Kamis, 16 September 2010

Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono


Tentang Matahari

Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
"Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.


Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan


Kami Bertiga

dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata --
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata


Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Mata Pisau

mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu


”Gadis Kecil”

ada gadis kecil diseberangkan gerimis
ditangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan air
dipinggir padang ada pohon dan seekor burung


Dalam Bus

langit di kaca jendela bergoyang
terarah ke mana
wajah di kaca jendela yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat: waktu henti ia tiada


“Hatiku selembar Daun”

hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
nanti dulu
biarkan aku sejenak
terbaring disini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput
sesaat adalah abadi
sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi


Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka

Ketika jari-jari bunga terbuka
mendadak terasa: betapa sengit
cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit
menyisih awan hari ini; di bumi
meriap sepi yang purba;
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi
di sayap kupu-kupu, di sayap warna
swara burung di ranting-ranting cuaca,
bulu-bulu cahaya: betapa parah
cinta kita
Mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah


”Buat Ning”

pasti datangkah semua yang ditunggu
detik-detik berjajar pada mistar
yang panjang
barangkali tanpa salam terlebih dahulu
Januari mengeras di tembok itu juga
lalu desember
musim pun masak sebelum menyala cakrawala
tiba-tiba: kita bergegas pada jemputan itu


Hutan Kelabu Dalam Hujan

hutan kelabu dalam hujan
lalu kusebut kembali
kau pun kekasihku
langit di mana berakhir setiap pandangan
bermula kepedihan rindu itu
temaram kepadaku semata
memutih dari seribu warna
hujan senandung dalam hutan
lalu kelabu menabuh nyanyian


Sajak-sajak Kecil tentang Cinta

mencintai angin harus menjadi siut,
mencintai air harus menjadi ricik,
mencintai gunung harus menjadi terjal,
mencintai api harus menjadi jilat,
mencintai cakrawala harus menebas jarak,
mencintaimu harus menjelma menjadi aku.


Dalam Diriku

dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;

dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;

dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya!

dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya


Nokturno

Kubiarkan cahaya bintang memilikimu
Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya
Gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
Entah kapan kau bisa kutangkap.


Hujan Bulan Juni


tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


Aku ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat:
diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat:
disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Di Restoran

Kita berdua saja, duduk.
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput, kau entah memesan apa.
Aku memesanbatu di tengah sungai terjal yang deras, kau entah memesan apa.
Tapi kita berdua saja, duduk.
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.


“Pada Suatu Hari Nanti”
  
Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar