. Dilihatnya pesawat pemutar pita kaset dan Srintil tak bernafsu menghidupkannya. Dia belum pernah menyentuh benda semacam itu. Namun diambilnya sebuah majalah dan dibuka-bukanya. Banyak gambar perempuan terpampang. Dan Srintil mendapat gambaran umum tentang orang cantik. Lalu hatinya berbisik, kalau cantik itu seperti perempuan yang tergambar dalam majalah itu, Srintil merasa tidak perlu terlalu berkecil hati.
 
Di ruang rapat Bajus menyibukkan dirinya sejak sidang belum dimulai, ikut mengatur tempat duduk serta kelengkapan rapat yang lain. Dia memerlukan citra keakraban dengan para pejabat. Sebagai pemborong kelas dua Bajus sadar betul keakraban semacam itu amat perlu. Dalam rapat yang akan segera diselenggarakan Bajus sesungguhnya tidak mempunyai peran resmi apa pun. Namun selama dia tidak ingin ketinggalan dalam hal jatah pekerjaan, Bajus harus rajin datang pada rapat seperti itu.
 
Nanti Bajus tidak akan duduk di antara para peserta rapat. Kepentingannya adalah bertemu dengan seorang pemborong kelas satu, seorang laki-laki berahang persegi. Orang inilah yang akan terlibat dalam rapat dan Bajus akan meminta jatah pekerjaan borongan kepadanya. Bajus sudah lama mengenalnya, lama sekali. Maka Bajus sudah merasa setengah berhasil ketika melihat laki-laki yang ditunggunya turun dari mobil. Bajus berlari mendekat, menyapa dengan gaya merendah lalu meminta tas laki-laki itu untuk dibawakan.
 
"Baru tiba dari Jakarta, Pak?"
 
"Tidak. Aku datang siang tadi dan sudah beristirahat sebentar di Eling-eling. Sudah banyak yang hadir?"
 
"Sudah. Bapak termasuk yang paling akhir."
 
"Kebetulan, karena aku jadi tidak menunggu-nunggu. Tetapi rapat belum dimulai, bukan?"
 
"Memang belum, Pak. Baru pukul tujuh lebih sedikit. Saya dengar rapat akan dibuka pukul setengah delapan."
 
Bajus mengantarkan si Rahang Persegi sampai ke kursinya, bertanya ini-itu, lalu keluar ruangan dan terus melangkah ke halaman. Teringat olehnya Srintil tentu sudah lapar. Dipanggilnya tukang satai pikul yang mangkal dekat gerbang, disuruhnya ikut ke seberang jalan. Srintil keluar dari kamar karena mendengar orang datang. Dijemputnya Bajus dengan senyum.
 
"Selesai, Mas?"
 
"Selesai? Baru saja hendak dimulai. Aku perlu keluar sebentar karena kamu tentu sudah lapar. Kita makan satai ayam. Sudah kupesan."
 
Bajus duduk dengan kepala terkulai pada sandaran. Jarinya mengetuk-ngetuk tangan-tangan kursi, mukanya benderang.
 
"Nanti, mungkin ada temanku dari Jakarta yang akan datang kemari. Nanti bila rapat sudah usai."
 
"Juga orang penting, Mas?"
 
"Ya. Kaya-raya dan orangnya baik. Kamu bisa membuktikannya sendiri nanti."
 
"Aku malu, Mas."
 
"Kamu tidak perlu malu. Sudah kukatakan orangnya baik. Kamu sudah sekian bulan berkenalan dengan aku dan kini kamu tidak usah merasa malu kepada siapa pun."
 
"Siapa namanya, Mas?"
 
"Blengur. Pak Blengur. Mobilnya banyak tetapi kalau kemari sering naik pesawat terbang, turun di Semarang. Ah, satainya datang. Kita makan dulu."
 
Sementara Bajus makan dengan penuh nafsu Srintil malah kehilangan selera. Perutnya yang lapar tidak menyebabkan dia bisa menikmati enaknya satai ayam bercampur lontong yang masih hangat. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang tidak menentu. Kadang timbul rasa menyesal mengapa mau diajak Bajus ke tempat yang bersuasana asing. Tetapi kadang justru merasa senang karena bersama Bajus Srintil merasa menggenggam harapan. Dan Srintil bukan tidak menyadari betapa mahal harapan yang sedang mengembang dalam hatinya terhadap Bajus. Mahal, sehingga Srintil tidak bisa lain kecuali memeliharanya dengan hati-hati.
 
"Kalau bukan karena Pak Blengur tak akan aku pernah beberapa kali naik pesawat terbang. Siapa tahu suatu saat nanti kita berdua diajaknya terbang lagi ke Jakarta. Kamu ingin sesekali naik kapal udara?"
 
Srintil tidak siap menjawab pertanyaan asing itu. Dia hanya mengangkat muka dan melihat Bajus yang sedang mengembalikan piring kepada tukang satai. Atau Bajus sendiri tidak bersungguh-sungguh. Buktinya dia tidak melanjutkan kata-katanya, bahkan pamit hendak kembali ke tempat rapat.
 
Maafkan, kamu kutinggal dulu. Percayalah, aku akan segera datang bila rapat selesai."
 
Kembali seorang diri Srintil berusaha menyingkirkan pikiran yang macam-macam. Segalanya disederhanakan menjadi niat membuat Bajus senang. Srintil tidak ingin membuatnya kecewa dan ingin tampil sebaik-baiknya, baik di depan Pak Blengur atau siapa saja. Sedapat mungkin akan dijauhkannya perasaan malu dan rendah diri. Kenuadian Srintil masuk kamar karena yakin kini dandanannya telah rusak.
 
Bajus duduk gelisah di ruang tamu yang paling dekat dengan pintu ruang rapat. Rencananya sudah bulat, secepatnya mendaulat Blengur begitu laki-laki berahang persegi itu keluar. Dia sangar khawatir terdahului oleh orang lain terutama laki-laki yang keluar-masuk kantor hotel. Koran di tangan sudah sekian kali dibuka namun tidak satu baris pun kalimat yang menarik perhatiannya. Kadang dibuka buku agendanya demi meyakinkan usulan yang akan diajukan kepada Blengur masih terselip di sana. Seorang perempuan setengah baya yang sangat ramah mendekat, berbicara macam-macam sebelum mengutarakan maksud yang sebenarnya; apakah Bajus mengharapkan jasa seorang gadis panggilan. Mula-mula Bajus menolak dengan halus. Namun ketika perempuan ramaja ini bertahan dengan keuletannya Bajus menyuruhnya menjauh dengan segera.
 
Ternyata rapat hanya berlangsung tidak sampai dua jam. Bajus berdiri dan melongok ke dalam. Dilihatnya Blengur sedang berbincang sambil berdiri dengan seorang pejabat penting yang berkantor di Eling-eling. Tidak sabar, Bajus masuk. Dengan kesopanan seorang kacung diambilnya tas dari tangan Blengur, lalu berdiri menunggu. Keduanya kemudian keluar.
 
"Kok mereka pulang, Pak?" tanya Bajus ketika melihat banyak mobil keluar meninggalkan hotel. "Sudah tak ada acara lagi?"
 
"Tidak ada. Bupati tidak menghendaki ada pesta. Wah, kebetulan. Aku pun tak menghendaki pesta. Aku hanya ingin beristirahat."
 
"Kita bisa ngomong-ngomong sebentar di sini, Pak?"
 
"Soal apa?"
 
"Biasa, Pak. Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Bapak saya minta pekerjaan."
 
"Ah, ya. Tetapi, jus, kali ini payah. Dalam rapat tadi diputuskan aku hanya mendapat borongan bernilai seratus juta; membangun kantor pendirian pertanian dengan perumahan pegawainya, serta tujuh jembatan jalan kampung yang terputus oleh saluran irigasi."
 
"Tanpa tender, Pak?"
 
"Kamu jangan sok tahu. Tendernya ya dalam rapat tadi. Tender dengan cara kekeluargaan, cara gotong-royong. Begitulah."
 
"Maaf, Pak. Kalau Bapak masih percaya saya mohon pekerjaan itu Bapak serahkan kepada saya."
 
"Kamu memang begitu."
 
"Soalnya Bapak tak pantas menangani sendiri proyek sekecil ini. Itu ukuran untuk saya, Pak."
 
"Ya. Baiklah. Keuntungan resmi sebesar sepuluh persen kita bagi dua. Dan kamu bisa atur agar orang-orang daerah ikut makan, tetapi tanpa mengurangi jatah kamu. Ingat, orang-orang di daerah itu penting."
 
"Saya mengerti, Pak."
 
"Nah!"
 
"Lalu Bapak hendak beristirahat di mana malam ini?"
 
Blengur menatap Bajus demikian rupa sehingga terjadi komunikasi yang hanya mereka berdua mengerti.
 
"Kamu sudah minta pekerjaan dan akan mendapat uang lima juta. Sekarang kamu malah bertanya di mana aku akan beristirahat. Dasar tidak tahu diri kamu ini. Mestinya aku yang bertanya begitu kepadamu!"
 
"Anu, maaf, Pak," kata Bajus sambil sibuk membuka-buka buku agendanya.
 
"Nah, ini, Pak. Bagaimana?"
 
Blengur memperhatikan dua buah foto yang baru diserahkan kepadanya oleh Bajus. Kepalanya miring ke kiri dan ke kanan seakan lupa benda yang dipegangnya hanya berdimensi dua. Perempuan dalam foto itu langsung menjebaknya dengan kesan yang kuat. Tetapi Blengur belum juga tahu dengan pasti di manakah sisi yang paling mengesankan hatinya. Kecantikannya tidak menonjol, tidak juga biasa. Karena terkesan sisa kecantikan zaman bahari, kecantikan yang diam seperti cantiknya bunga-bunga liar yang tak pernah mengerti dirinya cantik.
 
Atau karena foto itu dibuat sangat profesional sehingga kewajaran obyek menjadi sebuah keluarbiasaan karena dia tidak hanya berbicara dalam figur. Ada kedalaman jiwa yang menampakkan diri dalam totalitas wajah sehingga perempuan dalam foto itu serta-merta menyita segenap angan-angan Blengur. Atau lagi, perempuan dalam foto itu sesungguhnya sama sekali tidak luar biasa menurut ukuran Blengur. Apabila dia kelihatan demikian mengesankan maka masalahnya terletak pada kondisi psikologis Blengur sendiri. Dia yang gagal dan tidak mampu bermanis-manis di rumah selalu berkhayal penuh romantisme erotik di tempat-tempat lain. Yang memilih keprimitifan erotik sebagai salah satu bumbu hidup yang terpenting sambil merendahkan nilai-nilai moral dan etika yang mengikatnya. Dialah macam laki-laki yang selalu cenderung menganggap, setiap perempuan yang baru pertama dilihatnya lebih cantik dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian atmosfer tempat pelesiran dekat kota Eling-eling itu adalah suasana yang penuh kemudahan bagi petualangan erotik. Sehingga Blengur, misalnya, datang ke sana berbekal hati yang sudah kehilangan penilaian obyektif. Maka sesungguhnya Blengur tidak mampu lagi mengatakan secara benar sampai di manakah kadar kecantikan perempuan dalam foto yang sedang dipegangnya.
 
"Bagaimana, Pak?" tanya Bajus yang sudah sekian lama menanti tanggapan Blengur.
 
"Yah, boleh juga. Siapa namanya?"
 
"Namanya terdengar aneh, Pak. Srintil."
 
"Srin...?"
 
"Til. Srintil. Ah, soal nama tidak sepenting sosoknya. Begitu, Pak?"
 
"Sudah biasa kamu bawa-bawa, ya."
 
"Nanti dulu, Pak. Aku sudah mengenalnya lebih dari lima bulan. Jadi aku sudah tahu banyak tentang dia. Srintil berasal dari kampung yang sangat terpencil di daerah Dawuan. Dukuh Paruk namanya."
 
Sementara Blengur terus menatap foto Srintil, Bajus terus memberi keterangan panjang tentang perempuan muda dari Dukuh Paruk itu. Ketika berkata bahwa Srintil kini kelihatan sedang berusaha keras menjadi seorang ibu rumah tangga, Bajus mengubah nada kata-katanya dengan tekanan yang khas.
 
"Jadi begitu," potong Blengur. "Lalu mengapa dia mau kamu bawa kemari? Kamu tipu dia, kan?"
 
"Memang bisa disebut begitu, Pak. Aku telah banyak membantunya, termasuk membantu membangun rumahnya. Jadi kukira, Srintil telah salah mengartikan sikapku. Disangka aku akan mengawininya. Padahal..."
 
"Padahal kamu tidak mungkin bisa mengawininya," sela Blengur sambil tersenyum. Dia tahu Bajus kehilangan keperkasaarmya sejak peristiwa kecelakaan di proyek Jatiluhur beberapa tahun sebelumnya.
 
"Yah, begitulah, Pak. Bapak sudah tahu."
 
"Nah, aku akan melihatnya dulu. Di manakah dia sekarang? Di hotel ini?"
 
"Tidak. Di vila seberang jalan itu."
 
Srintil sedang bercermin untuk kesekian kalinya ketika dia mendengar suara langkah-langkah di teras vila. Debar jantungnya tak berhasil ditolak. Namun Srintil melangkah ke luar dan membukakan pintu. Senyum malu-malu menyambut kedatangan Bajus yang diikuti oleh Blengur. Srintil merasa ada sepasang mata asing menyapu ke seluruh tubuhnya. Kemudian ada tangan yang besar dan berlemak terjulur ke hadapannya. Disambutnya tangan itu dengan segala kecanggungan.
 
"Ini Pak Blengur yang telah kukatakan kepadamu, Srin."
 
"Ya," jawab Srintil hampir tak terdengar. Blengur hanya tersenyum.
 
Dua laki-laki mendahului duduk dan mereka kelihatan amat santai. Terapi Srintil baru mau duduk setelah Bajus berkali-kali menyilakannya. Dia masih tetap canggung dan selalu menunduk karena merasa Blengur terus memperhatikannya. Bajus hendak bangkit namun Blengur menahannya.
 
"Aku ingin mandi. Ada air panas di sini?"
 
"Wah maaf, Pak. Di sini hanya ada kamar mandi biasa."
 
"Siapa yang tahan mandi air biasa bila hawa begini dingin. Baik. Sementara saya akan kembali ke hotel untuk mandi dan mengambil pakaian. Sopir juga belum saya urus."
 
"Tetapi Bapak nanti tidur di sini, kan? Supaya saya bisa menyiapkan kamarnya."
 
"Ya."
 
Blengur keluar dan Bajus menarik napas panjang. Bukan napas lega karena Bajus merasa harus menyampaikan sesuatu yang teramat penting kepada Srintil. Kesantaian secara lamban dan pasti mulai berubah menjadi serius. Bajus gelisah. Srintil menangkap secara samar perubahan pada sikap Bajus.
 
"Srin, dengarlah. Aku ingin berbicara suatu hal yang penting kepadamu. Penting sekali karena menyangkut penghidupanku."
 
"sampean mau bicara apa, Mas?"
 
"Begini. Sebenarnya aku merasa malu bila harus mengatakan bahwa telah banyak kebaikan kuberikan kepadamu selama ini. Semuanya itu kuberikan kepadamu dengan ikhlas."
 
"Ya, Mas. Aku merasa berutang budi kepadamu. Karena itu aku ingin membalas kebaikan-kebaikanmu. Tetapi Mas belum sekali pun berkata harus bagaimanakah aku ini. Padahal, Mas, aku seorang perempuan."
 
Bibir Srintil masih bergerak-gerak hingga beberapa saat kemudian, namun suaranya tidak lagi terdengar. Bajus tersandar ke belakang. Bukan karena dia melihat Srintil mulai menangis melainkan dia tahu persis makna yang tersirat di balik ucapan perempuan di hadapannya. Dengan bahasa air mata dan suasana Srintil minta diberi kesempatan membalas budi yang telah diterimanya dengan cara yang disukai oleh perempuan; penyerahan kesetiaan yang penuh melalui perkawinan. Tetapi Bajus sadar permintaan demikian sampai kapan pun mustahil dikabulkannya.
 
"Begini saja, Srin," kata Bajus dengan suara mulai
memberat. "Bila benar kamu ingin membalas budi maka ada cara yang amat mudah kamu laksanakan. Mudah sekali. Aku akan lebih dari senang bila permintam ini kamu laksanakan."
 
"Katakan, Mas. Aku harus berbuat apa? Sekiranya selama ini Mas menutup-nutupi kenyataan bahwa sebenarnya Mas sudah punya istri, maka aku mau menjadi istri kedua. Dan biarlah aku menjadi pelayan istri pertama serta anak-anak Mas."
 
"Oh, tidak begitu. Aku memang belum mempunyai istri. Jangan berangan tentang perkara yang sulit-sulit. Permintaanku amat bersahaja."
 
"Apa?"
 
Bajus menarik napas dan menggeleng-gelengkan kepala seakan sedang mengibas pergi lumpur yang menodai jidatnya.
 
"Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blengur. Percayalah, dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya berapa pun harganya akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temanilah dia, Srin."
 
Srintil tersentak dengan kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka dan dadanya turun-naik dengan cepat. Kedua tangannya bergetar.
 
"Hanya itu permintaanku, Srin. Supaya tidak ada pikiran macam-macam anggaplah Pak Blengur itu diriku sendiri. Atau malah tidak perlu karena kenyataannya dia dalam semua hal lebih baik daripada aku. Kamu mau, bukan?"
 
"Tidak!"
 
"Tunggu dulu..."
"Tidak. Tidak, tidak!"
 
"Srintil!"
 
"Tidak!"
 
Dalam gerakan limbung Srintil bangkit dan berlari ke kamar. Di sana dia menjatuhkan diri ke kasur dan merasa terempas ke balik tabir antah-berantah. Dalam sekejap dunianya yang penuh bunga bersemi berubah menjadi padang kerontang dan sangat gersang. "Oalah, Gusti Pengeran, oalah, Biyung, kaniaya temen awakku..."
 
Tangis dalam ratapan panjang terdengar keras oleh Bajus yang kini duduk gelagapan. Mengapa demikian jauh meleset perhitungannya. Bila Srintil menolak keinginan Tamir maka itu bisa dimengerti. Tamir hanya seorang buruh murahan yang hanya bermodal semangat badak. Tetapi Blengur? Dia telah ditampik oleh seorang bekas ronggeng dan sundal.
 
Bajus terus tergagap. Sudah terbayang olehnya bila dia gagal menyenangkan hati Blengur maka lima juta bakal lepas dari tangan. Bahkan buat selanjutnya dia mungkin tidak akan mendapat pekerjaan lagi. Segalanya harus kembali dimulai dari titik nol. Oh, tidak bisa jadi. Blengur tidak boleh dikecewakan bahkan dengan santapan yang sudah berada tepat di ujung lidah. Dia bisa murka. Sekali lagi Bajus hendak membujuk Srintil. Kali ini bulat tekadnya Srintil harus menurut.
 
Hati-hati dibukanya pintu kamar Srintil. Dia masih tersedu hingga bagian punggungnya berguncang. Bajus duduk di pinggir tempat tidur, suaranya seperti ayah kepada anak yang sedang merajuk.
 
"Srin, kuharap kamu mau mengerti. Kasihani aku dan tolonglah aku sekali ini saja. Bagaimana nanti bila kamu tidak man membantuku? Mau ya, Srin?"
 
Srintil menggeliat bangkit. Dipandangnya Bajus sekilas dengan tatapan luar biasa dingin. Turun dari tempat tidur. Dirapikannya rambut yang tergerai di bagian depan. Diambilnya tas tangan.
 
"Tunggu. Mau ke mana kamu?"
 
Tak sepatah kata pun menjawab Srintil melangkah hendak ke luar. Bajus bertindak menangkap tangan Srintil yang bersikeras hendak ke luar. Buat kali pertama Bajus berlaku kasar, memaksa Srintil kembali duduk di tempat tidur.
 
"Kamu tetap menolak? Tidak bisa! Kamu orang Dukuh Paruk harus tahu diri. Aku telah banyak membantumu. Aku telah banyak mengeluarkan uang untuk kamu!"
 
Bajus berjalan berputar-putar sambil tetap menjaga agar dirinya menjadi palang pintu. Srintil duduk kaku, tak bereaksi sedikit pun terhadap kata-kata yang didengarnya. Tiba-tiba Bajus menghentakkan kaki lalu melangkah ke ambang pintu. Sambil menutup pintu dari luar, Bajus berkata dengan tekanan yang berat,
 
"Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa melakukannya?"
 
Pintu terbanting dan dikunci dari luar.
 
Mengapa orang terlanjur percaya bahwa pembunuhan ialah menghentikan fungsi ragawi sebagian atau keseluruhan dengan satu dan lain senjata. Mengapa orang terlanjur beranggapan kekejaman ialah tumpahnya darah dan lukanya bagian raga. Dengan demikian Bajus misalnya gampang sekali mengelak bila ada tuduhan dia baru saja melakukan kekejaman luar biasa sekaligus pembunuhan. Dalam dua-tiga detik melalui beberapa kata dia telah berhasil sempurna membuat seorang manusia kehilangan kemanusiaannya, bahkan tanpa Bajus sendiri melihatnya.
 
Satu detik setelah daun pintu terbanting mulailah berlangsung proses lenyapnya akal budi dari totalitas sebentuk pribadi. Godam pertama mengguncangkan tiang kesadaran yang menopang akal budi Srintil, yakni ketika dia mendapatkan kenyataan citanya menjadi istri Bajus adalah sebuah pundi-pundi hampa. Srintil masih sempat merasakan perih dan pahitnya guncangan ini. Deraan kedua membuat tiang kesadarannya miring, tidak kuat menahan beban perintah harus melakukan perjinahan; sejarah lamanya sendiri yang sudah ingin ditinggalkan dengan suatu tekad membaja. Kemudian tiang itu ambruk sama sekali ketika sebuah jari setajam mata tombak menudingnya sebagai PKI dan siap menyeretnya kembali ke rumah tahanan, sebuah tempat yang boleh jadi bisa disebut sebagai neraka dunia.
 
Sosok itu tentu masih bernama Srintil atau ronggeng Dukuh Paruk. Tentu pula dia masih akan disebut sebagai manusia. Namun faktor yang membedakan antara dirinya dengan segala jenis satwa - akal budi dan kesadarannya - sudah gaib sedetik yang lalu. Srintil tidak tahu lagi apa pun dari segi keberadaan dirinya. Dia tidak tahu lagi dirinya yang kini tinggal menjadi monumen seonggok benda organik. Posisi tubuh serta semua anggota badannya masih melukiskan orang terkejut, sama seperti ketika Bajus membanting daun pintu. Wajahnya mati, mati. Matanya tidak berkedip, mulutnya melongo. Roh kemanusiaan tidak tampak lagi sedikit pun.
 
Hanya beberapa langkah di luar kamar Bajus duduk gelisah. Pikirannya sama sekali lepas dari keadaan di dalam kamar. Dia tidak tahu ada kiamat kecil baru saja berlangsung tepat di balik tembok di belakangnya. Yang menggelisahkan Bajus adalah kenyataan bagaimanapun dia harus menghadapi Blengur. Sungguh tidak terbayangkan olehnya apa yang bakal terjadi bila dia gagal menyuguhkan kesenangan kepada orang Jakarta itu.
 
Ada orang terlihat berjalan memasuki halaman vila. Sesungguhnya Bajus tidak perlu panik sebab dia bisa memastikan orang yang datang bukan Blengur. Tubuhnya kecil dan pendek. Sopirnya. Tetapi tak urung Bajus kelihatan gugup ketika menjemput sopir itu di depan pintu.
 
"Pak Bajus diminta Bapak datang ke hotel," kata sopir itu.
 
"Hanya aku?"
 
"Kata Bapak, ya."
 
"Baik. Aku akan segera ke sana."
 
Bajus masuk kembali hanya untuk meyakinkan bahwa kamar Srintil benar-benar terkunci dari luar. Kemudian dia keluar menyusul sopir Blengur. "Ah, mungkin lebih baik kukatakan kepada Pak Blengur, tiba-tiba Srintil sakit perut. Ah, tidak. Lebih safe kukatakan Srintil kedatangan bulan hanya sepuluh menit yang lalu."
 
Dengan penemuan yang gila Bajus merasa lebih tenang berjalan ke kamar nomor tiga di mana Blengur berada. Pak Blengur menyewa kamar hotel? Dia tidak jadi bermalam di vila, dan Srintil harus diantar ke kamarnya? Tetapi Srintil sedang kedatangan bulan.
 
"Masuklah, Jus," ujar Blengur setelah mendengar pintu diketuk.
 
"Duduklah," sambungnya.
 
Bajus tidak menyangka akan berhadapan dengan kesantaian. Di sana Blengur duduk merokok dan tenang. Sangat tenang. Tidak tergambar kehausan berahi. Matanya yang terkenal berwarna petualangan kelihatan teduh.
 
"Jus, aku membuktikan sendiri katamu memang benar."
 
"Kata yang mana, Pak?"
 
"Srintil itu."
 
"Cantik dan lugu, kan?"
 
"Bukan itu maksudku. Aku terkesan oleh citra pada wajahnya. Wajah perempuan jajanan yang sangat berhasrat menjadi ibu rumah tangga. Jus!"
 
"Ya, Pak."
 
"Memang kamu tahu siapa aku. Aku yang senang berpetualang. Tetapi entahlah. Aku tidak tega memakai Srintil."
 
"Pak?"
 
"Ya. Berilah dia kesempatan mencapai keinginannya menjadi seorang ibu rumah tangga. Masih banyak perempuan lain yang dengan sukarela menjadi obyek petualangan. Jumlah mereka tak akan berkurang sekalipun Srintil mengundurkan diri dari dunia lamanya."
 
"Pak, lalu?"
 
"Ya. Antar dia pulang ke rumahnya malam ini juga. Ini uang buat Srintil dan katakan sebagai hadiah dari aku."
 
Mata Bajus menatap sebuah amplop menggembung yang disodorkan oleh Blengur. Tangannya bergerak gamang.
 
"Ya, Pak, ya," kata Bajus gugup. Amplop itu dimasukkan ke saku jaketnya. "Tetapi, Pak."
 
"Apa?"
 
"Proyek. Ya, bagaimana dengan proyek itu?"
 
Blengur tersenyum.
 
"Dasar recehan, kamu. Tentu saja proyek itu tetap untukmu. Sekarang sana keluar. Antar Srintil pulang."
 
Seperti kembang ilalang tertiup angin kemarau, Bajus keluar dari kamar Blengur dan berjalan cepat kembali ke vila di seberang jalan. Hatinya lega dan benderang. Segala kekusutan yang mendadak menjerat tiba-tiba pula lenyap dengan cara yang tak disangka dan amat mudah.
 
"Srin, semuanya sudah selesai. Kalau kamu ingin pulang mari saya antar sekarang juga," kata Bajus sambil memutar kunci kamar.
 
"Srin, ini uang banyak sekali dari Pak Blengur buat kamu. Uang hadiah. Bukan uang..."
 
Sunyi. Mencekam. Bulu kuduk merinding. Adakalanya orang menjadi sangat takut bila tiba-tiba berhadapan dengan mayat. Dan akan sekian kali lebih takut bila yang di depan mata adalah mayat hidup. Srintil terlihat masih dalam posisi yang ganjil. Wajah mati. Mata tak berkedip dan mulut melongo. Bajus terhenyak ke belakang dan amplop yang menggembung jatuh ke lantai. Gagap dia. Sulit baginya menerima kenyataan bahwa kemanusiaan kadang tidak lebih tebal dari kulit bawang. Srintil beberapa menit yang lalu masih lengkap dengan pesona seorang perempuan muda yang cantik. Pesona yang bahkan sesungguhnya menembus juga jantung Bajus yang impoten. Kini tak ada lagi pesona. Tidak juga kecantikan. Kemanusiaannya tinggal tersisa berupa sosok dan nama. Selebihnya adalah citra hewani. Citra makhluk tanpa akal budi.
 
Bajus surut. Dan terus surut hingga punggungnya merapat ke tembok. Semenit dua menit Bajus masih belum berhasil menata perasaan dengan memahami kenyataan yang terpampang tepat di depan mata. Dan sesaat ketegangan akhirnya mereda. Bajus menghubungkan keadaan Srintil sebelum dan sesudah dia terkunci di kamar. Bajus mulai merasa dirinyalah penyebab perubahan drastis pada diri Srintil.
 
Kesadaran Bajus perlahan-lahan pulih. Pundaknya mengendur dan napasnya normal. Matanya masih menatap, boneka hidup yang bernapas pendek-pendek. Kemudian Bajus melangkah maju.
 
"Srin, kenapa kamu?"
 
Tak ada tanggapan, bahkan dalamsasmita yang paling samar sekalipun. Dipungutnya amplop yang jatuh lalu disodorkannya ke tangan Srintil yang mengambang di udara. Tetapi tangan itu tidak semili pun bergeming. Bajus membungkuk ingin melihat mata Srintil lebih jelas. Di sana hanya ada lingkaran hitam tanpa ekspresi rasa dan cita, sebentuk kematian dalam hidup. Kebimbangan kembali menyergap. Bajus keluar hendak mencari seseorang, barangkali dia bisa membantu mengurangi kebingungannya. Mungkin Blengur. Namun langkahnya terhenti di teras vila. Bajus masuk lagi, berjalan tak menentu. Tangannya merogoh saku celana dan terpegang kunci kontak mobil. Ya. Kini Bajus tahu secara pasti apa yang sebaiknya dia lakukan, mengantar Srintil pulang ke Dukuh Paruk saat itu juga.
 
"Srin, maafkan aku. Maafkan aku, ya! Sekarang mari kita pulang."
Srintil menoleh dengan gerakan linglung. Dan bukan mata Bajus yang ditolehnya melainkan tubuh laki-laki itu. Matanya tak bergulir, seakan sudah tersekap mati dalam kelopaknya. Dan meski terasa sebagai upaya untung-untungan Bajus membimbing tangan kiri Srintil. Hatinya lega ketika ternyata Srintil menurut. Srintil berjalan seperti tidak melihat apa pun meski kedua matanya terbuka lebar dan tidak berkedip. Bajus merasa seperti sedang menuntun orang setengah lumpuh dan buta.-bp-
 
 
***
 
 
Ketika masih kecil aku sering keluar dari Dukuh Paruk malam hari bersama teman-teman untuk melihat pagelaran wayang kulit. Wayang kulit itu. Dunia kecil berbumi batang pisang bermatahari lampu blencongtelah berjasa besar meletakkan dasar-dasar wawasan pada diriku tentang kehidupan ini. Para dalang telah menanamkan pada diriku yang masih anak-anak nilai-nilai dasar yang waktu itu kuyakini sebagai kebenaran sejati. Nilai-nilai itu demikian mapan dalam jiwa sehingga bila sedang menonton wayang kulit aku tidak pernah merasa lain kecuali sebagai putra Amarta. Aku akan sangat kecewa bila dalam peperangan di atas batang pisang itu negara Amarta kalah. Dan aku pernah menangis ketika menonton wayang dengan cerita Abimanyu, seorang prajurit putra Amarta, gugur dengan tubuh penuh panah.
 
Nilai yang kuperoleh dari dunia wayang itu bisa saja masih mengendap dalam jiwa ketika aku memasuki dinas ketentaraan. Aku, Rasus, mungkin saja kadang secara tidak sadar menganggap diri ini adalah Gatotkaca atau Bima, dua prajurit dan kstaria Amarta yang perkasa. Kedua tokoh itu sangat kukagumi; Gatotkaca suka mencopot kepala musuh dari badan hanya dengan jemarinya, Bima suka menginjak lawannya hingga luluh. Musuh-musuh itu adalah orang Astina atau negeri angkara murka lainnya. Prajurit yang gagah adalah mereka yang seperkasa Gatotkaca arau Bima, demikian keyakinanku.
 
Anehnya jiwaku amat tertekan ketika suatu ketika dulu, entah mengapa, aku membunuh dua orang perampok yang memasuki Dukuh Paruk. Peristiwa yang justru memberi jalan kepadaku memasuki dinas ketentaraan itu takkan terlupakan. Dan aku tidak lupa juga bahwa waktu itu aku telah bersumpah tidak akan lagi menghentikan hak hidup seseorang, baik dia jahat atau bukan.
 
Boleh jadi karena aku telah bersumpah demikian maka sesungguhnya aku sering bergelut dengan jiwaku sendiri ketika bertugas di suatu tempat di sudut tenggara Jawa Tengah sesaat sesudah terjadi geger komunis 1965. Gatotkaca Rasus sering harus memberondongkan Karl Gustaf ke kubu-kubu yang mestinya berisi manusia; manusia yang sangat mungkin seperti diriku juga, merasa diri sebagai Gatotkaca. Untung, dalam hal pemberondongan semacam itu aku sekali pun tidak pernah melihat langsung manusia yang terhuyung jatuh akibat peluru yang kutembakkan. Namun suatu kali aku benar-benar harus mengamalkan doktrin dasar seorang tentara. Pada saat yang genting hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Aku memilih yang pertama. Korbanku seorang anak muda yang sudah mengayun parang dari belakang. Dia yang rubuh karena sangkurku lebih cepat daripada parangnya. Ya Tuhan! Kulihat dia megap-megap, matanya terbeliak-beliak sebelum mati karena dadanya robek oleh sangkurku. Lepas dari motivasi-motivasi politik yang menyebabkan dia menggabungkan diri dengan kaum pemberontak maka selebihnya dia hanyalah manusia seperti aku.
 
Dan aku telah membunuhnya. Jadi aku telah melakukan tiga kali pembunuhan langsung. Demi Tuhan meski aku seorang tentara maka aku berdoa kiranya Tuhan tidak lagi membawaku ke suatu titik dalam hidup di mana aku harus menambah korban tanganku sendiri. Tentulah sikap demikian bisa disebut sikap pengecut, terutama di kalangan tentara. Namun aku sungguh tidak mau dituduh begitu saja. Sebab kengerianku terhadap pembunuhan bukan perasaan yang kubangun dalam alam sadar. Dia muncul sebagai bagian fitrah totalitas hidupku. Dengan demikian yang benar adalah kesimpulan bahwa sebenarnya aku tidak cocok menjadi prajurit.
 
Atau. Selama sekian tahun menjadi tentara aku adalah Gatotkaca yang harus berhadapan dengan kenyataan yang banyak menyimpang dari konsep keprajuritan yang kuperoleh dari cerita wayang. Gatotkaca itu memelintir kemudian mencopot kepala musuhnya yang berasal dari bangsa lain, negara lain. Sedangkan yang harus kuhadapi ternyata adalah orang-orang yang bagaimanapun juga adalah saudara-saudaraku. Perampok-perampok yang kubunuh di Dukuh Paruk itu. Anak muda yang kurobek dadanya dengan sangkur itu. Dan, ya Tuhan. Di Kalimantan Barat ini aku membunuh manusia lagi. Bahkan aku sempat bercakap-cakap dengan korbanku sebelum dia meninggal.
 
Dalam suatu penghadangan serombongan pemberontak masuk perangkap. Sebagian besar mereka jatuh pada berondongan pertama. Beberapa orang lolos. Dan yang seorang lari bersembunyi ke samping hanya beberapa meter dari moncong bedilku. Dia ingin membalas memberondong ke posisi mama pasukanku. Tetapi dia jatuh oleh tembakanku. Ketika suasana mereda kudekati dia, laki-laki yang ternyata berambut panjang. Belum mati, matanya menatapku. Mulutnya bergerak-gerak, lalu kudengar suaranya yang parau. Yang membuatku terperanjat adalah kenyataan orang yang baru kurobohkan itu berbicara dalam bahasa ibuku.
 
"Mas. sampean dari Jawa, kan?" katanya megap-megap.
 
"Ya. Mengapa?"
 
"Aku akan mati di sini. Tolong sampaikan berita kematianku kepada orang tuaku di Jawa."
 
Dia menyebut satu nama, satu tempat yang berada di wilayah kabupaten Eling-eling.
 
Sesuatu yang bagiku terasa lebih besar adalah rusaknya konsep keprajuritan dalam jiwaku; lambat-laun aleu tidak merasa menjadi Gatotkaca lagi. Mungkin salahnya para dalang mengapa mereka belum sekali pun menampilkan cerita di mana Gatotkaca membunuh prajurit Amarta lainnya yang membelot dan memberontak. Ah, ternyata dalam hal kelemahan hati menghadapi darah dan pembunuhan aku tidak sendiri. Ada seorang teman yang menjadi gila oleh sebuah kejadian yang amat mencekam. Dia mendapat tugas mengeksekusi pemberontak yang tertangkap hidup. Semuanya berjalan biasa dan tertib sampai si pemberontak ditembak dan jasadnya dimasukkan ke liang kubur. Pada saat itulah jasad yang semula dikira sudah tidak bernyawa melompat bangkit dan menerkam temanku. Temanku dapat melumpuhkannya karena dia hanya bergumul dengan orang yang sedang meregang nyawa. Tetapi jiwa temanku kalah. Kesadarannya hilang dan sekarang dia dikerangkeng sebab berbahaya.
 
Apabila aku mulai berpikir bahwa diriku tidak pantas menjadi tentara maka sebabnya bukan hanya perkara temanku yang jadi miring itu. Bukan pula hanya karena aku lemah menghadapi darah dan pembunuhan. Lebih dari itu; Dukuh Paruk sama sekali tidak memberi bekal kejiwaan kepadaku untuk berbuat sesuatu melalui penggunaan senjata. Dukuh Paruk hanya mengajariku tentang keselarasan dan penyelarasan yang bersumber dari kesantunan. Boleh jadi inilah tema pesan terakhir moyangku Ki Secamenggala. Dia memang konon bromocorah. Namun pada akhir hayatnya dia menyadari bahwa keselarasan dan penyelarasan diri dengan selera alam adalah lebih menentramkan jiwa daripada segala kekerasan. Bila benar demikian maka bagaimanapun juga darahku adalah darah Dukuh Paruk sejati. Dengan demikian maka keprajuritan bukanlah tempat yang cocok bagiku.
 
Atau entahlah. Yang jelas aku menjadi gembira bukan main ketika mulai terdengar selentingan bahwa batalion kami akan ditarik dari Kalimantan Barat kembali ke Pulau Jawa. Aku melihat bagaimana teman-teman bergembira. Ada yang menciumi foto anak dan istrinya atau pacarnya. Ada yang bersorak-sorai karena merasa akan segera berkumpul kembali dengan regu sepak bolanya. Hanya ada seorang yang linglung yakni temanku yang miring itu. Juga aku sendiri yang meski gembira tidak bisa lain kecuali merenung, karena aku tidak punya istri atau anak, bahkan pacar. Aku hanya mempunyai Dukuh Paruk yang kuharap masih setia memangku sebuah gubuk doyong di mana aku ditumbuhkan sebagai kecambah manusia.
 
Sementara teman-teman mulai mengumpulkan kenang-kenangan untuk dibawa pulang ke Jawa aku lebih banyak tinggal di markas. Ada seorang teman berkata dengan penuh gembira bahwa dia telah memperoleh mandau dan perisai suku Dayak Iban. Teman lain memperoleh kera hantu, seekor binatang yang sangat menakjubkan. Badannya kecil, sebesar celurut busuk dan matanya bulat sungguh tidak sebanding dengan ukuran badannya.
 
Lalu mengapa Dukuh Paruk yang makin tua dan kumuh kini makin terasa nyaring memanggilku pulang? Mengapa? Kadang aku menuduh diriku sendiri bersikap terlampau sentimental, terutama terhadap gubuk lapuk yang mungkin kini sudah rubuh itu. Atau siapa saja akan sangat mudah mengatakan sebenarnya aku tak mampu melupakan Dukuh Paruk karena masih ada manusia perempuan yang bernama Srintil di sana. Atau lagi, jasadku memang saripati tanah Dukuh Paruk. Tidak mengherankan bila aku selalu ingin kembali kepada ibuku. Jawaban itu secara sendiri-sendiri atau gabungan ketiga-tiganya kuakui kebenarannya. Namun aku sungguh merasa belum puas. Masih saja tersisa pertanyaan mengapa aku selalu teringat Dukuh Paruk?
 
Lama sekali aku mengembara dalam alam permenungan sebelum akhirnya aku memperoleh jawaban yang memadai. Jawaban itu datang bersamaan dengan munculnya kesadaran bahwa seiauh ini aku telah keliru bersikap terhadap Dukuh Paruk. Selama ini aku mencintai Dukuh Paruk dengan cara membiarkannya lelap dengan mimpi cabul, mengigau dengan segala macam sumpah-serapah. Aku telah sekian lama membiarkan kumbang tahi beterbangan bebas, membiarkan koreng merayapi kaki dan tangan anak-anak sedarah dan membiarkan mereka puas makan singkong. Aku alpa membiarkan tanah airku yang kecil buta dan pekak terhadap kasih sayang Ilahi, kasih sayang sejati yang menjadi motivasi dasar keterberadaan Dukuh Paruk bersama segenap isinya. Semula aku berkeyakinan sikapku terhadap Dukuh Paruk sudah benar; membiarkan tanah airku hidup seperti apa adanya adalah sama berharga dengan membiarkan lumut atau bunga bangkai tumbuh dalam kebebasannya. Atau membiarkan katak berjuang antara hidup dan mati dalam mulut ular. Atau bersikap toleran terhadap cerpelai yang sekali-sekali mencuri anak ayam agar kehidupan jenisnya selamat dari kepunahan.
 
Demi Seniman Agung yang menciptakan Dukuh Paruk, semestinya aku tidak mempersamakan tanah airku yang kecil itu hanya sekadar dengan lumut atau cerpelai. Di sana ada kemanusiaan, maka mestinya ada juga akal budi dan nurani. Namun akulah yang menjadi saksi pertama bahwa kemanusiaan, akal budi, dan nurani di tanah airku yang kecil hanya berkembang sampai ke taraf primitif. Dan apabila benar aku mencintai Dukuh Paruk, mengapa aku berdiam diri dan membiarkan orang-orang sepuak tumbuh liar dengan segala akibatnya berupa kekalahan-kekalahan hidup? Membiarkan mereka ternista oleh saringan alam?
 
Dulu aku demikian yakin membiarkan Dukuh Paruk apa adanya adalah arif. Sekarang dengan kesadaranku sendiri pikiranku berbalik; membiarkan Dukuh Paruk tetap cabul, kere, dan dungu adalah bertentangan dengan misi utama kemanusiaan itu sendiri. Di sana adalah orang-orang sepuak yang berjumlah tidak lebih dari tujuh puluh kepala. Menggembalakan mereka mestilah bukan suatu pekerjaan yang terlampau sulit. Bahkan bagiku permasalahannya demikian mudah bila dibandingkan dengan tugas keprajuritan yang sering kali harus berhadapan dengan darah yang tumpah. Dan yang paling mendasar dari segalanya; bila Dukuh Paruk memang harus diangkat dari lumpur pelimbahan maka pada siapakah tanggung jawab tugas semacam itu?
 
Aku tidak ingin berkata bahwa akulah pihak pertama yang harus mengemban tanggung jawab itu. Pihak pertama itu mestilah para pemangku kekuasaan resmi. Namun aku harus menyadari, wawasan kekuasaan pada taraf nasional atau regional nyatanya tidaklah mesti menukik dan rinci sampai ke masalah pedukuhan kecil seperti Dukuh Paruk. Sementara itu wawasan kekuasaan desa demikian payah sehingga lurah Pecikalan misalnya hanya merasa malu karena dalam wilayah kekuasaannya ada pedukuhan yang bernama Dukuh Paruk. Sepanjang yang teringat sekali pun aku belum pernah menyaksikan mereka berbuat sesuatu yang nyata bagi perbaikan tanah airku yang kecil itu.
 
Dalam keadaan demikian aku memang merasa ada tangan menuding kepadaku. Akulah yang secara moral paling layak mengambil tanggung jawab bagi pemanusiaan Dukuh Paruk. Ini sebuah pekerjaan yang menyenangkan karena akan kulakukan di atas pangkuan ibu kandungku. Aku akan sangat senang melakukannya tanpa mengingat di sana ada gubuk reyot bekas sarangku, tanpa mengingat adanya Srintil, bahkan tanpa menghubung-hubungkannya dengan semangat patriotik.
 
Hatiku bertembang pada kesadaran jiwa yang amat dalam. Hidup pribadiku tentulah sangat kecil bila dibandingkan dengan besar dan luasnya totalitas kehidupan. Namun dalam kekecilan hidupku aku merasa telah menemukan sebuah makna. Memang tidak gemerlap. Tetapi dia akan sangat berharga bila suatu ketika diriku sendiri bertanya, apakah yang sudah kuperbuat dalam hidupku yang bersahaja ini. Mengajak Dukuh Paruk menyelaraskan diri dengan selera Ilahi adalah mengajak orang-orang di sana membersihkan diri dari koreng, dari ciu, dari omong cabul, dan dari kesewenangan berahi. Dan yang terpenting, memperkenalkan kepada mereka siapakah Penguasa Sejati kepada siapa mereka harus bertata krama sebaik-baiknya. Mereka harus bisa membaca huruf dan membaca alam. Mereka harus bisa menggunakan pikir selain rasa. Dan mereka harus percaya bahwa kemelaratan sama sekali tidak bisa menjadi nilai kebanggaan.
 
Anganku terus melambung sampai akhirnya terbentur pada kenyataan yang pahit. Bila aku ingin menjadi gembala yang baik, maka aku harus tinggal di tengah mereka. Dan aku harus pula membawa bekal. Ini berarti aku harus melepaskan diri dari dinas ketentaraan yang sekaligus aku kehilangan sumber penghasilan. Padahal di Dukuh Paruk aku tak punya apa-apa lagi kecuali sebuah sarang tua dengan beberapa jengkal tanah di bawahnya. Sulit. Bagaimana mungkin aku bisa berbuat sesuatu yang berarti bagi tanah airku yang kecil bila perutku sendiri kemudian menjadi lapar?
 
Atau aku harus menunda rencana sampai usiaku di atas empat puluh. Pada saat itu aku tidak lagi menjadi anggota pasukan tempur aktif dan aku boleh mengajukan permohonan untuk berdinas di sebuah Komando Rayon Militer yang dulu bernama Puterpra. Pada setiap kecamatan terdapat komando ini. Dan tentu saja aku ingin menjadi anggota Koramil Dawuan. Ini pun kalau bisa. Lagi pula usia di atas empat puluh baru akan menjelang lebih dari dua belas tahun yang akan datang.
 
Sampai aku pulang kembali ke Jawa ternyata pikiranku masih terombang-ambing. Pasukanku diberi istirahat secara bergilir dan aku sengaja memilih giliran yang paling akhir. Biarlah teman-teman lebih dulu melepas rindu kepada istri dan anak-anak mereka. Atau kecintaan mereka. Aku hanya mempunyai Dukuh Paruk dan kukira dia sabar menunggu sampai teman-temanku pulang kembali ke markas. Dan aku tidak segera berangkat ke Dukuh Paruk manakala akhirnya giliran cutiku tiba.
 
Mungkin karena aku ingin melihat Dawuan kini dengan irigasinya yang baru. Mungkin juga karena aku ingin melihat Srintil; bagaimanakah hubungannya yang dulu kuketahui dengan orang proyek itu. Yang jelas bukan karena aku ingin segera melakukan gagasan baru apa pun buat tanah airku yang kecil ketika pada hari cuti yang ketiga aku pulang ke sana. Tiba di Dawuan sudah pukul sebelas malam karena aku mampir nonton film di kota Eling-eling. Ada niat hendak pinjam sepeda kepada Sersan Pujo di Koramil Dawuan. Tetapi urung karena aku sungguh merasa tidak mempunyai alasan buat tergesa-gesa sampai ke Dukuh Paruk.
 
Malam gelap pekat dan langit hanya memperlihatkan kerlipan bintang-bintang. Tetapi tanah yang kuinjak sedikit melumpur, mungkin habis hujan tadi siang. Sepi sekali. Warung-warung yang buka hingga jauh malam karena ingin melayani para pekerja proyek yang lembur, kini sudah tiada. Aku tidak melihat seorang pun di jalan kecuali para peronda di gardu jaga. Dan suasana makin lengang ketika aku mulai menapaki pematang panjang yang lurus menuju Dukuh Paruk.
 
Aku hanya berteman suara langkah kaki serta lampu senter kecil di tangan kiri. Ya, sudah kudengar gemercik air di saluran-saluran kuarter pertanda bendungan dan saluran pengairan sudah bekerja. Lalu samar-samar mulai kudengar suara; apa? Tembang ronggeng? Aku maju beberapa langkah lalu berhenti memasang telinga. Suara itu jelas datang dari dukuhku yang kini sudah kelihatan remangnya. Tidak salah lagi. Itu lagu Eling-eling Banyumasan dengan parikan khas.
 
Dhongkel gelang daning bung alang-alang
Wis sakjege wong lanang gedhe gorohe
 
Lisus kali kedhung jero banyu mili
Meneng soten atine bolar-baleran
 
Wakul kayu cepone wadhah pengaron
Kapanane, kapanane ketemu padha dhewekan
 
 
Oh, Dukuh Paruk. Meski ada perubahan tetapi aku tahu betul milik siapakah suara itu. Oh, tanah airku yang kecil. Masih jugakah engkau dalam kekumuhan karena engkau terlena oleh tembang berahi? Dan engkau, Srintil. Tak ada hak perorangan buat melarangmu tetap meronggeng. Tidak ada. Aku pun tidak. Aku hanya ingin bertanya dengan amat merendah, belum cukupkah kegetiran yang kauperoleh selama meniti garis hidup sebagai ronggeng?
 
Kita sama-sama anak kandung Dukuh Paruk dan kita sama-sama mencintainya karena sesungguhnya tidak ada ibu yang jahat. Tetapi ibu kita memang bodoh sejak semula. Dia tidak mengerti semua hal yang baik atau yang buruk bagi anak-anaknya. Srintil, kamu tidak harus memenuhi semua permintaan Dukuh Paruk!
 
Aku bergerak kembali dengan kekecewaan yang mulai mengembang. Sementara itu Srintil terus berlagu. Kini terdengar dia menyuarakan lagu jenaka.
 
Klinthang-klinthung pasar kewan kidul gunung
Tipar lor Sugihan, Jatisalu Pasar Manis
Terus ngetan anjog maring Pesanggrahan
 
Klinthang-klinthung ana mantri mikul calung
Mampir gubug randha, urut senthong dilongoki
Mbok menawa Nini Randha nggodhog wedang.
 
Lalu terdengar Srintil terbahak-bahak. Aku sendiri jadi terkejut karena kemudian aku sadar hari hampir menjelang tengah malam. Ketika malam demikian lengang Srintil bertembang dan terbahak seorang diri? Kupercepat langkah langsung ke arah rumah Srintil. Di halaman aku berdiri tercengang melihat rumah itu sudah berubah, besar dan berdinding tembok. Srintil kudengar masih tertawatawa. Tawa yang aneh.
 
"Kula nuwun, kula nuwun!" seruku sambil mengetuk pintu.
 
"Sinten?" Kudengar Nyai Sakarya menyahut.
 
"Aku, Nyai. Rasus."
 
"Gusti, Cucuku Wong Bagus!"
 
Aku menerobos masuk pada detik pertama pintu terbuka. Kulihat Nyai Sakarya berdiri menggigil. Wajahnya pasi. Matanya berkaca dan mulutnya komat-kamit.
 
"Oalah, Cucuku Rasus. Mengapa baru sekarang kamu pulang?"
 
"Ada apa, Nyai?"
 
Nyai Sakarya hanya menunjuk ke pintu kamar depan yang terkunci dengan palang kayu dari luar. Nuraniku segera berkata Srintil ada di dalam. Kunci kudobrak tetapi kuat bukan main. Kutarik pisau belatiku buat meretas temali sebesar jari. Putus. Palang kayu kutarik. Kamar terbuka dan bau najis langsung menerpa hidungku.
 
Yang kulihat di sana adalah manusia yang hampir semenjak bayi kukenal. Yang seperti demikian adanya dia pernah mempunyai makna amat penting dalam kehidupanku. Yang suatu kali dalam masa yang panjang dia kuanggap sebagai jelmaan Emak. Emak yang melahirkan diriku.
 
Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku melemah. Apa yang tertangkap oleh mata amat sulit kucerna menjadi pengertian dan kesadaran. Srintil yang demikian kusut dengan celana kolor sampai ke lutut serta kaus oblong yang robek-robek. Srintil yang duduk di atas sesuatu, mungkin kotorannya sendiri. Srintil yang hanya menoleh sesaat kepadaku lalu kembali berbicara sendiri. Dan pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu.
 
Aku tak sanggup berbuat sesuatu bahkan untuk sekadar membuka mulut. Bukan hanya sekali aku mengalami keguncangan jiwa. Atau katakan, karena aku memang lemah maka hidupku jadi penuh keguncangan. Namun keguncangan kali ini jauh lebih mengerikan daripada keguncangan ketika aku menyaksikan seseorang yang sedang meregang nyawa dengan tubuh bersimbah darah. Srintil tidak bisa dikatakan mengalami apa pun kecuali penjungkirbalikan derajat manusia menjadi derajat binatang. Ini cukup untuk kukatakan bahwa yang terjadi atas dirinya seribu kali lebih hebat daripada kematian karena kematian itu sendiri adalah anak kandung kehidupan kemanusiaan.
 
Ada tangan dengan halus menuntunku ke luar. Boleh jadi aku patuh dan kemudian ikut melangkah ke luar. Atau entahlah, karena kemudian aku mulai sadar sudah berada di atas dipan. "Laa ilaaha illallaah!"
 
"Sudah eling. Syukur, Cucuku sudah eling," kata Nyai Sakarya yang kudengar samar.
 
"Ya. Nyebut, Cucuku. Dan bersabarlah. Kita sedang menerima bencana lagi," sambung Kartareja.
 
Seseorang menyodorkan segelas air yang segera kuminum habis. Orang-orang Dukuh Paruk ternyata sudah mengelilingiku. Sakum berjalan meraba. Tangannya kutarik agar dia duduk di sampingku. Nyai Kartareja dan Tampi menangis. Goder mungkin yang paling merasakan mala petaka yang terjadi atas diri Stintil. Anak yang baru berusia empat tahun itu melolong demi Srintil yang telah sekian lama menjadi ibunya.
 
Sepuluh menit kemudian aku sudah mengerti apa yang terjadi. Kartareja tanpa kuminta menceritakan semuanya.
 
"Srintil jadingengleng begitu Bajus menyatakan tidak bisa mengawininya. Itu kata Bajus sendiri yang mengantarkan Srintil pulang."
 
"Tidak ada yang bertanya apa alasannya?"
 
"Aku yang menanyakan itu. Bajus itu ternyata laki-laki peluh akibat suatu kecelakaan di Jatiluhur. Kalau demikian keadaannya kita tidak bisa apa-apa," ujar Kartareja.
 
"Memang Bajus itu lemah. Srintil pernah berkata selama sekian bulan bergaul dengan Bajus belum sekali pun laki-laki itu menyentuhnya," sambung Nyai Kartareja. "Bajus hanya ingin berkawan dengan Srintil. Lain tidak."
 
"Tetapi dia tetap salah," kataku. "Kebaikannya yang berlebihan memang harus punya arti khusus bagi Srintil atau perempuan mana pun."
 
"Ya. Namun bagaimana kita akan meminta tanggung jawab atas kesalahan seperti itu?"
 
Aku bangkit dan menghentakkan kaki ke tanah. Bagaimanapun juga aku ingin menempeleng laki-laki yang bernama Bajus. Ah, tetapi tindakan semacam itu percuma saja. Ada benarnya kata Kartareja; bukan hal yang mudah meminta pertanggungjawaban kepada Bajus. Aku hanya akan menambah kepusingan.
 
"Lalu, apa kalian sudah berbuat sesuatu untuk menolong Srintil?"
 
"Eh, lha, sudah. Tiga orang tua sudah kudatangkan kemari," ujar Nyai Kartareja. "Srintil sudah dimandikan, sudah diberi sambetan, sebab siapa tahu dia kemasukan roh jahat. Namun Srintil makin menjadi. Hampir semua pakaiannya dirobek-robek. Kaca lemari dipecahkannya. Seminggu yang lalu Goder dicekiknya. Untung kami melihat sehingga anak itu tidak mati lemas."
 
"Ya. Maka kami terpaksa menutupnya dalam kamar. Dan karena kami khawatir ia akan menggantung diri maka kainnya kami ganti dengan celana kolor. Itu lebih aman."
 
"Sudah lapor kepada lurah?"
 
"Ya sudah," jawab Kartareja. "Dia menyuruh kami membawa Srintil ke rumah sakit. Nah, urusan semacam itu aku tidak tahu. Lurah kuminta menyuruh seorang pembantunya untuk menolong kami. Tidak bisa, katanya semua orang sedang sibuk. Mau ada Pemilu. Ya, Pemilu."
 
Lepas tengah malam hanya beberapa orang yang masih tinggal: aku, suami-istri Kartareja serta Nyai Sakarya. Tetapi Nyai Sakarya disuruh tidur. Pasti dia sudah beberapa malam bergadang menjaga cucunya dan konon hanya Tampi serta Nyai Kartareja yang setia membantunya. Di kamar depan Srintil masih bertembang. Kadang diselingi dengan cakap sendiri, grenengan. Kadang tawanya mendadak ngikik dan panjang. Aku masuk ke kamarnya, ingin mencoba berkomunikasi. Namun lagi-lagi aku menghadapi kesulitan pada diriku sendiri. Berat bukan main melihat kenyataan yang ada di depan mata.
 
Oh, Dukuh Paruk. Dulu pun aku pernah bersumpah takkan memaafkanmu karena kaurenggut Srintil dari tanganku untuk kaujadikan ronggeng. Dulu aku mengalah kepadamu karena kepentinganku terhadap Srintil hanya urusan pribadiku. Oh, Dukuh Paruk. Karena kedunguanmu maka kini Srintil hanya tinggal sosok dan nyawa. Karena kedunguanmu maka kau pasti tidak merasa bahwa sesungguhnya engkaulah yang harus bertanggung jawab atas kehancuran yang luar biasa ini. Dukuh Paruk! Engkau yang bebal, jorok, dan cabul dalam sekejap telah melenyapkan semua pesona anakmu dan melumurinya dengan kejijikan.
 
"Srin," kataku sambil maju perlahan. Hati-hati kuletakkan tanganku di pundaknya. "Lihatlah kemari. Kamu mengerti siapa aku, bukan?"
 
Srintil menoleh. Cermin diri yang selama ini kukenal tidak muncul sedikit pun pada kedua matanya sehingga tidak mudah percaya bahwa yang sedang kuhadapi benar-benar Srintil.
 
"Kamu kenal siapa aku, bukan?" ulangku.
 
"Rasus. Rasus gila yang akan mengembalikan aku ke rumah tahanan. Ya, kan?"
 
"Oh, tidak."
 
"Tetapi kamu dulu yang menyusulku di tahanan?"
 
"Ya."
 
"Eh, Kang Rasus. Panggil Sakum. Panggil semua penabuh calung. Kita bertayub. Mau, Kang?"
 
Sebelum aku berkata sesuatu Srintil sudah bangkit.
Bau sengak mengambang. Dan Srintil mulai melenggak-lenggok.
 
Kembange, kembang terong
Kepengin cemerong-cerong
Arep nembung akeh wong
 
 
Aku keluar lagi dengan keperihan yang makin dalam. Ransel kusandang dan kepada Kartareja kukatakan aku ingin beristirahat di gubukku sendiri. Nyai Sakarya meminjamiku sebuah lampu tempel, kemudian aku melangkah ke luar.
 
Di bawah sinar bulan temaram aku tidak tahu sejauh manakah gubukku sudah doyong. Dan aku membuka pintunya tanpa ragu sedikit pun. Ransel kuletakkan di atas lincak dan aku keluar lagi dengan handuk dan lampu tempel yang belum lepas dari tangan. Ke pancuran.
 
Bulan tua sudah berada di tengah belahan langit barat. Musim penghujan mulai tiba, pertama kali membawa ribuan nyamuk ke tanah airku yang kecil. Aku tidak bisa tidur. Karena nyamuk, karena Srintil, dan karena kesadaran yang pasti bahwa aku adalah anak Dukuh Paruk sejati. Aku adalah warisnya yang sah maka sah pula hakku untuk berdiri menghalangi kedunguan puakku sendiri. Aku berhak menggugurkan lahirnya ronggeng-ronggeng baru di Dukuh Paruk selama ronggeng menjadi ciri kebebasan selera manusia yang tidak tahu akan adanya Selera Agung yang transenden, dan karenanya harus diutamakan. Aku takkan lagi membiarkan Dukuh Paruk apa adanya. Puncak mala petaka sudah tiba dan aku geram bukan main karena Srintil-lah yang harus memikulnya.
 
Aku bersembahyang. Aku berdoa untuk Dukuh Paruk agar dia sadar dan bangkit dari kebodohannya. Dan dengan air mata berjatuhan aku memohon kepada Tuhan kiranya Srintil mendapat kesempatan kembali memanusia dan mampu memahluk.
 
Pagi-pagi sesaat matahari terbit aku sudah berpakaian rapi. Baju putih lengan panjang serta celana abu-abu. Yang masih menandakan aku tentara adalah potongan rambut serta sepatuku. Pintu rumah Kartareja kuketuk. Istrinya kuminta memandikan Srintil dan memberinya pakaian yang pantas. Aku akan membawanya ke rumah sakit tentara karena aku tahu di sana ada bagian perawatan penyakit kejiwaan. Oh, aku harus menyaksikan sekali lagi Srintil yang sudah kehilangan kemanusiaannya. Dia liar sehingga diperlukan tenaga tiga orang untuk membawanya ke sumur. Aku terpaksa mendekat karena suasana menjadi genting. Srintil meronta-ronta tak mau dimandikan.
 
"Nah, lihat. Pak Tentara datang. Malu, kan? Maka ayo mandi," bujuk Nyai Kartareja.
 
Srintil menoleh kepadaku. Reda. Lalu tersenyum dan liar.
 
"He, Kang Rasus gagah."
 
"Memang. Kamu juga cantik."
 
"He. Kang Rasus mau jadi penganten, ya?"
 
Semua diam. Semua menghunjamkan pandang ke mataku.
 
"Tidak! Oh, ya. Aku mau jadi penganten," kataku.
 
"Nyai. Aku juga mau jadi penganten. Nyai, mandi. Eh, Kang Rasus. Kamu mau memandikan aku?"
 
"Tentu. Ayo ke sumur. Ayo mandi."
 
Srintil cekikikan ketika kusirami tubuhnya dengan air langsung dari ember. Nyai Kartareja dan Tampi membersihkan badannya, mencuci rambutnya. Dan Srintil terus cekikikan. Dan syukur hanya cekikikan sehingga Tampi dan Nyai Kartareja dapat bekerja dengan baik. Selesai mandi rambut Srintil dipilin dengan handuk supaya cepat kering. Aku pergi ke depan menunggu Srintil selesai didandani. Terdengar keributan kecil di antara tawa Srintil. Namun aku percaya semuanya bisa berjalan baik.
 
Sakum datang tertatih-tatih. Tahu saja dia bahwa aku sedang duduk di ruang tamu.
 
"Oh, Mas Tentara. Sekarang beginilah jadinya. Dulu aku bilang apa. Andaikan dulu sampean menuruti kata-kataku, Srintil tak sampai menjadi demikian keadaannya. Sudah terlanjur, Mas Tentara. Sekarang aku tidak berani menganjurkan sampean mengawini Srintil. sampean tentu malu mempunyai istri perempuan tidak waras. Iya, kan?"
 
Aku diam dan menelan ludah. Bahkan aku tak berani melihat mata Sakum yang buta. Tiba-tiba aku merasa menjadi inti kedunguan Dukuh Paruk kepada siapa tadi malam aku mengumumkan perang. Dan Sakum dengan bahasa yang amat bersahaja menunjukkan bahwa kunci utama untuk menembus kedunguan tanah airku yang kecil justru berada pada genggamanku. Dengan kata lain, bukan keseluruhan Dukuh Paruk yang harus memikul tanggung jawab atas keadaan Srintil melainkan aku. Ada denyut keras menyentak jantungku.
 
Sementara aku masih bimbang oleh pertanyaan Sakum, Nyai Sakarya muncul. Di tangannya ada sebuah amplop yang menggembung.
 
"Cucuku, ini uang kepunyaan Srintil. Bajus memberikannya kepada Srintil ketika terakhir kali dia mengantar Srintil pulang. Tak ada yang berani menggunakannya. Nah, kalau sampean mau membawa Srintil ke rumah sakit, pakailah uang ini."
 
"Jadi uang itu pemberian Bajus, orang proyek itu?" tanyaku.
 
"Ya."
 
Kuterima amplop itu dari tangan Nyai Sakarya untuk kulempar kembali ke atas meja. Isinya lembar lima ribuan yang masih baru-baru berhamburan ke lantai. Aneh, tak seorang pun tertarik untuk melihatnya. Semua orang memandang wajahku. Apakah mereka mengerti nama Bajus telah menusuk telingaku hingga ke benak?
 
"Srintil akan kurawat dengan uangku sendiri," kataku datar dan pasti.
 
Srintil keluar diapit oleh Nyai Kartareja dan Tampi. Ya. Dengan kain dan baju yang layak masih terlibat gambaran Srintil yang dulu. Beda bukan pada badannya yang kurus, amat kurus. Tetapi pada kedua matanya yang mati, mimiknya yang liar dan wajah yang hampa dari citra kemanusiaan. Ah, tidak peduli. Aku bangkit dan mengajak Srintil langsung berangkat. Tetapi Srintil mogok di depan pintu. Dia menuntut bunga buat hiasan sanggulnya. Tampi lari ke samping rumah, kembali membawa dua kuntum kenanga yang sudah kuning. Baunya mengambang. Namun Srintil meremasnya lalu melemparkannya ke wajah Tampi. Giliran anak Sakum yang lari. Di tepi dukuh dia memungut beberapa kembang bungur yang berguguran. Dan Stintil kembali menampik. Kembang itu diremas. Remahnya menaburi wajah Nyai Sakarya. Akhirnya Srintil bertindak sendiri. Sambil mengangkat ujung kain dia berlari. Liar. Aku mengikutinya dari belakang. Di bawah pohon bungur dia membungkuk, mengambil sekuntum bunga yang masih segar, lalu memasangnya di sisi konde.
 
"Nah, begini. Bagus, kan?"
 
"Ya. Sekarang, ayolah. Hari sudah siang."
 
"Aku mau jadi penganten, Kang?"
 
"Betul."
 
"Jangan bohong. Kamu mau menipuku?"
 
"Tidak. Aku juga mau jadi penganten."
 
Srintil meringkik dan terus meringkik. Dia berjalan, tangannya kadang melenggang-lenggok, kadang digapainya dedaunan yang dekat. Aku berbalik menjemput Nyai Kartareja dan mengambil tas pakaian Srintil dari tangannya. Mata semua orang Dukuh Paruk tertuju kepadaku. Mata yang berharap, mata yang menangis, dan mata yang tak berhasil kuterjemahkan maknanya.
 
Di luar perhitunganku Srintil terus berjalan di depan dengan arah yang pasti. Ya, Tuhan! Kini aku sungguh mengerti. Manusia tanpa kesadaran yang sedang berjalan di depan itu adalah amanat bagiku. Ya, Tuhan, Engkau yang tidak menaruh kepentingan apa pun atas realita Dukuh Paruk, namun Engkau telah menentukan hukum dialektik atas dirinya. Yang sedang berjalan seperti daun kering tertiup angin itu adalah dia yang sedang terkena hukum dialektik sejarah pribadinya. Kemudian nuraniku berkata bahwa aku harus menolongnya, membantunya agar dia mampu menata perwujudannya selaras dengan selera Engkau.
 
Ketika berjalan sepanjang pematang yang menghubungkan Dukuh Paruk dengan dunia luar beberapa kali Srintil berhenti. Bahkan sekali dia hendak duduk tetapi aku cepat menangkap tangannya. Orang-orang yang sedang bekerja di sawah memperhatikan kami dengan pandangan mata yang asing. Jelas sekali kesan mereka yang menganggap Srintil sudah berada di luar kebersamaan nilai. Mereka yang berjalan berlawan arah cepat-cepat menyimpang. Anak-anak lari menjauh.
 
Sampai di depan pasar Dawuan mendadak Srintil jadi beringas. Dia hendak menerobos orang-orang yang menontonnya, masuk ke dalam pasar. Aku teringat kepercayaan orang Dukuh Paruk bahwa orang gila yang sudah masuk ke pasar akan sulit sembuhnya. Maka aku segera menangkap Srintil, merangkulnya dan terus membawanya ke arah terminal. Orang-orang pasar yang dulu sangat memanjakan Srintil kini jadi penonton. Mereka ketakutan seakan Srintil adalah anjing geladak yang sakit dan selalu siap menggigit mereka.
 
Sopir bus jurusan kota Eling-eling mula-mula berkeberatan membawa kami. Tidak ingin ada keonaran dalam busnya, katanya. Dengan wajah masam akhirnya dia mengalah setelah melihat kartu anggota militer yang kusodorkan dekat matanya.
 
Di dalam kendaraan, alhamdulillah, Srintil kelihatan jinak. Tetapi turun dari bus dia hendak lari. Dia berteriak-teriak menuduhku hendak membawanya kembali ke dalam tahanan. Ya. Rumah besar beratap seng yang dulu menyekap Srintil selama dua tahun kelihatan dari terminal. Aku kewalahan. Dua orang tukang becak kumintai bantuan. Lalu dengan hati yang menangis tangan Srintil kubelenggu dengan sapu tangan. Dia kugotong naik becak.
 
Perjalanan dua jam dari Dukuh Paruk terasa amat menekan. Ketegangan yang meliputi hatiku hampir berakhir ketika becak berhenti di gerbang rumah sakit tentara. Seorang sipil yang kebetulan ada dalam gardu jaga kuminta mendekat. Srintil kami papah masuk, langsung ke bangsal perawatan penyakit jiwa. Ya, Tuhan! Karena Srintil terus meronta maka sebuah kamar berpintu besi dibuka untuknya. Ketika petugas menguncinya dengan sebuah gembok besar air mataku meleleh.
 
Kepala bangsal memanggilku untuk minta keterangan dan data tentang Srintil. Kukatakan semuanya, terutama bahwa akulah yang menanggung segala biaya perawatan. Tetapi lidahku tiba-tiba kelu ketika petugas bertanya tentang hubunganku dengan Srintil.
 
"Istri?"
 
"Bukan. Aku masih bujangan."
 
"Adik?"
 
"Bukan. Hanya saudara."
 
"Hanya saudara?"
 
Aku diam dan menunduk. Ada angin beliung berpusar keras dalam kepalaku. Dan beliung itu berubah menjadi badai yang amat dahsyat karena aku mendengar Srintil melolong-lolong dalam kamar yang persis kerangkeng. Satu-satu diserunya nama orang Dukuh Paruk dan namakulah yang paling sering disebutnya. Aku merasa saat itu keberadaanku adalah nurani tanah airku yang kecil, Dukuh Paruk. Aku adalah hati ibu yang remuk karena mendengar seorang anaknya melolong dan meratap dalam kematian yang jauh lebih dahsyat daripada maut.
 
Samar , samar sekali, kulihat petugas rumah sakit itu tersenyum. Oh, tidak salah bila seseorang yang sedang berdiri di depanku tidak mengerti tentang gempa luar biasa yang sedang mengguncang jiwaku. Dengarlah kata-katanya yang seloroh.
 
"Wah, sayang. Sungguh sayang. Sepintas kulihat dia memang, wah. Bisa kubayangkan kecantikannya di kala dia sehat. Lalu maafkan aku, Mas. Dia bukan istri, bukan pula adik sampean. Maaf. Pasien itu calon istri sampean barangkali?"
 
"Ya!"
 
Hening. Tiba-tiba semuanya menjadi bening dan enteng. Oh, lega. Lega. Keangkuhan, atau kemunafikan yang selama ini berdiri angkuh di hadapanku telah kurobohkan hanya dengan sebuah kata yang begitu singkat. Segalanya menjadi ringan seperti kapuk ilalang. Aku bisa mendengar semua bisik hati yang paling lirih sekalipun. Aku dapat melihat mutiara-mutiara jiwa dalam lubuk yang paling pingit.
 
Kemudian, siapa saja bakal percuma bila ingin tahu motivasi di balik keputusanku. Mungkin orang akan mengatakan, karena cinta yang demikian dalam maka aku memutuskan hendak mengawini Srintil meski dia kini dalam keadaan tanpa martabat kemanusiaan. Itu pikiran umum dan wajar. Namun bagiku jalan pikiran demikian amat sepele dan terlalu bersahaja. 'Ya' yang kuucapkan tidak berlatar sikap jiwa yang sentimental, tidak melankolik apalagi emosional. 'Ya' yang kuucapkan adalah wakil dari kebeningan jiwa, wakil dari warna dasar totalitas diri yang sudah sekian lama mencoba menyesuaikan diri dengan keselarasan agung. Dia tidak berada jauh dari titik puncak piramida kesadaranku, sejajar dengan garis kudus yang menghubungkan keberadaanku dengan keberadaan Ilahi. Maka keputusanku amat sah, teduh, dan tenang. Setenang aliran sungai manakala dia menyentuh kedalaman samudra.
 
Malam hari ketika sudah berada kembali di Dukuh Paruk aku berdiri tanpa teman di luar rumah. Sekelilingku adalah tanah air yang kecil dan sengsara. Ditambah dengan nestapa yang sedang menimpa Srintil, Dukuh Paruk bertambah sakit. Sekelilingku adalah Dukuh Paruk yang sedang lelap dalam gubuk-gubuk ilalang, bukuh Paruk yang sejak kelahirannya tak pernah mampu menangkap maksud tertinggi kehidupan. Tanah airku yang kecil tak pernah bersungguh-sungguh mengembangkan akal budi sehingga tidak tahu bahwa dia seharusnya menyingkirkan kurap dan cacing yang menggerogoti anak-anak, serta kebodohan yang hanya membawa kemelaratan turun-temurun. Karena tak pernah atau tak mampu mengembangkan akal budi pula, tanah airku yang kecil sesungguhnya tak pernah berusaha menyelaraskan diri dengan selera Ilahi. Ibuku telah sekian lama terlena dalam krida batin yang naif, kenaifan mana telah melahirkan antara lain ronggeng-ronggeng Dukuh Paruk. Ronggeng sendiri mestinya tiada mengapa bila dia memungkinkan ditata dalam keselarasan agung. Namun ronggeng yang mengembangkan wawasan berahi yang primitif ternyata tidak mendatangkan rahmat kehidupan.
 
Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naif, langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru kasat mata setelah dia membuat jantera bianglala di seputar bulan. Mendiang Sakarya sering mengatakan, bulan berkalang bianglala adalah pertanda datangnya masa susah dan Dukuh Paruk selalu percaya akan kata-kata kamituanya. Tetapi kiranya mendiang Sakarya mau mengerti bila aku berpendapat lain. Bulan berkalang bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas.
 
TAMAT
 
Sumber teks dari laman http://edi2179.multiply.com/journal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar